30 Apr 2011

PRAN-SOEH (NGESTHI KASAMPURNAN) (U - Z)

U. SETELAH RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO WAFAT

Para Sesepuh mengumumkan semenjak hari meninggalnya beliau hingga sebelas hari ke depan agar murid-murid beliau semua mengadakan acara keprihatinan (lek-lekan) di Astana Waja dan rumah Ibu, dan acara lek-lekan itu harus tetap dilakukan hingga peringatan meninggalnya sampai yang terakhir. Meskipun secara lahiriyah beliaunya sudah tidak ada, tetapi di alam halus sasmita maya, beliaunya tetap bisa dijumpai, namun tidak bisa sembarang waktu maupun sembarang orang, adalah tergantung urgensi, kesucian dan bagaimana orang itu menjalankan tapa-bratanya. Ibarat sebuah timbangan maka berat barang yang ditimbang dengan berat timbangan harus sama persis, dan ibarat membeli barang dengan harga seratus rupiah, bila hanya mempunyai uang Rp 99,- dan hanya kurang serupiah, maka tidak akan bisa membeli barang itu. Dari semula ketika mulai menyebarkan ilmu-ilmu beliau sudah dikatakan bahwa Ra­ma Pran-Soeh mempunyai suksma yang kekal, yang tak akan rusak dan tak akan kena hukuman.

Dari mulai peringatan meninggal beliau yang pertama hingga yang terakhir, sembahyangan hanya berwujud sembah puji terhadap Rama Pran-Soeh yang sudah bisa berada di alam dunia ini dan memberikan banyak petunjuk hingga hampir 90 tahun lamanya, dan ini bisa menjadikan untuk orang-orang yang percaya akan menyembah kepada Rama Pran­Soeh. Bersamaan dengan peringatan meninggalnya beliau yang sebelas hari itu, maka pada hari yang terakhir itu sekaligus dipasangnya batu nisan tumpang sebelas. Ini adalah sebanyak-banyaknya tumpang, yang ada biasanya hanya sampai tunda sembilan seperti kepunyaan Ibu almarhum.

Sepeninggal beliau, sudah tidak lagi punya harta benda yang cukup banyak, tanah maupun harta-harta lainnya yang akhirnya harus dibagi-bagi (harta warisan). Banyak kejadian memang pada saat itu maupun sekarang ini, ketika seorang yang kaya-raya meninggal akhirnya harta menjadi rebutan bagi anak turunnya, dan sampai-sampai hingga ke pengadilan, akhirnya pemerintah yang memutuskan pembagian harta warisan itu. Dalam hal ini beliaunya bisa memberikan contoh, maka sebelum meninggal beliau sudah membagi-bagikan semua harta kekayaan kepada anak-anaknya, sehingga tidak ada lagi yang merasa belum mendapatkan bagian. Dan perlu diingat bahwa pembagian harta sebelum meninggal itu jangan sampai dibagi habis semua, harus ada yang ditinggalkan sedikit, karena mengingat orang meninggal itu tidak serta merta langsung membawa pasangannnya pasti masih ada yang ditinggalkan. Sedangkan peninggalan yang berwujud pusaka dilestarikan seperti permintaan beliaunya sendiri ketika masih hidup.

Ibu menerima perintah dari Rama Pran-Soeh agar menyegerakan selesainya Bale Suci Pran-Soeh, karena Astana Waja sudah digunakan beliau dan ibu. Dan kemudian dengan segera para murid-murid mengumpulkan dana seperti apa yang diperintahkan kepada Ibu. Dan tidak lama kemudian maka tiang penyangga (soko guru) Bale Suci Pran-Soeh yang berjumlah empat itu dapat didirikan dengan upacara sembahyangan dan tirakatan, dan soko guru itu menggunakan kayu sawit. Hingga menjelang peringantan meninggalnya beliau yang terakhir (330 hari), Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh sudah siap untuk digunakan untuk upacara meskipun musim penghujan dan banyak hujan.


V. MAKSUD DAN TUJUAN RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO LAHIR KE DUNIA

Ketika kita mengingat sejarah Rama Resi-Pran-Soeh Sastrosoewignyo, dari sejak kecil hingga menjelang meninggal beliau, lebih-lebih saat-saat beliau menerima Wahyu serta perintah-perintah Rama Pran-Soeh (pengganti kata Gusti Allah), dan juga keprihatinan dan kesengsaraan beliau, yang semuanya tadi adalah karena tekad untuk melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh, untuk mengangkat kesengsaraan umat manusia yang percaya terhadap beliau, maka maksud dan tujuan beliau lahir ke dunia adalah:
1.   Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo lahir ke dunia berasal dari keluarga yang biasa saja, orang tuanya bukanlah yang punya pangkat besar saat hidupnya masih kekurangan, akan berbeda kalau beliaunya lahir waktu sebelumnya yang tentunya tidak demikian.
2.   Dalam melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh berlangsung hingga 31 tahun, dari tahun 1890 hingga tahun 1921, dan masih diperpanjang hingga tahun 1957 karena beliau sangat memprihatinkan umat manuasia yang percaya akan beliaunya.
3.   Beliaunya selalu menggantungkan hidup-mati beliau kepada Rama Pran-Soeh (dengan hati yang ikhlas) atau selalu dalam ancaman bahaya mati.

Ikhlasnya hidup dan mati adalah ketika ada hal-hal yang penting, seperti ketika sedang menerima Wahyu Sejatining Putri dan Wahyu Sejatining Kakung juga ketika bela pati terhadap anak-cucu ataupun murid-murid yang sedang menerima cobaan. Bisa diingat kembali ketika kejadian di desa Tambakbaya sebelah Barat Magelang, di Tingal Borobudur, kemudian di rumahnya sendiri pada tahun 1948 dan 1952. Pada kejadian semua itu beliaunya bisa selamat karena memang suksma suci beliau yang menempati sebagai sumber segala kehidupan dan juga sebagai juru selamat maupun yang lain-lainnya. Kesengsaraan dan mati yang berasal dari perbuatan Ijajil tidak akan bisa mengenainya, kecuali itu memang sudah menjadi kehendak Rama Pran-Soeh.

Keadaan dunia ini hanya ada dua, yaitu: adanya perbuatan baik dan perbuatan jelek, kaya dan miskin, lupa dan ingat dan begitu seterusnya. Dan pada umumnya manusia hanya mencari keselamatan dan ketentraman lahir dan batin saja, maka dari itu keadaan dunia ini menjadi bermacam-macam, adanya bencana alam, perang, penyakit yang bermacam-macam dan sebagainya.

Keyakinan/keimanan manusia di dunia saat ini sudah banyak yang percaya kepada Tuhan Allah (Gusti Allah), namun demikian masih juga ada yang menyembah kepada berhala dan juga masih ada yang tidak percaya adanya Tuhan. Yang menyembah kepada Tuhan Allah adalah menggunakan caranya sendiri-sendiri yang dirasa cocok dengan dirinya, menurut keyakinan sendiri-sendiri, dan yang melupakan untuk menyembah kepada Tuhan hanya karena mementingkan dalam hal mencari harta bendanya itu. Dan yang sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan itu adalah berdasarkan kenyataan bahwa di dunia ini hanya ada materi yang dengan mudah dapat diterima oleh panca indra. Dan juga adanya materi-materi yang bisa dicerna oleh manusia karena adanya sarana untuk mengetahuinya. Tidak percaya adanya Tuhan mesti saja tidak pernah memikirkan bagaimana nanti orang itu setelah meninggal, apakah akan menempati suatu alam lagi, ataukah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian (surga dan neraka), dan bagaimana nanti sang suksma, sama sekali tidak pernah diperhatikan, asalkan di dunia ini sudah dapat berkecukupan dan keinginannya sudah didapat (hanya menuruti hawa nafsu).

Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo sering mengatakan:
“Rama Pran-Soeh iku ora butuh apa-apa marang para umat kajaba mung saka tresnane. Aku timbul ing donya iku mung nagihi katresnan, padha elinga tresnaa marang Rama Pran-Soeh. Mula aku didadekake titah kang asor dhewe, kembas-kembis supaya akeh kang padha wani caket karo Aku, kang ateges bakal akeh kang tresna marang Rama Pran-Soeh. Dak rewangi Aku bengak-bengok saprana-saprene, kongsi kaya pecah-pecaha gondhangku, saka tresnaku marang anak-putu, aja nganti kesasar suksmane, luwih-luwih kaukum apa maneh kalebu ing pasiksan. Aku prihatin terus kuwi, sing daktapakake sapa to kajaba anak-putuku. Dak rewangi bedug-bedug, kuyu-kuyu ana tengah sawah, sing kanggo aku sapira, sing dak rembug rak anak-putuku, samangsa pada teka ing ngomahku aja kongsi kapiran. Mulane aku sok nangis kae, karana saka tresnaku (welasku), awit aku dikodratake meruhi suksmane sapa bae kang kesasar (nampa paukuman/pasiksan). Aku mung tresna tok marang anak-putuku, ora duwe pamrih liya-liya, yen aku kongsi melik, ngreka, ngapusi anak-putuku, trima suksmaku dadiya nyawa tekek".

Menurut perintah dan pembicaraan-pembicaraan tadi dan juga hal-hal yang dirasakan serta dialami sendiri oleh para murid-murid, memang benar adanya bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrtrosoewignyo dilahirkan ke alam dunia ini hanya semata karena Rama Pran-Soeh, yang mengingatkan kepada seluruh umat agar sebisa mungkin akan mencintai Rama Pran-Soeh. Hanya orang yang ketiduran yang melupakan / lupa kepada Rama Pran-Soeh, tidak mau percaya dan menanggapi kecintaan Rama Pran-Soeh dan tidak perduli akan kehadiran Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo di dunia fana ini.



W. KEWAJIBAN RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO

1. Menolong dan mengayomi.
Pengayoman (ngaup, ngeyup) akan bisa terlaksana apabila dekat dengan yang memberi pengayoman, yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo. Ketika seseorang mendapatkan suatu halangan (sakit, dapat musibah, dan lain sebagainya) orang yang belum menyelesaikan ilmu yang tiga perkara itu akan datang ke tempat beliaunya dan minta tolong. Beliau menyanggupi dengan hati legowo, tanpa ada suatu ataupun pengharapan imbalan apapun, buat orang yang sudah menyelesaikan ilmu tiga perkara itu bisa minta sendiri (mencari sendiri) asalkan dengan bersungguh-sungguh maka permintaan apapun akan dapat terwujud dan didapatkan, dan bila beruntung maka bisa sekaligus untuk bertemu dengan suksma suci RPS. Sastrosoewignyo, dengan kata lain maka mendapatkan pengayoman.

2. Kewajiban menebus dosa, menghibur, mengajar dan memberi contoh.
Orang yang sudah menamatkan ilmu tiga perkara itu bisa dikatakan orang yang sudah suci, karena semua dosa-dosa bawaan dari semenjak kecil hingga dewasa sudah ditebus/dilebur. Tetapi manusia itu hidup dengan nyawa, sedangkan nyawa itu adalah merupakan musuh suksma yang akan selalu menggoda hingga sampai ke liang kubur, nyawa akan selalu mengajak kejelekan, berbohong dan berlaku nista, dan semua perilaku yang sesat itu adalah ulah nyawa. Dengan demikian nyawa harus dicari hingga bisa dilihat bagaimana senyatanya perilaku yang sesat itu ataupun yang selalu was-was, namun bukan berarti nyawa itu harus dibunuh karena raganyapun juga akan terbunuh, tetapi cukup dimengerti dan dikalahkan. Nyawa di alam dunia akan menjadi teman namun setelah meninggal akan menjadi musuh. Murid-murid yang sedang mendapatkan kesusahan apa saja, maka ketika beliau masih ada di alam dunia akan memberikan arahan-arahan (pelajaran), dan yang lebih baik apabila ketika di alam halus (impian) bisa bertemu dengan suksma beliau, dan yang begitu itu semua masalah akan sudah terselesaikan, tanpa pertanyaan apa, kapan, kapan, dimana, dan sebagainya.

Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo memberikan contoh perilaku kepada semua murid-muridnya, seperti:
a.   Kesetiaan terhapap Rama Pran-Soeh, dalam melaksanakan perintah sampai dibela dengan kesengsaraan (lara-lapa).
b.   Sentausa keinginan, kesucian hati, luhu budi, sabar yang tak bertepi, dengan perilaku dan watak yang sempurna, selalu membuat bangga buat anak cucu dalam menghadapi pengadilan.
c.   Besar keprihatinannya, gentur tapabrata, giat dalam bekerja, yaitu ketika mejadi carik dan juga dalam hal bertani. Dalam memberikan contoh tidak hanya di alam dunia saja, tetapi juga dalam alam halus suksma suci beliau.

3. Kewajiban mencari saudara.
Ilmu yang diajarkan beliau Rama Resi Pran-Soeh Satrosoewignyo berdasarkan Ketuhanan dan percaya adanya hukum karma serta reinkarnasi (urip tumimbal). Sudah diuraikan di depan bahwa beliaunya ada di alam dunia ini sudah berkali-kali, beda tempat beda nama dan beda derajatnya. Dan kebanyakan yang menjadi terpisah adalah ketika beliaunya menjadi Nabi Nuh. Suatu saat ketika berada di alam dunia ini lari terbirit-birit dan menjadikan pencarian hingga sampai sekarang ini.


X. PERATURAN SEBELAS (11).

Semua putra-putri dan siswa-siswa beliau yang mau mengikuti ajaran-ajarannya pasti diberitahu akan peraturan sebelas (Angger-angger 11) yang harus digunakan untuk pedoman hidup di dunia dan juga ketika menginginkan untuk dapat tamat dalam ilmu tiga perkara. Peraturan yang sebelas itu selalu menjadi pedoman, dan apabila peraturan sebelas itu nyata-nyata dilakukan dapat pula berarti bahwa itu merupakan bukti kesetiaan terhadap Rama Pran-Soeh dan juga beliaunya. Peraturan yang sebelas itu terbagi menjadi dua yaitu 7 bagian adalah kewajiban dan 4 bagian adalah larangan.

BAGIAN A (KEWAJIBAN):

1.   Setia dan taat terhadap Rama Pran-Soeh dan terhadap Utusannya. 
      Setia dan taat artinya harus timbul dari kesadaran diri sendiri, dari lubuk hati yang paling dalam, yang tidak karena terpaksa/dipaksa, tidak karena ikut-ikutan. Jadi benar-benar ingin membangun citra diri yang tidak perlu menggerutu, apalagi membangkang apalagi ingkar janji. Jadi harus utuh 100% bahwa semua keberadaan, yang terlihat maupun yang tidak, segala bibit dari seluruh bibit. Dan ketika manusia sudah meninggalkan dunia (mati) dan yang telah melaksanakan kewajiban yang pertama ini akan dapat bersatu dengan Rama Pran-Soeh melalui Utusan-nya. Sedangkan bila orang yang masih ada di dunia meminta sesuatu dengan sarana semadi (tidur) itu juga dengan perantaraan Utusan. Rama Pran-Soeh memberikan rasa cinta kasih adalah dengan menghadirkan sosok Rama RPS. Sastrosoewignyo, yang juga sebagai Penuntun, dengan meminjam ilmu yang tiga perkara itu akan dapat membuat kita ingat kepada Rama Pran-Soeh, dapat mengerti mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, yang benar dan yang salah, yang akhirnya menjadikan hidup kita tentram dan damai.

2.   Setia dan taat terhadap Pemerintah, dan tidak melawan aparatnya. 
      Penguasa setelah Rama Pran-Soeh adalah Pemerintah. Di jaman modern seperti sekarang ini orang hidup tidak bisa hidup seenaknya sendiri. Hidup di era modern adalah hidup yang mau diatur, yaitu oleh pemerintah. Dari soal hokum, politik, ekonomi, kebudayaan semuanya diatur oleh pemerintah, maka dari itu orang mau mengikuti ketentuan dari Rama RPS. Sastrosoewignyo haruslah dapat mencontoh beliaunya, lihat saja seperti sejarah beliaunya. Menjadi carik hingga berpuluh-puluh tahun, dan begitu berhenti (pensiun) tak berapa lama kemudian wafat. Setia dan taat terhadap pemerintah itu tidak melawan para aparat-aparatnya, dari mulai Presiden, wakil Presiden, Mentri, Gubernur, Bupati bahkan hingga Lurah (Kepala Desa) dan perangkatnya serta Ketua RT/RW/RK sekalipun, kita tidak boleh membangkang apalagi melawan dari perintah-perintahnya. Harus memberi contoh untuk hal apa saja buat yang lainnya untuk anjuran-anjuran yang diberikan oleh pemerintah melalui aparat-aparatnya.

3.   Cinta-kasih terhadap bapak-ibu, dan berbakti kepada sesepuh. 
      Kita wajib mencintai orang tua (bapak/ibu), artinya kita harus merasa memiliki yang tanpa pamrih terhadap orang tua, karena orang tua adalah yang menyebabkan terjadinya kita berada di dunia ini. Beliulah yang menjaga kita sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan, memeliharanya hingga dewasa dan kemudian juga memapankan kita agar kita nanti menjadi apa. Anak mestinya merasa berhutang yang sangat besar terhadap orang tua yang tidak dapat terukur oleh harta benda, dan harus menurut orang tua, kecuali untuk hal-hal yang mungkin akan bertentangan dengan peraturan yang sebelas ini, tetapi itupun harus ditolak dengan cara halus agar tidak sampai menjadikan amarah di dalam hati. Selanjutnya harus dapat mengabdi, menjaga keharuman namanya. Dan kalau sudah dewasa harus mencari rejeki sendiri (dan juga berumah tangga), dan jangan sampai nantinya anak dan istri menjadikan tidak hormat terhadap orang tua kita. Cinta kasih seorang anak terhadap orang tua itu haruslah lahir batin, dan ketika nanti orang tua sudah tidak bisa berbuat apa-apa (jompo) maka anak harus mau repot untuk merawat yang tanpa menggerutu. Ingatlah dulu ketika kita masih kecil, maka semua kebutuhan kita adalah mereka yang mencukupi. Dan bakti itu berlanjut hingga ketika ajal menjemput dan suksma beliau tidak mendapatkan tempat yang semestinya (kesasar) maka harus dibela dengan syarat diruwat. Dan juga termasuk orang tuanya adalah kakek/nenek, buyut, canggah dan ke atas terus, mertua dan saudara-saudara yang dituakan. Cinta kasih terhadap pini sesepuh tentu saja akan berbeda dengan cinta kasih terhadap orang tua sendiri. Disamping itu kita juga harus cinta kasih terhadap orang-orang yang lebih tua umurnya dari kita, karena pengalamannya, karena ilmunya. Meskipun sudah berpangkat kita tetap tidak boleh lupa terhadap Bapak Guru meskipun hanya guru SD sekalipun.

4.   Cinta-kasih terhadap anak-istri, dan juga anggota keluarga yang menjadi tanggungannya.
      Dari asal mulanya manusia memang sudah diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, dan turun-temurun beranak-pinak. Orang laki perempuan saling berjodoh hingga beranak-cucu. Meskipun bukan siapa-siapa, dan kadang-kadang memang ada yang masih saudara, dan itu sebenarnya menurut ilmu kesehatan tidaklah baik karena ada kemungkinan akan mempunyai keturunan yang cacat (genetika). Dan di jaman modern ini orang yang berjodoh harus disyahkan menurut agama yang dianut maupun dicatatan sipil. Cinta kasih terhadap suami/istri itu tidak boleh hanya di bibir saja, haruslah sampai dalam lubuk hati yang paling dalam. Tidak boleh sewenang-wenang, harus guyup-rukun, gotong-royong, dan semua hal harus dirembug bersama-sama. Bukan juga bahwa pendapat suami adalah yang paling benar, ada kalanya pendapat istri juga benar. Mencari rejeki juga bukan mutlak orang laki-laki saja, kaum perempuan juga harus turut serta, tetapi kalau memang merasa bisa maka dapat juga yang mencari rejeki hanya suami saja, sedangkan istri di rumah mengurus anak-anak, dan sekali-kali jangan hanya mengandalkan pembantu saja dalam hal mengurus anak, dapat mejadikan pengaruh yang kurang baik terhadap anak. Orang berumah-tangga itu haruslah dibela sampai mati, apalagi kalu itu adalah pemberian Rama Pran-Soeh. Mungkin saja dalam berumah-tangga itu tidak mendapatkan keturunan, tetapi itupun masih bisa diusahakan sebisa-bisanya, namun apabila memang dikodratkan untuk tidak mempunyai keturunan bukan berarti bahwa itu adalah akhir segalanya dan kemudian bercerai. Haruslah ingat pada peraturan nomer 2 dari peraturan yang sebelas, yaitu tidak boleh beristri lebih dari satu. Dan juga jangan sampai melanggar larangan nomer 1 (berbuat zina) hanya karena asmara. Orang berbuat zina itu bisa dikatakan mempermainkan roh, yang bisa mendapatkan hukuman yang berat. Mungkin hukuman di dunia ini hanyalah ringan, dan bahkan tidak ada. Dan hidup berumah-tangga itu juga harus mengupayakan agar pasangan merasakan lega dan enak dengan mengurangi keinginan sendiri, harus bisa saling asuh, yang apabila satu menyimpang maka yang lain mengingatkan. Dan terhadap anak juga haruslah memberikan cinta kasihnya, karena anak lahir adalah keinginan orang tuanya, dan pemberian Rama Pran-Soeh. Cinta kasih terhadp anak-istri haruslah sepadan dengan kecintaan terhadap diri sendiri. Anak nantinya akan meneruskan sejarah orang tua, dan ada pepatah jawa mendhem jero, mikul dhuwur marang uwong tuwane, yang artinya haruslah bisa meluhurkan nama orang tuanya.

Tresna-asih marang anak iya iku:
a.   Menjaga keselamatan dari ketika masih di kandungan hingga samapai dewasa. Menggugurkan kandungan dengan cara apapun adalah dilarang.
b.   Mencukupi kebutuhan anak hingga anak dapat mencari sendiri kebutuhannya.
c.   Memberikan ajaran (menyekolahkan), yang artinya memberikan ilmu untuk bekal hidup nanti setelah dewasa dan untuk keperluan mencari rejeki.
d.   Mengupayakan agar kelak nantinya menjadi orang yang benar (manungsa kang utomo), dan berguna dalam hidup bermasyarakat serta nusa dan bangsa, kalau mungkin juga harus setia dan taat terhadap Rama Pran-Soeh dan Utusannya. Orang tua jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan, apalagi memberikan sumpah serapahnya terhadap anak.

Yang disebut sebagai tanggungan adalah siapapun yang menjadi tanggung-jawabnya, misalnya: anak angkat, anak tiri, pembantu. Untuk anak angkat dan anak tiri haruslah disamakan dengan anak sendiri, dan untuk pembantu yang penting jangan disia-siakan, meskipun dirinya membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan upah, bayarlah berapa keinginannya. Terhadap pembantu janganlah sewenang-wenang, karena dialah yang membuat ringan pekerjaan kita, janganlah mentang-mentang bisa membayar maka tiap minggu ganti pembantu, bila dipandang dari mata umum jadinya memalukan.


5.   Cinta-kasih terhadap sesame. 
      Manusia hidup ana di dunia dan semua yang mempunyai hidup (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan apa saja), dari semua itu adalah manusia sebagai makhluk paling sempurna. Dan semua yang ada diatas bumi ini, baik itu di lautan, dasar lautan, gunung, sawah dan semuanya yang ada boleh dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Cinta kasih terhadap sesame itu bukan berarti semua yang hidup itu dicintai, harus menggunakan nalar mana yang dapat menguntungkan dan mana yang malah akan merugikan atau berbahaya buat manusia. Dan pada umumnya orang hidup itu ada yang di kampong-kampung, desa-desa, dan juga banyak yang di kota-kota. Tentu saja hidup bermasyarakat di kampong atau desa akan berbeda dengan pola hidup di kota-kota. Hidup di desa biasanya jiwa sosialnya masih tinggi, dengan masih banyak bergotong-royong dan sangat memperhatikan tetangga, sedang hidup di kota karena kebutuhannya masing-masing dan tuntutan hidup yang berbeda maka mungkin saja jiwa sosialnya tidak sebesar seperti hidup di desa. Namun demikian bagi orang-orang yang memang sedang mendapatkan keberuntungan yang tinggi (dengan pangkat yang tinggi atau gaji yang besar) maka janganlah berlaku aji mumpung (mumpung lagi kuwoso, mumpung isih sugih), dan menganggap rendah kedudukan orang lainnya. Katakanlah sekarang masih punya kedudukan, tetapi kalau sudah pension, ataupun sudah tidak bekerja lagi toh harus kembali hidup di masyarakat yang biasa. Orang hidup tidak bisa sendirian, harus saling tolong-menolong dan gotong-royong. Dan janganlah membeda-bedakan faham/ kepercayaan/ keyakinan. Sebisa mungkin hiduplah secara wajar di masyarakat, makanya ada pepatah ora gampang uwong urip neng ngalam donya. Bila diperhatikan sekilas saja maka pepatah itu sepertinya tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi kalau diuraikan agar bisa hidup tentram sekeluarga maka harus bagaimana hubungan dengan tetangga kanan kiri, dengan orang sekampung, orang senegara, dan juga ketika harus memikirkan bagaimana nanti saat ajal mejemput, sudah siapkah?


6.   Giat bekerja dan selalu menepati janji/kewajiban.            
a.   Boleh dicontoh bagaimana ketika Rama RPS. Sastrosoewignyo dahulu menjalani hidupnya, seperti: tapa-brata, berani karena benar, akrab dengan siapa saja, cinta sesama, disiplin, giat bekerja, sebagai abdi pemerintah dan juga pekerjaannya sendiri sebagai petani. Dengan giat bekerja dalam bertani maka akan menjadikan lebih banyak hasil ladangnya dan akan menjadi berkecukupan. Dan untuk syarat hidup maka ada lima macam yang utama: sandang, pangan, papan, pasangan hidup, dan pekerjaan yang tetap. Bisa ditambahi yang lain misalnya, hiburan, pendidikan dan kesehatan. Dan untuk kesehatan bukan hanya jasmani saja tetapi juga diperhitungkan untuk kesehatan rokhani. Dengan mencukupi semua kebutuhan makan akan timbul ketentraman dan akan terhindar dari perilaku yang tidak baik, dan tidak akan melanggar peraturan yang sebelas, larangan yang ke-3, berbuat nakal dan nista. Orang yang pemalas itu inginnya hanya, main, tidur dan bermalas-malasan yang menjadikan tidak punya penghasilan, setelah itu akan mempunyai watak yang menyimpang dari keutamaan, inginnya hanya hidup enak mengumbar hawa nafsu. Orang yang hidup hanya menurut hawa nafsu inginnya puas yang tidak terbatas, apapun yang didapat pasti akan masih merasa kurang. Dengan demikian maka harus dibatasi, narimo ing pandum. Nasib orang tidak ada yang sama dan sendiri-sendiri, makanya jangan iri. Hidup juga tidak boleh pasrah begitu saja, harus mempunyai upaya, ada derajat, ada semat juga ada rachmat adalah karena pemberian Rama Pran-Soeh.
b.   Rama RPS. Sastrosoewignyo berkata seperti berikut: “Yen ngrembug donya kaya rumangsa kaya ora arep bakal mati, nanging yen arep mapan turu kaya ora bakal menangi esuke, ateges kudu bisa golong-gilig nglalekake kadonyan, meleng madep mantep lan sumarah dedepe anggrantes ing ngarsane Rama Pran-Soeh. Bisane enggal katam anggone ngudi ngelmu 3 prangkat. Dene kang uwis pada katam, ngudi bisane oleh dawuh ceta apa sing dibutuhake. Kabeh pegaweyan kasar alus pada bae, manut bakate dewe-dewe. Sregeping nyambut gawe kudu nganggo wates, aja kongsi ngrusak raga ngganggu kasarasane awak, luwih-luwih nganti nglalekake turu, nganti byar-byaran, kuwi nglalekake butuhing suksmane, ora nyadong dawuh marang Rama Pran-Soeh. Ateges lali ora manembah marang sing gawe urip. Wektu kudu dibage, sing bageyan akeh kanggo suksmane dene sing sethithik kanggo kapentingane raga.”              
c.   Kita berkewajiban menepati janji, yaitu kesanggupan kita terhadap siapa saja, termasuk juga terhadap Rama Pran-Soeh dan diri sendiri. Yang disebut sumpah atau tanda setia bisa hanya dibatin saja atau diucapkan, bisa juga dengan saksi agar lebih mantap dan kuat. Janji terhadap orang lain harus diucapkan dan ada saksi minimal adalah yang diberi janji. Menepati janji adalah suatu ukuran seseorang itu jujur dapat dipercaya atau tidak. Menepati janji adalah sebagai dasar dalam hidup di masyarakat untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keselamatan ketika ada satu dengan yang lainnya merasa tertipu. Yang namanya janji harus keluar dari lubuk hati dengan tekad yang suci, dan bukan paksaan sehingga dalam melakukannya akan merasa ikhlas. Dan adalah mungkin saja sebuah janji akan cedera karena terpaksa, itupun harus disampaikan dengan alasan-alasan yang dapt diterima. Dengan demikian janji yang karena dipaksa, hal itu tidak perlu untuk diambil hati. Sebaiknya apabila memang bukan hal yang sangat penting janganlah dengan gampang mengucapkan janji, apalagi di depan orang banyak. Dengan demikian janganlah memberikan janji apabila memang tidak akan bisa menepati.

7.   Berbudi luhur adil dan belaskasih.                                      
a.   Kewajiban yang ke-7 ini adalah sifat-sifat yang semua dimiliki oleh Rama RPS. Sastrosoewignyo, yang sudah menjadikan kebiasaan sehari-hari dan sudah sangat dirasakan oleh beliaunya. Kita harus meniru watak-watak yang demikian itu, meskipun tidak akan bisa sama paling tidak dapat mendekati. Berbudi luhur itu adalah budi yang paling utama, yang lebih dari segala hal kebaikan. Berbudi luhur adalah mempunyai sifat-sifat seperti: jujur, tulus, perwira, berbudi, prasaja, lemah-lembut, termasuk juga adil dan belas-kasih. Orang yang mempunyai watak berbudi luhur akan selalu berusaha untuk dapat memberikan pengayoman dan pertolongan kepada pihak lain, tidak pernah mementingkan diri sendiri, dengan kata lain tidak egois. Meskipun demikian juga tidak akan melupakan kewajiban yang merupakan tanggungannya sendiri. Akan sangat malu bila harus menjadi beban orang lain. Dan dalam memberikan pertolongan sama sekali tidak mengharapkan imbalan, namun demikian bila mendapatkan kebaikan dari orang lain akan selalu diingat, dan suatu saat harus dapat membalas kebaikan itu.
b.   Berlaku adil itu adalah perlakuan yang tidak pilih kasih, tidak emban-cindhe emban-siladan, seperti timbangan maka tidak boleh berat sebelah, harus pas sama. Kita harus adil dalam hal apa saja, misalnya dalam pembagian hak-hak lahir dan hak-hak batin, pemeliharaan terhadap anak dan yang menjadi tanggungannya, dalam pembagian harta warisan, dalam hal harus memutuskan sebuah perkara maka yang salah harus disalahkan dan yang benar ya harus dibenarkan. Agar bisa berlaku adil maka haruslah mengerti dengan seksama perkara yang akan diputuskan, apa hubungannya dengan peraturan-peraturan yang ada, dan juga harus dapat memisahkan mana kepentingan pribadi ataupun golongan dan saudara. Adil dalam pembagian barang bukan berarti harus sama banyak, tetapi harus bisa membuat keduanya merasa puas, dan dalam perkara pidana, ya kalau memang harus mendapatkan hukuman maka haruslah sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Berlaku adil itu bila diumpamakan orang yang sedang jual-beli, maka baik yang menjual maupun yang membeli merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan berlaku adil maka akan menjadikan masyarakat yang tertib dan tentram, karena akan jauh dari rasa iri dan adanya hanya saling menerima.
c.   Belas-kasih itu artinya tidak tegaan. Misalnya melihat keadaan orang yang sengsara, maka orang yang mempunyai belas-kasih akan selalu memberikan pertolongannya, apalagi orang itu sudah pasrah. Belas kasih itu artinya mempunyai jiwa sosial yang tinggi, akan senang menolong berupa harta benda, tenaga dan pikiran. Namun demikian beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan:
1.      Jangan sampai menolong orang yang akan menjadikan kesengsaraan diri sendiri.
2.      Jangan sampai pertolongan kita malahan menjadikan kerugian bagi yang ditolong.
3.      Pertolongan harus diberikan dengan ikhlas lahir dan batin, sepi ing pamrih.


BAGIAN B (LARANGAN):

1.   Tidak berzina.                                                                                                     
a.   Manusia itu lebih tinggi derajatnya daripada hewan, maka dari itu seharusnya dapat berbuat hal=hal yang lebih mulia daripada hewan untuk tidak melanggar peraturan yang sebelas dari Rama Pran-Soeh ini. Larangan yang pertama, tidak berzina, maksudnya adalah perilaku yang menyimpang dalam bermesraan, yaitu dengan siapapun kalo itu bukan pasangannya yang sah yang sudah melalui perkawianan dalam agama ataupun lewat catatan sipil. Meskipun sama-sama masih jomblo, apalagi sudah punya suami/istri semuanya dilarang, juga termasuk pelacuran, nggundik, dan pacaran. Berbuat zina ini dilarang karena dianggap:
·    Mempermainkan dan menyiksa roh (kecuali terhadap suami/istri sendiri yang sah)
·    Merusak kesehataan badan terutama anak turunnya.
·    Membuat tidak tentramnya keluarga, akan sering terjadi kematian ataupun luka, dan sering juga menjadi perkaran yang harus melewati pengadilan.           
b.   Berbuat zina itu apabila ketahuan dan menjadi perkara memerlukan bukti dan saksi, juga pengakuan dan hukumannya akan ringan, tetapi hukuman batin (suksma) ketika sudah meninggal akan tersiksa selamanya. Ini adalaha sesungguhnya, yang bukan berarti menakut-nakuti, karena bisa dibuktikan dengan memohon kepada Rama Pran-Soeh, disana akan kelihatan, karena permohonan itu hanya tertuju pada alam bawah, tempat suksma manusia yang tersasar. Dan setelah mengetahui hal itu, mestinya harus ingat terhadap Rama Pran-Soeh, tidak akan lagi melanggar larangan yang pertama ini. Godaan terbesar ketika lahir di dunia hingga meninggal nanti adalah ketika seorang laki-laki yang tergoda oleh perempuan dan seorang perempuan yang tergoda oleh laki-laki. Maka dari itu haruslah selalu ingat untuk mengendalikan perbuatan yang hanya menuruti hawa nafsu, dan bagi seorang perjaka/perawan apabila memang sudah tidak kuat untuk hidup sendiri, segeralah untuk menikah. Memang ada orang yang malas untuk bekerja, sehingga untuk mencari makan dengan cara melacurkan diri, tidak mau bekerja dengan apa yang menjadi kebisaannya.


2.   Tidak beristri lebih dari satu.
Kita terlarang untuk mempunyai istri/suami lebih dari satu artinya tidak boleh dimadu (poligami untuk pria, poliadri untuk wanita), harus hanya satu dan ini disebut monogamy. Yang disebut burung dara itu adalah hewan, namun demikian dia tidak akan mau menggauli kalo bukan pasangannya, dan katanya manusia itu kedudukannya lebih tinggi daripada hewan, kok ya masih melakukan hal-hal yang semau-maunya. Memang yang namanya itik, seekor itik jantan akan bersanding dengan berpuluh-puluh ekor itik betina, dan akan bertelor dimana saja ditambah lagi tidak mau mengerami telornya sendiri, tetapi itu memang sudah dikodratkan demikian. Ketika salah seorang mempunyai pasangan lagi, maka bisa dianggap bahwa cintanya itu tidak dapat tumbuh, dengan cinta yang terbagi-bagi ini (kadang hingga tiga bahkan empat) maka perbuatan adil akan menjauh. Bisa saja itu berasal dari rupa, harta benda, atau karena anak, dan masih banyak pengaruh yang lainnya. Dan perilaku tidak adil ini bukan hanya menimpa istri saja, tetapi juga anak-anaknya. Orang perempuan yang dimadu, mungkin saja secara lahiriah akan kelihatan rukun, tetapi di dalam batin bisa dipastikan tidak akan suka. Rama Pran-Soeh sudah menyuruh kepada orang laki-laki maupun perempuan, yang dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan, sedangkan orang yang cacat saja (misalnya: berkaki satu, buta, lemper, dll) tetap masih akan mendapatkan jodoh dan ada yang mau mencintainya hingga mendapatkan keturunan.


3.   Tidak berbudi nakal dan nista.
Manusia di sini mempunyai dua macam perilaku, baik dan buruk. Maka bisa dikatakan bahwa perbuatan yang buruk itu adalah perbuatan setan (nyawa) sedang perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan oleh suksma roh suci (dari Rama Pran-Soeh). Orang yang mempunyai budi nakal dan nista itu adalah hanya menuruti hawa nafsu, dan memang setan (nyawa) itu memang diciptakan untuk menggoda manusia, agar tidak mau tunduk terhadap Rama Pran-Soeh yang jelas-jelas berbuat baik dan benar. Dimana ketika manusia itu terpikat oleh nyawa, maka di akhirnya nanti akan menjadi jajahan si nyawa tadi dan berada di pangkuan Sang Priya/ Sang Putri yang artinya adalah tersasar. Orang yang berbudi nakal itu akan selalu membuat kesusahan orang lain. Dan perbuatan berbudi nakal itu antara lain:

·    Drengki, suka memfitnah, suka menggunjing yang tidak ada agar orang lain sengsara.
·    Srei, senang berkelahi, membuat kesakitan orang lain.
·    Panasten, mudah membara hatinya ketika dinista, disalahkan, atau ketika disamai bahkan diungguli dalam hal apa saja. Apabila tetangga mendapatkan rejeki ataupun kesenangan maka seringnya kemudian menggunhjing dan memfitnah.
·    Jail, adalah drengki yang karena kebodohannya sendiri yang akhirnya tidak mau tahu dan hanya menurut pendapatnya sendiri yang nyasar itu, karena memang tidak mengerti mana yang benar.
·    Silip, bertindak yang tidak semestinya, bisa dengan cara yang tidak terpuji misalnya minta bantuan makhluk halus, dan suka menyerobot yang sudah menjadi hak orang lain.

Bertindak silip antara orang laki-laki dan perempuan adalah perbuatan zina itu, yang juga sering disebut sebagai sedeng. Goroh, lamis, ingkar janji, itu semua adalah perbuatan yang tidak jujur yang suka menipu orang lain. Semua perbuatan itu adalah yang disebut berbudi nakal. Bertindak yang demikian itu bukan hanya suksma saja yang akan mendapat hukuman, tetapi juga ketika hidup di masyarakat bisa mendapatkan hukuman fisik karena pekerjaannya itu. Berbudi nista itu adalah budi yang paling bawah, yang sedang-sedang sajapun tidak, maka kan sangat jauh dari perbuatan yang mulia. Orang yang nista adalah hanya akan selalu mengharapkan pertolongan orang lain, tidak pernah mengerti akan kebaikan dan tidak mempunyai rasa tanggung-jawab, di depan tidak berani tetapi di belakang selalu menggerutu. Orang yang berbudi nista itu lahir dan batin terhukum, di dunia tidak dihargai dan hanya menjadi ejekan orang dan yang lebih penting adalah batin/ suksmanya tidak bisa ikut  Rama Pran-Soeh, akan menuai hasil pekerjaannya yang nista itu dan ketika meninggal nanti akan tersesat dan hanya menjadi jajahan nyawa (setan).

4.   Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketujuh kewajiban diatas.
Semua orang yang sudah sumpah setia untuk menjadi pengikut Rama RPS. Sastrosoewignyo, harus memenuhi peraturan yang sebelas (11) itu, yaitu tujuh (7) bagian merupakan kewajiban dan empat (4) bagian merupakan larangan. Hal-hal yang bertentangan dengan ke-tujuh kewajiban serta ke-empat larangan itu harus dijauhkan. Kita wajib setia dan taat terhadap Rama Pran-Soeh dan Utusannya, yang artinya benar-benar dilarang untuk membandel, mengesampingkan apalagi melawan akan perintah-perintahnya. Tidak boleh hanya karena mempunyai sesembahan yang lain kemudian ingkar, yang demikian ini dapat dikatakan sudah cedera kepercayaannya dan tidak utuh lagi. Kita wajib setia dan taat terhadap Pemerintah kita serta wakil-wakilnya, dan apabila kemudian kita menjadi terpikat oleh pemerintah negara lain sama halnya dengan maker, artinya melawan terhadap pemerintah, hal itupun sangat dilarang. Demikian juga halnya ketika kita tidak lagi merasa sayang terhadap anggota keluarga kita (istri, anak, orang-tua, kakek-nenek dan lain sebagainya) maka sama halnya kita sudah mengesampingkan salah satu dari kewajiban kita dalam menjalankan peraturan yang sebelas (11) itu. Begitu pula halnya didalam pekerjaan. Jadi larangan yang ke-empat ini adalah untuk memantapkan ke-tujuh kewajiban yang tersebut diatas.

Sudah tertera diatas adanya peraturan yang sebelas itu, kewajiban akan mewujudkan kesanggupan dengan sungguh-sungguh dan harus memenuhi, dan kalau tidak maka akan ada pengaruh yang negative. Larangan adalah semua hal yang harus dijauhi dan sama sekali tidak dapat dilanggar. Orang-orang yang mau menghindari larangan itu dapat dikatakan sebagai orang yang sudah melakukan peraturan yang sebelas itu, dan orang-orang yang melanggar aturan-aturan itu dikatakan sebagai orang tidak memelihara kewajiban dan larangan yang sebelas itu. Kewajiban dan larangan itu ditulis dengan angka urut yang berarti nomer yang paling kecil adalah yang paling penting. Jadi larangan nomer satu (berbuat zina) adalah larangan yang paling berat dan akan mendapatkan hukuman yang paling berat pula.


Y. TATA-TERTIB ASTANA-WAJA BALE SUCI AGUNG GEDHONG PRAN-SOEH TLAGA MAHARDA

Di depan sudah dikatakan bahwa Rama RPS. Sastrosoewignyo ketika masih hidup sudah membuat tempat peristirahatan terakhir untuk diri dan istrinya. Disamping itu juga membuat tempat persembahyangan, tempat bertapa atau tempat apapun namanya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk memperoleh petunjuk agar yang menjadi keinginannya terkabul (drajat, pangkat, rokhaniah dan lain-lain). Sekarang ini dan seterusnya kami semua sebagai murid-murid beliaunya menyatakan setia dan taat terhadap Rama Pran-Soeh dan Utusannya, dimana kami sudah menyaksikan dan mengakui untuk tidak bisa ingkar lagi bahwa beliau Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo adalah benar-benar sebagai Utusan Rama Pran-Soeh. Tempat yang disebut tadi waktu ini dan seterusnya akan menjadi sebuah pusaka yang ampuh, untuk mencari ketentraman lahir dan batin.

Astana Waja adalah pesarean tempat beliau dan istri dimakamkan, Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda, adalah bangunan yang ada di depan Astana Waja adalah tempat untuk sembahyangan memuja kepada Rama Pran-Soeh. Sedangkan tempat itu sendiri bisa dinamakan sebagai Tlaga Maharda atau Cepuri Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh.

Nama-nama diatas adalah nama yang diberikan beliaunya sendiri dan berasal dari alam batin, sedapat mungkin akan menjadi nama tempat itu untuk selama-lamanya. Selanjutnya yang bertanggung-jawab di tempat iutu adalah putra beliau yang bernama RPS. R.Wenang Atmadipraja SH., yang rumahnya ada di gedung Cibuk Cangkiran, Jagalan, Munthilan. Siapa saja yang akan berziarah di Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh haruslah meminta izin kepada RPS.R.Wenang Atmadipraja SH., terlebih dahulu dan akan dicatat dalam buku besar, nama, umur, alamat (buku tamu) dan sebagainya, yang kemudian akan diberikan kartu tanda masuk yang selanjutnya dapat diberikan kepada juru kunci tempat itu. Yang menjadi juru kunci adalah R.Suramujana dan Bp. Harjautama.

Di tempat itu mesti saja harus menurut tata tertib bagaimana caranya memasuki Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh. RPS.R.Wenang Atmadipraja SH, menjadi penanggung-jawab (juru kunci) tempat itu bukan semata-mata penunjukan saja, tetapi memang sudah sejak dari ketika beliaunya masih hidup, maka beliuanya berkata: "Besuk sing arep nerusake lelakonku anakku Wenang. Sapa sing sengit marang anakku, padha bae sengit karo aku".

Dengan adanya sabda tadi maka kita semua hanya bisa menerima dan menurut apa-apa saja yang sudah ditetapkan oleh beliaunya. Dalam berziarah ke Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh dan Astana Waja, maka RPS.R.Wenang Atmadipraja SH, juga memberlakukan hal-hal yang sama seperti ketika beliaunya masih ada. Dan ketika ada murid-murid yang datang, maka masih juga diberikan jamuan sekedarnya, dan juga mendapatkan tanggapan yang baik-baik juga memberikan syarat-syarat apa saja agar tetap mendapatkan kekuatan, kesehatan dan keselamatan.

Di dalam surat wasiat beliaunya menyebutkan antara lain agar disinggahi minimal setahun sekali. Beliaunya ketika memberikan perintah untuk pribadi beliaunya tidak pernah menggunakan kata-kata yang gamblang, tetapi semua pasti menggunakan kata-kata sindiran ataupun pasemon, jadi sebagai murid maupun cucu-cucu kita semua haruslah tanggap mengenai hal ini. Meskipun agak repot dan jauh maka pasti akan mencari kesempatan untuk datang berziarah ke Astana Waja, terutama pada hari-hari besar yang sudah ditentukan. Surat wasiat tersebut tertulis tanggal 27-12-1955. Dalam berziarah yang diperlukan adalah pergi ke Astana Waja, ke tempat makam beliau dan istri, sedangkan untuk ke makam-makam yang lain (orang-tua, kakek/nenek) itupun juga minimal sekali setahun.

Sedikit gambaran mengenai Astana Waja: Astana itu keraton, waja itu besi yang kuat. Jadi Astana Waja adalah keraton yang kuwat, yang tidak mudah rusak. Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh: Bale Suci adalah Rumah Suci, Agung adalah besar, jadi secara utuh sebagai Rumah Suci yang besar, yang akan menjadi pusat semua rumah suci yang akan dibangun oleh para siswa di kemudian hari. Maka bila ingin mendirikan rumah suci dimana tempat para murid berada maka tempat itu tidak boleh dinamai yang sama dengan yang di Muntilan itu. Tlaga Maharda adalah pekarangan atau temapt dimana didirikan bangunan diatas tadi. Sebelum didirikan bangunan masih berwujud sawah dengan selokan kecil, yang didalam batin beliau merupakan samodra yang luas tak bertepi. Dan Maharda berasal dari kata maha yang artinya lebih dan harda yaitu nafsu. Jadi Maharda adalah nafsu yang besar, atau sebagai biangnya nafsu. Kalau bisa menyaksikan di alam batin maka suksma yang ada di Tlaga Maharda itu adal suksma yang tersasar dan menjadi jajahan Sang Priya. Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh Tlaga Maharda, itu tidak dapat dipisah-pisahkan lagi.

Di Astana Waja, tidak semua orang bisa masuk, bahkan murid sekalipun apabila belum dapat menamatkan ilmu yang tiga perkara itu. Semua murid-murid hanya bisa berziarah ke Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh. Astana Waja setiap hari besar seperti hari Rebo Pahing sebagai hari kelahiran beliau, dan juga hari-hari besar yang lain yang sudah ditentukan, akan dibuka untuk membersihkan makam. Namun tidak begitu saja, karena semua tadi yang menentukan adalah RPS.R.Wenang Atmadipraja SH. Dan kemudian siapa-siapa yang akan masuk didaftar terlebih dahulu dan diatur bergantian, misalnya berapa yang dari Gunung Kidul, berapa dari Sleman, berapa dari Kedu dan seterusnya. Tetapi yang diperbolehkan masuk terlebih dahulu cucu-cucu lebih dahulu.

Di antara bangunan Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh ada halaman kecil yang disebut Asmara Data. Data adalah dari kata perdata atau pengadilan, jadi Asmara Data secara keseluruhan berarti tempat yang diperuntukkan meminta dengan sungguh-sungguh (meneges) agar didapatkan perintah dengan gamblang apa yang menjadi keinginannya. Tidak semua orang dapat bertapa dan bermalam di situ, hanya orang-orang yang sudah menamatkan ilmu yang tiga perkara, yang belum hanya bisa berada di sumur Jala Tunda yang berada di sebelah Timur bangunan itu.

Para murid-murid yang datang berziarah ke tempat itu tidak boleh berada di sembarang tempat, semua harus diatur. Orang laki-laki yang akan bersembahyang harus berada di sebelah kanan makam beliau dan orang perempuan harus ada disebelah kiri makam ibu, dan apabila sudah selesai bersembahyang boleh saja istirahat di tempat yang sudah disediakan yaitu Sasana Sewaka, tetapi tidak boleh sampai bermalam.

Sudah diperintahkan oleh RPS.R. Wenang Atmadipraja, orang perempuan yang akan bermalam haruslah di rumah beliau Cibuk Cangkiran, dan untuk orang laki-laki boleh menginap di Sasana Sewaka, tidak diperbolehkan di dalam gedung. Dan semua yang akan berziarah haruslah ingat akan pesan beliau: ”Yen padha menyang Bale Suci Astana-Waja aja pada nyembah gambar utawa kijing, ora kena sesaji nganggo kembang-kembang lan ngobong menyan."
Untuk keperlua itu sudah disediakan kaian mori putih yang bersih, dan hanya diperbolehkan untuk mengelap batu nisan dengan terlebih dahulu membasahi lap dengan minyak wangi.

Ketika sudah berniat untuk berziarah, maka semuanya sudah tertib. Pakaian haruslah yang sopan dan tidak boleh beraneka warna, warna merah serta biru sangat tidak dibolehkan. Dan ketika kaki sudah menginjak pekarangan maka semua harus tertib dan tidak boleh berbicara yang kurang berguna atau kotor maupun bersenda-gurau. Semuanya harus sudah terpusat kepada kesucian, dengan berpikir bahwa memang hanya ingin bertemu dihadapan Rama Pran-Soeh dan Utusan. Buat anak-cucu dan kearabat dekat tentu saja dapat datang setiap saat karena di sanalah makam ayah ataupun eyangnya.


Z. KIDUNGAN.

Kidungan ini dimaksudkan untuk sarana mengingat sejarah Rama RPS. Sastrosoewignyo, ketika bertapa di pantai Selatan dan mendapatkan wahyu yang pertama.

SUDIRAWARNA Lampah 12, pedhotan 5-7:
“Kacriteng pupuh / Sang Bratalaya Wasi / Ungguling yuda / Lan Kenya Wandasari / Luluh gya nabda / Mrih tapa somyeng ramya / Tri dasek warsi / Yun nimbulken lakonnya.”

DURMA:

1. Mundurraras Wasi Palam Bratalaya / Dahat amati ragi / Amesu sarira / Cegah dhahar lan nendra / Mrih sembada king kinapti / Cipteng wardaya / Mangudi nugreng widdi
2. Duk samana Sang Wasi suwiteng Nata / Adwija tunggil wirid / Antuk sihing Nata /
Tinunggal pra sentana / Karana dahat undhagi / Amilut karsa / Lebda cucut respati
3. Wasis beksa luwes sasolah bawanya / Swara rum raras bening / Bisa den luk sanga / Gandem dhasar wirama / Mapan tan kuciwenq gendhing / Marina kinarya / Abdi pamaca tulis.
4. Wis kawentar sawiji tan ana padha / Suprandene Sang Wasi / Tan umuk-umukan / Sumungah sesongaran / Marmanya keh para janmi / Mudha myang wredha / Julwestri pan samya sih.
5. Wit Sang Wasi tuhu luhur bebudennya / Welasan yun ngayomi / Mring kang kasangsaran / Rilan sung pangorbanan / Wau yen rinenggeng tulis / Tan ana telas / Tinulis telung sasi.
6. Kacarita Sang Wasi ruditeng driya / Krana tan tegel uning / De wantu Sang Nata / Dupeh darbe panguwasa / Sarake nora sinirik / Srakah melikan / Tan sirik tan atampik.
7. Pindha Kala myang Godhayitma manjanma / Weh panggugah Sang Wasi  /Enget tranging cipta / Dhedhasaring wardaya / Kang suka oleh kasucin / Sirik dursila / Tanngap sarasing osik.
8. Temah enget kalane lagya memaca / Lakyan pra sidik mursid / Yeku Seh Molana / Kang bangkit wawan sabda / Lawan ingkang Maha Suci / Tanapi uga / Narendra ing Matawis.
9. Sultan Agung saben-saben bangkit panggya / Ratu Kidul Sang Dewi / Kerep minta sraya / Myang sakeh wadyanira / Setan dhemit ejim besit / Pra brekasakan / Lelembut jro jaladri.
10. Melenging tyas kadya tugu sinukarta / Madeg prawireng galih / Wasi Bratalaya /
Kaduga mapakana / Merang lamun tan undhagi / Pan samya titah / Tan tulus lila lalis.
11. Semadyeng tyas pan arsa banting sarira / Trus ngatas mring Hyang Widdi / Wus sawelas warsa / Denira tapa brata / Sirih, mutih, pati geni / Met mapan Sonya / Sabeng kali myang tasik.
12. Pasisiran yen dalu tapa ngrambang / Datan adarbe ajrih / Langen ing samodra / Plembungan dhestharira / Ngangkah tengahing jaladri / Daksina-daya / Kratonira Sang Dewi.
13. Santoseng tyas nirbaya myang nirwikara / Akirnya tan aseling / Kongsi sawlas ratya / Nityasa tapa ngambang / Mangkya winursiteng tulis / Ratri wekasan / Alun kagiri-giri.
14. Lir kinerbur ombaknya mangambak-ambak / Manaut mring Sang Wasi / Gya binuwang tebah / Sigra bali mangangkah / Datan darbe walang galih / Milala pejah /
Lamun tan bangkit panggih.
15. Lan Sang Kenya Ratu-ratuning Udaya / Tekad wetah Sang Wasi / Suka kerem toya / Sinarap ing minarda / Gumolong giliging galih / Pan kongsi prapta / Wancinya madya ratri.
16. Kongsi kesel nora kasil kang sinedya / Kagol-kogeling galih / Pan sanget nalongsa /
Ngraos dahat sangsara / Gya minggir minggah ing sisik / Angga gel-gelan / Threthekan marga atis.
17. Kabeneran duk samana padhang bulan / Seh Maolanan keksi / Nulya ingunggahan /
Ambrangkang sempoyongan / Marlupa lesu aletih / Asayah lungkrah / Prandene prapta nginggil.
18. Temah lenggah asendhen wit nagapuspa / Asta kekalih nuli / Cecekelan sela / Bantheng prucul wastannya / Trus nalangsa mring Hyang Widdi / Karanta-ranta / Kandhas ing sanubari.
19. Lir udrasa tambuh-tambuh darunanya / Apes dennya dumadi / Tansah kogel gela / Enget wit timur mila / Wus tinilar mring sudarmi / Karanta-ranta / Lila tumuli lalis /
20. Angelangut anelongsa Sang Atapa / Angin emoh lumaris / Lir bela sungkawa / Alun kawlawan ombak / Jangkrik walang munya seling / Pindha ngrerepa / Weh lipur mring Sang Teki.
21. Pan kawarna tan antara nulya nebdra / Bawane lapa arip / Apayah kalintang / Mangkana adiling Hyang / Trus sare supena uning / Lir wewentehan / Ngraos anon jaladri.
22. Samodragung tanpa tepi mawalikan / Dangu dennya mriksani / Sesining samodra /
Kinedhepken gya sirna / Ilang sipating jaladri / Agyanta rupa / Temah dadya wanadri / 23. Madyeng wana keh wreksagung geng ngrembaka / Tinunggalan waringin / Geng luhur kalintang / Sang Wasi mawas kagyat / Anon peksi salah rupi / Mokal nglengkara / Ngedhangkrang munggweng wringin.
24.  Cucuk lancip netra bang mirah dalima / Mawa wangkawa wingit / Abra mara kata Lurik jali wulunya / Gedhenya sajago keksi / Buntut jelamprah / Cakar ajalu mingis /
25. Jroning cipta wau Wasi Bratalaya / Lagya tumon puniki / Beburon mangkana / Ing donya datan ana  / Tanapi gawok mring wringin / Tan mantra wreksa  / Pindha Kraton kaeksi.
26. Tuhu pelak Kraton kang sipat mandira / Prabawa wingit rungsit / Alun-alun jembar / Sinaponan pra janma / Ana kang ngawe Sang Wasi / Ngungun Sang Tapa / Peksi kang mokal anis.
27. Kawistara wanita sulistyeng warna / Angagem busanadi / Kapraboning Nata / Mrepeki mring Sang Tapa / Gya pinethukaken aglis / Tanya tinanya / Sang Wasi ing tyas runtik.
28. Kenya ngaku Nta daksinaudaya / Ya kenya Wandasari / Sesilihing Nata / Kang mangreh pra seluman / Lelembut lan setan eblis / Jroning samodra / Nenggih samodreng pati.
29. Bratalaya tanpa krana tambah duka / Wit sinilih kang warni / Narpestri akrodha /
Temah diya-diniya / Timbul panca-kara sengit / Rikma Sang Kenya / Den ukel mring Sang Wasi.
30. Karsanira Sang Kenya yun rinampungan / Kenya glis angles manjing / Jro angga Sang Tapa / Luluh dadya sajuga / Gya ana swara dumeling / Mangsit Sang Brata /
Tapa tri dasekwarsi.
31. Kinen ngalor ngulon mentar switeng Nata / Kidul Tidhar teteki / Guwa somyeng ramya / Timbul lakon kang nyata / Para lakon den tengahi / Swara tlas wungya /
Sang Wasi nuting wangsit.
32. Kang kawahya ing ngarsa mesi carita / Purweng Wahyu Sang Wasi / Ilhaming Pangeran / Kenya asilih warna / Ilmu Sejatining Estri / Tanpi sabda Hyang / Titi rengganing rawi.
33. Pinengetan tedhaking Wahyu kapisan / Mring dutaning Hyang Widdi / Wasi Bratalaya / Ing sanga likur tanggal / Agustus nujweng sutengsi / Sengkalan nira,
Ngles manjing Wasi wani. (1890).


Catatan: SMH. Sirwoko kemudian menyebarkan kepercayaan ini sebagai “Adam Makrifat.”


Wikimapia: Kampung Jagalan, Muntilan.




Ref: