22 Apr 2011

PRAN-SOEH (NGESTHI KASAMPURNAN) (O - T)

O. BERDIRINYA ASTANA WAJA DAN BALE SUCI PRAN-SOEH

 
”Aku iki wis tuwa banget, lha wong besuk 30 September 1953 iki, umurku wis genep wolung puluh lima tahun. Ibumu uga wis widakan tahun, etungku yen ora kleru, suk samana olehku dadi Carik bae wis seket nem tahun."
Itulah yang diucapkan beliaunya pada suatu waktu ketika sedang bersama murid-muridnya. Muridnya sudah banyak sekali tahu, karena sangat dekat dengan beliaunya, dan tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Maka tanpa komando lebih lanjut kemudian para muridnya mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas bagaimana harus mendirikan atau memulai untuk membangun calon makam beliaunya (astana). Kemudian semua hasil permusyawaratan tadi disampaikan kepada beliaunya, megijinkan dan sekaligus memberikan tempat yang akan digunakan yaitu sawah beliau sendiri. Hari mulai pembuatan astana itu adalah disesuaikan dengan tanggal lahir beliaunya (30 September 1953) saat beliaunya sudah berusia 85 tahun, dengan sedikit keramaian. Kemudian beliaunya juga sekaligus memberi nama tempat itu sebagai Astana Waja, dengan nama resminya Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh Tlaga Maharda. Konon di sawah yang akan ditempati itu ada kolam kecil yang beliau menamakannya Tlaga Maharda, yaitu tlaga induknya nafsu atau Wahyu Sejatining Kakung/Putri, juga hawa nafsu beliaunya sendiri.
  
Pelaksanaan peletakan batu pertama makam tadi didahului dengan keramaian, yaitu dengan menggelar pementasan wayang semalam suntuk dengan lakon Bambang Gunung Rama Pran-Soeh yaitu cerita mengenai lahirnya beliau sebagai Raden Gunung yang dalam pewayangan selanjutnya diganti dengan Bambang. Perayaan itu sempat dihariri oleh petinggi-petinggi dan aparat-aparat pemerintah termasuk juga Prof. Joyodiguna, seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada dan juga para mahasiswanya. Pagi hari setelah pagelaran wayang maka akan dilakukan peletakan batu pertama oleh beliaunya sendiri, yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu dengan semadi dan kemudian batu diberikan kepada murid-murid terkasih dan baru diberikan kepada tukang batu yang sudah siap untuk melakukan pekerjaannya. Pada acara sambutan beliau tidak kuasa untuk menyampaikannya sendiri maka digantikan oleh SHM. Sirwoko dan dilanjutkan oleh Darma Wasita sebagai wakil dari para murid maupun putra-putri beliaunya. Akhir dari seluruh rangkaian acara tersebut adalah diserahkannya dua buah vulpen kepada SHM. Sirwoko dan Marta Sudarsana untuk menandatangani buku pedoman ilmu tiga perkara oleh beliaunya.
 
Dengan adanya para jurnalis yang juga datang pada keramaian itu akhirnya berita ini menyebar kemana-mana, sehingga makin meluasnya ajaran-ajaran beliaunya ini. Beliau sendiri berkata: "Aku bisa mencarake lelakon semene jembare, kuwat mencarake kasuciyan, kuwi saka kasetyane Ibumu, olehe tansah saguh dak ajak ngrembug anak-putu ewon-ewon cacahe saprana-saprene."

 

 
P. PRAHARA DI GUNUNG KIDUL

 
Sampai sekarang orang hanya mengingat sesuatu apabila disebutkan nama Gunung Kidul, daerah gersang yang orang-orangnya banyak yang kelaparan. Itu saja! Benarkah seperti itu? Berikut ini adalah kisah tersebut.

 
Memang waktu itu Gunung Kidul sedang dilanda prahara, seakan-akan hujan enggan turun lagi disana, sehingga banyak pepohanan yang mati, ataupun tidak mau berbuah. Dan tanaman pertanianpun tidak menghasilkan apa-apa. Rama RPS. Sastrosoewignyo meminta agar Atma Wiharja dan Darmajadisastra membeli seekor burung perkutut dari Trawana, seberapapun harganya dan bagaimanapun wujudnya agar dibeli. Dan benar ada seorang tua yang membawa seekor burung perkutut, dan harganya ternyata murah saja. Kemudian dibeli dan diantarkan ke Jagalan untuk diberikan kepada beliaunya. Kemudian setelah diterawang oleh beliaunya, desa Trawana pada waktu itu sedang menjadi pusat berkumpulnya maklhuk-makhluk halus (jim/ lelembut) di Gungunkidul.

 
Untuk menetralkan hal itu kemudian Rama RPS. Sastrosoewignyo memerintahkan kepada murid-muridnya untuk segera mengadakan perkumpulan-perkumpulan yang berpindah-pindah yang disertai dengan musik Jawa (klenengan/uyon-uyon) tetapi dengan gamelan yang tanpa gong. Perkumpulan itu dimulai dari Semanu, sebagai penabuh kendang adalah Sastropuro setelah itu boleh siapa saja, tetapi dalam setiap pertemuan itu harus ada: Nyi. Karya Sukarwa (ibu SMH. Sirwoko), Dibya Puspita (adik SMH. Sirwoko) dan Nyi Karta Hudaya (ibu Sastropura). Gending yang harus dimainkan Srikaloka dengan senggakan leh-olehe lonthong, selanjutnya boleh apa saja. Kemudian gending Sriwidada dan Lombo Eling-eling yang dibuka dengan Sinom Logondang. Begitulah setiap ada perkumpulan dan Darmawasita harus menunggui sampai selesai.

 
Apa makna dibalik semua itu, bisa dijelaskan berikut ini. Dari senggakan Leh-olehe Lonthong adalah buah dari suksma, bisa dikatakan mati dengan sempurna apabila dapat melepaskan bungkus lontong (nyawa), sedangkan lontong itu sendiri adalah suksma yang harus lepas dari nyawa, maksud sebenarnya adalah meninggalkan hawa nafsu. Dari tempat tinggalnya di Jagalan Rama RPS. Sastrosoewignyo, bisa merasakan bahwa banyak murid-muridnya dari golongan wanita yang suksmanya terpikat oleh lelembut dan akan dimasukkan ke dalam kawah (song) yang kemudian ditutup dengan batu besar.

 
Dengan adanya hal yang demikian itu, Rama RPS. Sastrosoewignyo menjadi sangat bersedih mendengarnya, terutama jika dilihat dari penglihatan batin beliau. Untuk itu beliau menyempatkan untuk datang ke Gunung Kidul ditemani oleh Ong Sioe Gien, langsung menuju rumah anaknya di Jeruk. Tentu saja keberhasilan seorang pria/suami adalah tidak terlepas dari dukungan sang istri, dengan demikian maka bila para wanita atau istri-istri di tempat itu bermasalah bisa mejadikan rusaknya keluarga, lebih besar lagi rusaknya masyarakat. Istri adalah pendukung suami dalam segala hal baik lahir maupun batin. Untuk persyaratan tumbal maka beliau menggunakan tongkat (teken), yang kemudian para murid-muridnya supaya berpegangan pada ujung tongkat tadi, yang tidak kebagian cukup dengan berpegangan pada orang yang telah memegang tongkat itu dan seterusnya sampai semuanya. Kemudian beliaunya bertanya yang harus dijawab oleh SMH. Sirwoko sebagai wakil murid:
"Kene iki rak dudu Trawana ta?”
"Sanes, mriki sanes Trawana, ngriki punika Semanu."  
"Iya saiki padha mentasa, ayo dak tuntun nganggo tekenku."

 
Memang hal seperti itu hanya seperti permainan anak-anak saja, tetapi itulah syarat yang harus dikerjakan. Setelah itu kemudian beliaunya memberi keterangan banyak tentang sebenarnya apa yang terjadi. Dikatakannya bahwa jin/ makhluk-makhluk halus itu mempunyai banyak sekali cara untuk memikat korbanya. Orang-orang yang sudah terpikat kemudian suksmanya ditempatkan pada kayu-kayu besar, batu-batu besar, gowa-gowa dan juga rumah-rumah yang tanpa tiang penyangga. Diceritakan juga tempat-tempat yang dapat dikunjungi maupun yang tidak.

 
Menjelang peringantan 85 tahun usia beliau, Rama RPS. Sastrosoewignyo berkata:
"Yen mangkene iki trima ora mangerti dhawuhe Gusti Allah, dhawuh ing tahun iki tansah mung anggelakake aku terus-terusan. Nanging yen dak gagas, saya yen aku ora meruhi dhawuh-dhawuh iku mau luwih dhisik, mesthi luwih gedhe gelaku, dadi luwih apik mangerteni dhawuh luwih dhisik tinimbang ora."

 
Murid-murid beliau hampir tidak tanggap mengenai hal itu, dan ternyata tidak begitu lama setelah itu menantu beliau (istri R.Yasir) meninggal, diikuti dengan cucunya, anak dari Marta Asmara. Tidak hanya sampai disitu saja, kesedian masih terus berlanjut yang bisa terlihat dari kata-kata beliau setiap hari: "Baya bakal ana apa maneh?”
Menjelang kepulangan beliau ke Jagalan: "Kangjeng Nabi Suleman, lan uga Prabu Anglingdarma, padha bisa lan mangerti rerembuganing kutu-kutu walang atag. Ing Layang Menak nyebutake yen Kangjeng Nabi Mohamad bisa ngandikan lan Gunung Kud. mangkono uga Pustaka Raja Purwa (Sunan Kalijaga) bisa rerembugan lan tugu waja. Anak Putuku, murid-muridku kudu bisa rerembugan karo manuk perkutut iki. Mulane aku manut Darmawasita, perkutut telu iki endi kang dakgawa, gelem melu aku, sesuk mulihku jam sanga.”

 
Dengan ujian yang sangat mendadak dan pendek (hanya semalam) Darmawasita harus berpikir keras. Seandainya toh sudah pernah disuruh untuk menanyai kerikil yang digenggam beliaunya, itu adalah dengan waktu yang tidak terbatas hingga berbulan-bula. Dari petunjuk Gusti Allah kemudian Darmawasita bahwa perkutut punya SMH. Sirwoko yang harus dibawa, sebab itu adalah benar milik beliau. Terkait ketika waktu itu SMH. Sirwoko memintakan kesembuhan untuk anaknya Susasti yang sakit keras dan sudah dibawa ke Jakarta ditangani oleh dokter-dokter disana tidak juga sembuh. Dan perkutut dari Marta Suwita dibawa boleh ditinggal juga nggak apa-apa, tetapi sebaiknya dibawa untuk melegakan hatinya. Tetapi yang satunya benar-benar tidak boleh dibawa karena tidak akan tahan menjadi piaraan beliaunya. Sebenarnya semua itu sudah dipahami oleh beliaunya, tetapi perlu juga ditegaskan untuk keperluan makrifat.

 
Tak lama setelah itu, ibu (istri Rama RPS. Sastrosoewignyo) sakit boyok, mungkin juga cuma terkilir, sehingga hanya berbaring saja. Banyak sudah ahli-ahli kesehatan maupun dukun-dukun yang datang untuk mengobati, tetapi tidak ada yang manjur. Rama RPS. Sastrosoewignyo sendiri tidak berbuat apa-apa karena katanya baru mendapatkan hukuman dari Gusti Allah. Meskipun sebentar-sebentar bisa juga bangun untuk menemui tamu, juga apabila mau meminta (nyenyuwun) kepada Gusti Allah yang tentu saja atas bimbingan beliaunya. Hal ini membuat rumah beliaunya sepi tidak seperti biasanya, dan putra-putrinya banyak ada juga yang menengok. Apa tidak menjadikan olok-olok, istri sendiri saja sakit tidak diapa-apakan kok malah memberikan pertolongan (tombo/syarat/tumbal) kepada orang lain. Orang yang demikian itu tentu saja tidak mengerti mana yang sudah menjadi kodrat Gusti Allah, dan mana yang terpengaruh oleh makhluk jahat, dan mana-mana yang masih bisa dirobah atau tidak.

 
Saat itu juga sudah waktunya untuk perletakan batu pertama Bale Suci Agung Gedung Pran­Soeh Tlaga Maharda, sebab Astana Waja sudah hampir selesai, hanya tinggal menghaluskan saja. Acara ini dirancang untuk sederhana saja, mengingat beliaunya baru saja kehilangan anggota keluarganya, yang penting terlaksana. Setelah jatuh masanya, malam hari sebelum perletakan batu pertama banyak yang tirakatan di Tlaga Maharda, pagi harinya Rama Rama RPS. Sastrosoewignyo (tidak bersama istri) dan disertai beberapa murid terkasihnya berangkat ke Tlaga Mharda. Perletakan batu pertama dilakukan oleh SMH. Sirwoko dan Martaradana yang menggunakan busana Jawa Mataraman. Beliaunya sendiri menggunakan destar caplangan yang masih baru, jas hitam dan kain yang dihiasi dengan rangkaian bunga melati yang ujungnya bunga kanthil. Semua itu tentu saja atas petunjuk beliau, dan menjadikan pertanyaan buat SMH. Sirwoko yang disertai isak tangis setelah usai acara itu.

 
Astana Waja yang tinggal sedikit lagi selesai, pembangunannya dilakukan dengan cara gotong-royong. Banyak para pemuda-pemudi yang ikut membangun Astana Waja dengan kebisaannya sendiri, ada yang bisanya hanya mencari kerikil, atau hanya mencari pasir di kali, menumbuk batu bata menjadi semen merah dan lain sebagainya. Toh akhirnya selesai juga bangunan Astana Waja itu, dan semuanya merasa gembira bisa ikut campur memberikan baktinya yang semoga nanti bisa menjadikan berguna bagi anak cucu.

 
Sakit Ibu (istri Rama RPS. Sastrosoewignyo) makin lama makin bertambah parah. Kemudian putra-putrinya mengharapkan agar dirawat di Rumah Sakit, beliaunya mengijinkan kemudian dirawat di RS. Panti Rapih, Yogyakarta. Namun demikian penyakitnya tidak kunjung juga berkurang, maka diputuskan untuk dirawat di rumah saja. Hari Kemis Legi tanggal 23 Desember 1954 jam 13.00 Ibu meninggal, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Dengan seketika berita itu menyebar ke seluruh penjuru pelosok, terutama tempat dimana putra-putrinya berada. Jenazah kemudian diurus, dan mulai saat itulah kemudian beliaunya membuat beberapa peraturan mengenai tata-cara memperlakukan jenazah.

 
Rama RPS. Sastrosoewignyo masih dalam keadaan yang berduka, dan selalu bersedih apalagi ketika ada muridnya yang datang memberi ucapan bela sungkawa sambil menangis, beliaunyapun ikut menangis pula. Yang kemudian mejadikan beliaunya agak bangga adalah kenyataan bahwa tamu yang datang sangat banyak, untuk hal itu beliau berkata: "Samono katresnane anak-putuku marang biyunge. Lha iya biyunge ta, kang sok ngrembug, aku besuk malah durung karuwan."

 
Setelah prosesi selesai SMH. Sirwoko memberikan sedikit pembicaraan, kemudian jenazah diangkat oleh putra-putri, kemudian digantikan sesepuh organisasi dan akhirnya dibawa ke Astana Waja. Yang terdepan adalah barisan pemuda-pemudi dengan karangan bunga, lemudian jenazah, yang diikuti oleh saudara-saudara dekat dan sesepuh organisasi, yang terakhir adalah khalayak ramai. Dalam peringatan meninggalnya Ibu juga banyak putra-putrinya yang datang, dan pada saat itu pula batu nisan buat tanda segera dipasang tumpang tundha 9, yang mengingatkan Ibu mempunyai bakti yang sangat besar dalam membantu penyebaran ilmu Gusti Allah.

 
Ketika Pemerintah Pusat mengadakan Panitya Penyelidikan Aliran Kepercayaan Masyarakat, yang umumnya disebut dan disingkat Panitya PAKEM, maka ketika menyebut-nyebut mengenai keyakinan/ kepercayaan/ kasuksman, dengan tidak ragu-radu lagi beliau memberi keterangan: "Bab rochani, donya boten wonten ingkang sumerep nyataning rochani punika, mekaten ugi bab nyataning Gusti Allah, kajawi murid-murid kula. Yen atur kula punika dora, kula purun dipun tengkel-tengkel gulu kula."

 
Dan sudah menjadi kepribadian beliaunya, akan menghormati siapa saja yang memang menghormati dirinya, sebaliknya akan sangat menghina apabila orang itu juga menghinanya. Dan untuk hal ini beliau berkata: "Murid-muridku, yen wani aja wedi, dadi sepi ing pakewuh, yen wedi aja wani kareben slamet.”

 

 

 
Q. PERINTAH UNTUK BERTUMBAL DAN SYARAT-SYARAT LAIN

 
Belum juga setahun Ibu (istri Rama RPS. Sastrosoewignyo) meninggalkan beliaunya, tetapi beliaunya ingin punya pendamping lagi. Ketika putra-putri beliau minta tolong kepada para Sesepuh Organisasi untuk mencegah hal itu makanya beliaunya berbicara: "Aku iki sadrema nindakake dhawuhe Gusti Allah, kapriye kok ora padha mangerti, aku rak wis suwe yen iket-iketan caplangan nganggo sidhangan jambon, aku rak gumagus to? Dhek perletakan batu pertama Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh, aku rak nganggo kembang roncen, ta? Kapriye kok padha ora tanggap yen bakal ana penganten? Karo maneh aku iki nyambut gawe ngawula Negara, tamuku akeh saka pegawe-pagawe pamarintah, sapa kang bakal ngrembug? Lan sing dak weruhi, yen uwong tuwa nandhang suker-sakit, anak durung mesthi rahap kaya bojo, luwih-luwih yen mbuwangi kotoran. Saya yen ngelingi anak-putuku/murid-muridku kang ewon cacahe, lha yen ana anak-putuku wadon kang teka, sing nemoni sapa? Yen aku sing nemoni andhak ora wagu? Apa yen ana tamu tak tolak? Aku sruwa-sruwi luput lan ora kebeneran."

 
Sebenarnya itu tidak begitu saja terjadi. Dengan meninggalnya Ibu, Rama RPS. Sastrosoewignyo amat sangat berduka, dan tetap dengan laku prihatin yang maksudnya agar suksma Ibu lekas bisa kembali ke alam kasampurnan (manunggal dengan Gusti Allah). Rama RPS. Sastrosoewignyo sering berkata, kecintaan terhadap anak istri itu jangan setengah-setengah, harus sampai ke alam batin (alam halus). Istri beliaunya adalah pemberian Gusti Allah ketika beliaunya minta waktu itu, dan sudah lama sekali bersatu sampai mempunyai anak cucu yang tidak terbilang, begitu juga dalam hal menyebarkan ilmu Gusti Allah. Namun demikian Ibu belum bisa sampai tamat/khatam dalam mempelajari ilmu yang tiga perkara itu, dengan demikian harus diruwat. Ketika dalam pengruwatan itu (memisahkan antara nafsu dan suksma), beliaunya mengantarkan suksma suci itu pecahan nafsu itu berwujud wanita lain yang secara hakiki adalah milik beliau. Dan ketika beliaunya mohon petunjuk lebih lanjut, maka diharuskannya untuk menikahi wanita itu. Dan wanita yang tergambar dalam perintah Gusti Allah adalah Ny. Dasinah, janda yang sudah berusia 60 tahun. Meskipun toh akhirnya belum dapat diperoleh suara yang bulat.

 
Dan ketika berada di rumah salah satu siswanya Martasuwita di Semanu, banyak sakali para siswanya yang berkesempatan untuk datang berbakti, dan juga banyak sekali yang memberikan tanggapan, pengalaman-pengalaman maupun ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perkawinan usia tua. Dan setelah lewat tengah malam dan hampir pagi, ketika tinggal sedikit yang masih ikut perjamuan itu maka beliaunya berkata: "Aku golek bojo kuwi ora kaya butuhe uwong enom-enom. Tak kandhani ya, yen uwong lanang sing wis ngumur 75 tahun tahun munggah, kuwi wis ora mbutuhake perkara iku. Aku iki wis luwih saka 10 tahun, wis ora nglakoni. Yen ora ngandel ambahen. Dene yen uwong wadon umur 57  tahun tekan 60  tahun iya wis ora apa-apa. Dak pujek-pujekake anak-anakku duwe umur dawa kaya aku, kareben bisa nekseni dhewe omongku goroh apa temenan. Embuh bener, begja apa cilaka, bathi apa tuna, yen uwong kuwi wis nindakake dhawuhe Gusti Allah. Lan apa ana ta, Gusti Allah kuwi murih sangsara lan dhawuh supaya tuna? Apa banjur aran ala ta, yen uwong tuwa butuh urip rerukunan kanthi cara-cara kang absyah miturut peraturane Agama? Saiki aku mung manut Darmawasita sakancane, kapriye aku iki kudune miturut dhawuhe Gusti Allah. Awak-awak !!”

 
Beliaunya berkata demikian tetapi dengan tidak raut muka yang dipaksakan, tetapi biasa saja dan sedikit tertawa atau bercanda. Hal semacam ini menjadikan orang-orang yang masih terjaga semakin merasa jengah. Sehingga mereka semua para Sesepuh Organisasi mengupayakan hal apa yang terbaik, tentu saja dengan cara minta petunjuk dari Gusti Allah. Dan setelah banyak para Sesepuh yang mendapatkan petunjuk yang jelas, maka kemudian mereka menyetujuinya dengan suara bulat, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa beliaunya adalah orang yang tidak seperti kebanyakan, dan pasti ada sesuatu yang harus dikerjakan dan belum selesai. Beliaunya sanggup untuk menjalankan lakon apa saja yang kalau memang itu adalah perintah Gusti Allah.

 
Marta Asmara (menantu) kemudian mengatarkan beliaunya pulang ke Jagalan, dan kemudian mendiskusikan hal itu terhadap seluruh keluarga besar Rama RPS. Sastrosoewignyo, dan semuanya sudah menyetujui tanpa halangan apapun. Semuanya tentu karena sudah menjadi kehendak Gusti Allah semata. Dari pihak penganten wanita ketika dihubungi juga semuanya menyetujuinya dan tidak ada masalah.

 
Berhubung suksma Ibu almarhum sudah medapatkan kesempurnaan dengan kesaksian, jadi tidak harus menunggu sampai 330 hari dari ketentuan seseorang untuk kawin bila ditinggal mati. Dan beliaunya kemudian juga memerintahkan apabila ingin meruwat suksma orang yang sudah meninggal tidak perlu lama-lama cukup sampai 110 hari saja, karena apabila setelah waktu itu belum juga berhasil, untuk mendapatkan keberhasilannya juga susah. Meskipun demikian beliaunya meruwat ayah sendiri sudah 40 tahun dan tetap akan dilanjutkan.

 
Perhelatan pernikahan Rama RPS. Sastrosoewignyo akan dilaksanakan oleh para Sesepuh Organisasi. Ijab-qobul dilaksanakan di rumah SMH. Sirwoko di Semanu. Dan tidak banyak upacara adat hanya sekedar saja dan sangat sederhana. Tetapi malam harinya diadakan pertunjukan wayang dengan dalang adalah siswa yang sudah (baru saja) lulus/katam dalam mempelajari ilmu-ilmu beliaunya. Dalang itu adalah Sastrabusana dan lakon yang dibawakan Bratalaya Janji, sebuah lakon yang dianggap cukup penting untuk menggambarkan ilmu-ilmu yang diajarkan Rama RPS. Sastrosoewignyo. Pada akhirnya dalang ini sering diundang untuk mengadakan pertunjukan di berbagai tempat.

 
Setelah kembali ke Jagalan Rama RPS. Sastrosoewignyo tinggal di rumah istri yang baru, yang tidak jauh dari tempat tinggal sebelumnya (sebelah Utara). Meskipun demikian dimanapun beliau berada di situ pula murid-muridnya akan berkumpul, dan beliaunyapun tidak selalu berada di rumah istrinya, kadang dan sering berada di rumahnya sendiri. Katakanlah diibaratkan seperti tawon madu, yang kemanapun rajanya hinggap maka di situ akan menjadi sarangnya, demikian pula beliaunya ini, sebenarnya murid-muridnya hanya ingin bertemu beliaunya saja, ya kalau sudah ketemu ya sudah meskipun kadang-kala harus menempuh suatu perjalanan yang cukup jauh.

 
Ibu (istri baru) mempunyai perangai yang sangat berbeda dengan istri beliau sebelumnya. Ibu sangat mendukung atas semua yang dilakukan beliaunya dan hampir tidak pernah membantah (istri beliau yang sebelumnya sering membantah, sehingga hingga akhir hayatnya tidak bisa meng-katam-kan ilmunya). Dengan demikian dengan waktu yang cukup singkat akhirnya istri beliau segera katam. Dan ini adalah menjadikan pekerjaan beliaunya lebih ringan, dimana banyak hal bisa diberikan kepada istri untuk diselesaikan. Lebih-lebih murid-muridnya yang wanita, maka setelah dibantu oleh ibu akhirnya bisa katam. Tentu saja hal inilah yang dimaksud bahwa petunjuk Gusti Allah adalah tidak akan pernah menjerumuskannya. Hal ini tentu saja menjadikan semakin cintanya terhadap beliau dan istrinya untuk para murid-muridnya. Dan di alam haluspun dapat dijumpai pula bahwa kehadiran Rama RPS. Sastrosoewignyo selalu disertai ibu. Dan sebaliknya pula apabila para siswanya memerlukan hadir dalam alam halus kepada beliaunya maka selalu pula dijumpainya ibu. Dan siswa yang seperti ini adalah yang dinamakan katam yang benar-benar katam karena dapat saling bersaksi. Yang demikian ini Rama RPS. Sastrosoewignyo sering mengatakan: ”Kowe wis mlebu stambuk, iku caraha lahire.”

 
Dengan perkawinan ini dan perkembangan yang seperti itu tentu saja murid-murid beliau semakin lama semakin bertambah banyak, dan rumah istrinya tidak dapat lagi menampung, maka diperlukan untuk diperluas. Dan belum ada perintah sedikitpun dari beliaunya, maka murid-muridnya yang berasal dari Kali Angkring dan Bandung Paten sudah mengetahui hal itu, maka tidak banyak bertanya lagi langsung semuanya dikerjakan. Dengan rumah yang sudah semakin besar maka beberapa hal menjadi lebih mudah, disamping itu ibu juga sudah biasa membantu untuk hal yang kecil-kecil. Tinggal urusan yang besar-besar saja yang harus dipikirkan oleh beliaunya, anatara lain bagaimana perkembangan dunia, dan ketentuan-ketentuan apa yang harus dilakukan hal ikhwalnya dengan ilmu Gusti Allah.

 
Bagi Rama RPS. Sastrosoewignyo, untuk mengetahui muridnya yang sedang tertimpa halangan adalah mudah. Halangan disini berarti muridnya sedang berlaku menyimpang karena keduniawian. Apabila ada muridnya yang tidak pernah hadir dalam alam halus meskipun setiap saat datang dalam alam wadag, bisa dipastikan bahwa muridnya itu sedang berlaku menyimpang, namun demikian walaupun muridnya tidak pernah hadir secara nyata di alam wadag namun selalu hadir di alam halus, bisa dipastikan tidak terjadi apa-apa.

 
Dan untuk memudahkan murid-muridnya agar lekas dapat menyelesaikan ilmunya (katam) dan akan mendapatkan jalan terang, maka beliaunya kemudian memberikan berbagai cara untuk menempuh hal tersebut, dan hal itu tentu saja setelah diperolehnya di alam halus, adalah antara lain:
a.   Sekali waktu pernah seorang muridnya yang ingin cepat katam maka agar supaya minta syarat kepada Martaradana di Ngleri.
b.   Dan juga pernah agar seorang muridnya yang belum katam dan sama sekali belum menyaksikan nyawa (hawa nafsu) agar minta syarat kepada Darmawasita di Kranon, Wonosari. Yang disertai pula dengan hal-hal/barang-barang  yang harus dibawa dan cara menggunakannya. Dan yang seperti itu tidak hanya sekali, akhirnya banyak orang yang datang ke rumah Darmawasita sehingga polisi mencurigainya. Namun demikian bisa dibuktikan bahwa itu bukan kegiatan yang menyimpang.
c.   Rama RPS. Sastrosoewignyo juga mengatakan bahwa kebun milik Marta Suwita di Semanu, bagian sebelah Barat rumah bisa digunakan untuk besemadi (tidur) yang dengan ini maka akan terkabul permintaannya. Dan juga bagian sebelah Barat sumur milik Poejosoewito di Jeruk bisa dipakai untuk mendapatkan ketentraman.
d.   Pernah juga ada seorang muridnya yang dikasihi, tetapi dianggap melakukan kesalahan besar. Kepada murid tersebut beliaunya menyuruh untuk mandi di kali yang ada di pinggir jalan dengan memakai kain dan pakaian jelek. Kain tadi agar dijemur agak jauh dari tempat mandi sehingga diambil orang. Dan kalau mandi malam agar kain yang basah dipakai untuk selimut sehingga kering dengan sendirinya. Hal seperti itu harus dilakukan berulang-ulang. Akhirnya harus berpindah-pindah rumah, yang terakhir harus mengabdi pada SMH. Sirwoko serta Ong Sion Gien. Tetapi apabila semua yadi dijalankan dengan ikhlas maka yang dicaripun akhirnya didapat juga, pengakuan dari beliaunya dan suksmanya sendiri bisa disaksikan.
e.   Rama RPS. Sastrosoewignyo menyuruh apabila ingin mendapatkan jalan terang agar mau cuci muka di sumur Jala Tunda (dekat Asatana Waja). Kalau ingin cepat bertemu dengan hawa nafsu supaya mandi di Tlaga Maharda, dan kalau ingin ketemu dengan Utusan harus menghafalkan tembang Pangkur berikut ini: “Kawula Bambang Senggana, Prabancana nenggih Rama Dayapati, Anjani ingkang sesunu, Wangsul teja-leksana, Radyan kalih sinten sinambating arum, Yen sira takon maring wang, Dyan Legawa aran mami.”  
f.    Dan beberapa tempat yang sifatnya lokal adalah: buat murid-murid yang berada di sebelah Barat kota Yogyakarta dengan syarat mengelilingi pasar Godean, untuk murid yang ada di kota Yogyakarta adalah alun-alun Utara sebelah Tenggara. Murid yang di Semanu adalah kebun milik SMH. Sirwoko sebelah Tenggara, dan Kali Pangkah samapai Kali Suci. Tirakat atau laku prihatin tadi harus ingat akan perintah beliaunya yaitu tapa ngrame ing guwa samun, jangan sampai laku yang demikian itu diketahui oleh orang lain, maka sebaiknya lakukanlah di malam hari.
g.   Karena sifat manusia yang kadang-kadang baik kadang-kadang buruk, kadang-kadang inget kadang-kadang tidak, maka kemudian beliaunya menetapkan orang-orang yang dapat menentukan seseorang sudah katam atau belum adalah Darmawasita, Martaasmara (menantu), Marta Wiyogho dan Martasuwita. Untuk daerah Kedu hanya Kamil dan Pujiya. Daerah kota Yogyakarta untuk laki-laki Ong Sioe Gien, wanita Ny Ong Sioe Gien. Ny Poedjosoewito dan Ny Martasuwita untuk kaum wanita di Gunung Kidul. Meskipun hal yang seperti ini itu sudah jelas ada dalam petunhuk yang jelas, tetapi adakalanya manusia itu selalu berubah karena sesuatu hal. Kadang-kadang seseorang bisa saja menemui masalah yang menyebabkan berpikir kurang sempurna, bila hal itu sedang menimpa maka seyogyanya janganlah ketentuan itu diteruskan, adalah untuk menjaga sesuatu hal yang tidak sewajarnya terjadi, misalnya orang tersebut kemudian menjadi gila dan lain-lain, yang menjadikan kerugian buat orang lain.

 
Orang-orang yang sudah katam dan sudah diberi wewenang khusus ini bisa diibaratkan seorang anak yang sudah disapih, yang tidak perlu lagi mengharapkan sesuatu dari beliaunya, dan hal ini tentunya akan menjadikan beban beliaunya lebih ringan tentunya di dalam batin. Dan bisa dikatakan kalau sudah begitu itu mempunyai rasa belas-kasih yang tinggi terhadap beliaunya.

 
Ibu (istri baru) dalam hal kasih sayang terhadap anak-anak bisa dikatakan sudah seperti anak sendiri. Dan ketika punya hajat untuk menikahkan anaknya yang bungsu yang bernama Rr. Tun, yang mendapatkan Kardana putra dari Secaharjana dari Tebon, maka ibu dan beliaunya tetap sebagai tuan rumah dan sedikit dibantu oleh putra-putri lainnya. Hajat yang kali ini sangat meriahnya, dari mulai pasang tarub hingga selesainya seluruh rangakaian acara seminggu lamanya dan para tamu datang dengan tak henti-hentinya.

 
Pertunjukan wayang purwa hingga dua hari dua malam dengan mengambil lakon yang pertama Gatutkaca Rabi, dan yang kedua Wisanggeni Rabi. Masih ditambahi satu malam lagi yaitu sandiwara Jawa (ketoprak) dengan lakon Wiropati yaitu seorang pahlawan yang gigih melawan Belanda pada saat perang Diponegoro. Tentu saja hal ini punya maksud agar anak cucu mempunyai rasa cinta terhadap tanah air, sekaligus mengingat akan leluhur beliaunya Kyai Wiropati, dan semua itu terselenggara atas petunjuk dari Gusti Allah. Rama RPS. Sastrosoewignyo mempunyai enam orang dan empat adalah berasal dari murid-murid beliau sendiri. Seseorang akan sangat merasa sangat beruntung apabila menjadi besan beliaunya.

 

 
R. MENGGANTI KATA GUSTI ALLAH MENJADI RAMA PRANSOEH

Pada suatu hari Rama RPS. Sastrosoewignyo mendapatkan petunjuk dari Gusti Allah, bahwa Tlaga Maharda itu mempunyai saluran pintas (saluran tembus) yang bernama Sendhang Nirmayasandi yang berada di kebon beliau sendiri dekat jembatan Kali Lamat, Jagalan. Sebenarnya kebon itu akan diberikan kepada putra beliau R. Wenang. Di dalam petunjuk tadi mengumpamakan bahwa Sendhang Nirmayasandi di dalam cerita wayang adalah sebagai Cibuk Cangkiran, yaitu Padhepokan milik Dewi Anjani (Ibu Anoman). Sedangkan Anoman itu adalah juga merupakan gambaran Sri yang sedang mendapatkan hukuman dari dewa. Sehingga pada akhirnya nanti tempat itu bisa digunakan untuk tirakatan buat murid-murid beliau yang wanita apabila mendapatkan masalah, dan juga agar cepat selesai dalam mempelajari ilmu-ilmunya.

Rama RPS. Sastrosoewignyo mempunyai keinginan untuk membuatkan rumah putra beliau R. Wenang di tempat itu juga. Tetapi para murid-murid beliaulah yang akhirnya membuat rumah itu dengan cara bergotong royong, terutama untuk kaum perempuan, karena mengingat bahwa tempat itu adalah akan mempunyai fungsi dan nilai yang sangat tinggi pada akhirnya. Mereka semua bekerja dengan cara apa yang bisa mereka lakukan dan sangat disadari bahwa pekerjaan itu merupakan kebutuhan mereka sendiri, misalnya ada yang hanya mengangkut kerikil, mengangkut pasir, atau apa saja. Namun demikian mereka bekerja tidak didiamkan begitu saja, setiap harinya ibu selalu memasak di dapur untuk keperluan makan mereka semua. Rama RPS. Sastrosoewignyo sendiri memang tidak menginginkan apabila rumah itu jadi seluruhnya atas pekerjaan laki-laki, karena ada pepatah bahwa seorang laki-laki (suami) seharusnya memang mencari nafkah dan seorang perempuan (istri) adalah yang mengelola nafkah tadi, dan keduanya harus seimbang dan tidak boleh saling menggerutu. Dan Rama RPS. Sastrosoewignyo juga tidak menginginkan apabila rumah itu jadi atas prakarsa (biaya) seseorang atau beberapa orang saja, karena rumah itu pada akhirnya nanti merupakan rumah buat orang banyak, jadi pembuatannyapun harus demikian.

Selain masalah-masalah ke-suksma-an, Rama RPS. Sastrosoewignyo juga sering memberikan perintah-perintah yang berhubungan dengan tata-krama dan kesusilaan kepada murid-muridnya:

  1. Tidak diperkenankan berpakaian dengan asesoris berlebihan, dan lebih-lebih untuk bagian yang mestinya tertup rapat, maka harus benar-banar tertutup.
  2. Tidak diperkenankan tertawa hingga terpingkal-pingkal keras sekali, dan fas foto tidak diperbolehkan kelihatan giginya, dan ganti-ganti gigi palsu.
  3. Tidak diperkenankan makan dengan tangan kiri kecuali berhalangan, dan makan sambil jalan ataupun jajan di sembarang tempat.
  4. Tidak diperkenankan berkata kasar dan porno.
  5. Berpakaian harus bersih dan lengkap serta prasojo, sikat gigi sebelum tidur. Untuk anak muda tidak boleh sampai keterlanjuran dalam berbicara.
  6. Tidak diperkenankan berbuat semena-mena di atas tempat tidur, tidak tahu bahasa isyarat, mengumbar waktu serta bermusuhan.

Masih banyak lagi masalah-masalah kesusilaan yang dilarang ataupun yang harus dilakukan, misalnya taruhan dan berjudi yang sampai mendarah daging, madad, narkoba, dan lain-lain. Kemudian harus selalu giat bekerja, untuk hal ini beliau memberi contoh: "Uwong urip kudu ngrembug uwonge, iya kuwi kudu nyambut gawe sakuwat-kuwate, kanggo nyandang, mangan, kanggo kabutuhan ngrembug tetanggungane. Dene yen wis mapan turu ngrembug uripe/suksmane, nyuwun pangapura lan pasrah marang Gusti Allah, apa dene nyadong dawuh, kareben oleh pepadang. Esuke ora klera-kleru makartine. Conto nyambut gawe ngenger melu negara kuwi aku, kongsi meh sawidak tahun lawase ora tau kaluputan. Besuk yen aku wus ngemohi aku tumuli bali, gaweyanku wus rampung. Kang nyambung lelakonku iya wus akeh."

Tentu saja yang mendengarkan (murid-murid dan anak cucu) waktu itu menjadi geragapan berhubungan dengan akan pensiunnya beliau dan pulang (mati). Dan untuk hal itu maka beliaunya berkata:
"Yen aku bali aja padha kuwatir, anak putuku rak mung ora bisa metuki aku ana ing alam wadag, besuk lan sateruse bisa kepetuk suksma suciku ana ing alam alus. Kabeh rak wis pada duwe piranti kang kanggo metuki aku. Wruhanamu aku sanajan wis bali, bakal tansah nganglang ana ing alam antara, perlu ngayomi anak putuku kabeh. Rak pada isih eling marang Bratalaya janji ta? Aku wis omong yen Utusane Allah iku duwe urip langgeng tan kena rusak, iya iku kang kudu kok goleki. Aja nyembah marang kijing, lan aja nyembah foto, lan sing perlu pada anggolekana uriping gambar dak tanggung mesthi ketemu. Eling lho aku wis gawe Resi Bratanirmaya kang raine abang, iku kang bakal ngadili sakabehing umat, aja kleru, yen kleru bisa kleru uripe lho."

Beberapa bulan kemudian ada perubahan dalam tatacara bersembahyang, Adam Suci Utusane Allah diganti menjadi Rama Resi Pran-Soeh. Rama RPS. Sastrosoewignyo kepada murid-muridnya terkasih kemudian memerintahkan untuk mencari Dalang Mengger yang mempunyai darah putih. Dan apabila sudah ketemu agar mencari Roh Suci sebelum adanya jagad (dunia), dan sebelum turunnya Adam di bumi. Dan setelah itu agar mencari Yang mejadikan jagad dan seisinya, yaitu bibit para manusia, bibit hewan-hewn di daratan, bibit hewn-hewan di air, bibit tumbuh-tumbuhan dan juga gunung. Perintah-perintah tadi agar supaya dicari di alam semadi tidur/impan/alam halus, dengan kata lain secara ke-suksma-an. Selanjutnya agar mencari Gusti Allah dan siapa yang mempunyai cahaya-Nya. Beberapa murid yang terkasihnya sudah mendapatkan itu semua, dan akhirnya mereka memerlukan untuk bertemu beliaunya. Setelah berkumpul Rama RPS. Sastrosoewignyo berkata:

"Rak wis pada ketemu ta? Rak ora pada pangling to? Apa ana kang ketemu Gusti Allah? Mung ketemu sapa? Sapa kang nduweni cahya iku? Apa Gusti Allah apa sapa-sapa?”

Semua yang menghadap saat itu, memberikan saksi bahwa sebenarnya di alam terakhir dalam alam kesucian sama sekali tidak dapat ditemukan yang disebut Gusti Allah, dan yang dapat dijumpai hanya suksma suci beliaunya, dengan sumpah. Mulai saat itu juga istilah Gusti Allah diganti Rama Resi Pran-Soeh dengan dasar apa yang sebenarnya ada dalam alam halus tadi. Rama RPS. Sastrosoewignyo berkata:
"Yen jagongan kaya ngene iki, ana ing alam wadag kowe ngarepake aku, iya kuwi Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo. Yen ana ing alam antara kowe iya alusmu (suksma suci) arep-arepan karo Utusane Rama Pran-Soeh iya iku Rama Resi Pran-Soeh. Dene yen ana ing alam pungkasan (akerat), suksma sucimu adep-adepan karo Rama Pran-Soeh, bisa malah manuggal pisan, samono mau uwong sing suci temenan lan katrima. Ana ing alam Antara lan alam Kasucian (alam Kuning) rak iya nganggo nyebut Rama-rama, kaya ana ing alam donya ta? Iya Rama Pran-Soeh kuwi kang kagungan Cahya. Utusan iya Utusane Rama Pran-Soeh, yen Panutan iya Panutane para anak-putuku lan iya Panutane sapa-sapa, ning sing pada gelem, Aku ora akon"

Menurut beliaunya, setelah diteliti oleh beliau untuk para rasul dan nabi, dari asal mula terjadinya jagad sampai munculnya beliau di dunia, hanya tiga orang yang mengerti perkara kasunyatan yang berhubungan dengan Allah, Utusan lan Panutan (Penuntun). Itupun belum sempurna dan jelas sampai alam kasampurnan (kasidanjati). Kecuali hanya beliaunya saja yang sudah lengkap mengerti akan kesemuanya itu, misalnya: Wahyu Sejatining Kakung/Putri, Wahyu Roh Suci, sampai alam kasampurnan. Mereka bertiga itu adalah:

  1. Kong Hu Cu. Beliau sudah mengetahui bahwasannya jagad kasucian itu bulat, kemudian menyuruh membuat nisan dan bangunan-bangunan yang serba bulat.
  2. Yesus Kristus, mempunyai Trinitas/Tritunggal. Allah itu satu berjajar tiga yaitu: Rama (yang dimaksud adalah Sang Utusan), Putra (yaitu yang dimaksudkan sebagai Nabi/Penuntun/Panutan), dan Roh Suci (adalah yang dimaksudkan sebagai Gusti Allah).
  3. Nabi Muhammad SAW, karena adanaya perkataan Allah-Muhammad-Rasul. Allah itu Gusti Allah, Muhammad di tengah sebagai Nabi/Penuntun/Panutan, dan Rasul adalah yang dimaksud Utusan.

Hanya saja (menurut beliaunya) yang mengerti tentang hal itu hanyalah Nabi/Penuntun sendiri, sedangkan murid-muridnya tidak mengerti sama sekali. Murid-muridnya tidak mengerti kalau Gusti Allah itu adalah suksma sucin nabi tadi yang ada di alam kesuksmaan (alam terakhir), dan itu dikira ada perwujudan yang lain. Mereka menganggap bahwa suksma suci nabi ora kena kinayangapa (dibawa-bawa). Padahal mestinya tiga itu adalah satu, saling berhubungan erat dan manunggal. Apabila masih ada di dunia tiga itu menjadi satu, di alam antara (alam kubur) atau pangresikan atau kandhawaru hanya tinggal dua, dan di alam yang terakhir (akhirat) hanya tinggal satu. Hal seperti ini sebenarnya sudah beliau ajarkan semenjak tahun 1921 hingga tahun 1937, yang mana seringnya beliau melantunkan gending berikut ini:
"Sontoloyo angon bebek ilang loro, kari siji sing putih kanggo ing Gusti, ireng-ireng dewe, kuning-kuning dewe, putih-putih dewe."

Rama RPS. Sastrosoewignyo berkata:
"Murid-muridku kudu bisa kaya aku, yen aku bisa mikrot nratas langit sap pitu, murid-muridku kudu bisa uga. Yen aku bisa nampa dawuhe Rama Pran-Soeh, murid-muridku iya kudu bisa. Yen aku bisa lan saguh tumindak suci, awit wis meruhi lan ngalahake hawa-nafsuku, murid-muridku kudu meruhi lan ngalahake satruning suksmane dewe-dewe, dadi bisa tansah tumindak suci."

Dan untuk larangan-larangan ataupun anjuran-anjuran beliaunya berkata:
”Aja pada nerak nrajang wewalerku iya iku aja pada tumindak bandrek jina, iku bisa nampa paukuman. Bisa tanpa awer-awer, yen timbul maneh ora bisa dadi manungsa maneh, bisa-a dadi kewan. Elinga Nabi Adam diukum, wewadine kang tinutup ing godong ruda-mala, awit saka anggone nglanggar angger-angger. Mula ngenani ijab Roh, kang ateges ngakoni wetengan kang ora absah, ora kena. Awit iku aweh dalan marang ijajil, jim, lelembut, setan, mangka setan kuwi bolongan dom bisa anggoda, mlebu (artinya melanggar ketentuan yang sedikit saja) lali, setan cepet-cepet nrobos anggodha. Manehe aku biyen tau omong, yen pada gawe omah, upamane bisa gawe omah loji, gedong pisan kudu nganggo cagak saka, ora ketang mung siji apa loro. Dene yen dudu gedong iya bisa nganggo cagak saka apa umume. Sebab pada suwunen, omah sing ora ana cagake kuwi panggonane sapa? Uwong sing mati suksmane kesasar, ana ing paukuman iku, ana sing manggon omah tanpa saka cagak. Ing kamar paturon, sanduwure lawang kang mlebu menyang kamar, gawenen, wenehana simbul jemparing cacahe pitu ngener satengah bunderan, lan ing tengah-tengahe mawa aksara A.”
Apa yang diperinthkan tadi supaya jangan hanya ditulis saja, tetapi dilaksanakan dengan bahan dari apa saja, katu besi, seng dan lain-lain.


S. MENJELANG MENINGGALNYA SANG PENUNTUN

Perintah Rama RPS. Sastrosoewignyo untuk merubah nama Gusti Allah menjadi Rama Pran-Soeh di dalam sembahyangan dengan cepat bisa lekas tersebar. Dengan demikian maka kata-kata dalam bersembahyangan juga harus dirubah, dan juga untuk sebutan setiap harinya. Dan untuk kata-kata Gusti Allah, Tuhan Yang Manon,Yang Suksma Kawekas, Kang Murbeng Dumadi, Kang Maha Kuwasa, dan masih beberapa lagi, ternyata beda bangsa beda bahasa, jadi tergantung dari kebutuhan masing-masing yang biasanya adalah masalah kesusastraan atau untuk mempertegas sebagai keterangan tambahan. Yang seperti ini pada awalnya pasti menimbulkan sesuatu perkiraan yang tidak semestinya, tetapi setelah beberapa waktu toh akhirnya biasa saja, tetapi pasti akan  merambat sampai kemana-mana.

Perubahan tidak hanya itu saja. Belum ikutnya nama beliaunya di dalam sembahyangan, kemudian kata-kata supena (lupa), nekseni (bersaksi) dan ngakeni (mengakui). Tentu saja semua itu atas perintah beliaunya, dan selanjutnya kemudian kata-kata dalam sembahyangan itu disempurnkan. Beliaunya pernah berkata, bahwa ketika beliaunya sedang mencari tahu keadaan putra-putri/murid-murid beliau di alam halus maka beliau mengetahui bahwasannya murid-muridnya yang ada di sekitar Godean suksmanya sedang terpikat oleh jim/makhluh halus, yang akan dibawa ke Gunung Himalaya dengan kereta hingga beberapa gerbong. Tetapi berhubung ketahuan oleh beliaunya maka kemudian diberhentikan dan diselamatkan, kemudian beliaunya memerintahkan untuk wayangan di daerah Godean. Beliaunya sendiri hadir, dan kemudian memberikan wejangan sebagai berikut:
"Anak putuku pada ngopahi apa marang aku? Sing duwe pangkat dak jaga pangkate, kang pada duwe anak dak emong anake, kang pada duwe ingon-ingon dak jaga, jebul pada ora tresna karo aku, pada lali karo aku. Buktine pada kapikut jim, arep kagawa menyang Gunung Himalaya. Tujune konangan aku. Mulane nganti ana kedadeyan mangkono amarga anak-putuku akeh kang durung nekseni lan ngakeni ing alam batin kanti ceta temenan marang Panjenengane. Mula sembahyangane kudu katambah, kudu nganggo tembung nekseni lan ngakeni".

Rama RPS. Sastrosoewignyo memanggil murid-muridnya yang terkasih satu demi satu, kemudian setelah semua mendapat giliran dengan ditanyai yang bermacam-macam dan diberitahu pula hal yang bermacam-macam, dan yang belum paham akan sesuatu maka akan dijelaskan dengan sejelas-jelasnya mumpung beliaunya masih ada, dan semua ilmu yang dimilikinya diusahakan untuk dapat ditransfer kepada murid-muridnya seluruhnya, jangan sampai ketika nanti beliaunya sudah wafat menjadikan ragu-ragu. Kepada muridnya terkasih beliaunya berkata:
"SMH. Sirwoko lan Broto (Ong Sioe Gien) ketara kinthil aku bae, lan iya kinthil Ibune, mulane dijaluk potrete, arep dipasang dening Ibune ana kono. Dene aku yen kepepet ing mungsuh (menghadapi bahaya) ana ing alam batin, tansah dietutake Martaradana. Lha yen aku nyerbu mungsuh, kang katut Martawiyogho. Uwong Jawa kuwi aja lali karo Jawane, yen menganggo genep cara Jawa ana ing alam alus iku, kudu sikep gegamane nganggo keris."

Alkisah seorang murid baru bangsa China bernama Sioe Han, dapat menamatkan ilmunya dengan jelas adalah karena diberi restu oleh ibu. Sioe Han berguru karena baru saja banyak anggota keluarganya yang meninggal, dan dianya sendiri baru sakit. Dan setelah lulus dari semua ilmu beliaunya menjadikan kesetyaan kepada Rama RPS. Sastrosoewignyo dan ibu. Hampir setiap malamnya datang dan membantu yang bermacam rupa seperti seorang abdi. Dan apabila beliaunya terbangun langsung disambutnya dan dituntun untuk naik turun tangga menuju ke belakang. Beliaunya berkata:
"Sioe Han kuwi rumeksa banget marang aku, setyane ing kelahiran prasasat Sirwoko loro."

Dan ketika murid-muridnya yang sudah tamat belajar memerlukan untuk datang, dengan maksud untuk memintakan kesehatan buat saudaranya yang sedang terkena sakit agak parah, beliaunya berkata:
"Apa kowe ora ngerti yen uwong lara iku diukum dening Rama Pran-Soeh, luwih-luwih kowe uwong kang wus katam. Amarga diukum, jalaran nglakoni luput, dadi kowe mbelani uwong luput, sebab tunggale uwong dosa."

Rama RPS. Sastrosoewignyo sendiri jaeang sekali terkena sakit, apabila sakit hanya sebentar dan ringan saja, misalnya pusing, batuk, penyakit biasa mengingat usianya yang sudah 80 tahun. Apabila murid-muridnya ada yang melanggar aturan-aturan yang sudah diberikan beliaunya pasti marah, dan murid yang bersalah tadi tidak diperkenankan untuk datang menghadap, apabila memaksa maka beliaunya tidak akan menemuinya dan kebanyakan malah ditinggal pergi. Beliaunya selalu mengetahui apabila ada muridnya yang berlaku kurang pada tempatnya.

Dan ketika Ong Sieo Gien, Darma Wasita dan Poedjosoewito menghadap beliaunya pada siang hari karena hal perubahan kata-kata dalam sembahyangan dengan menambahi nekseni dan ngakeni, beliaunya berkata:
"Wigatine iya supaya kabeh pada nekseni, yen wis nekseni lagi ngakoni."

Rama RPS. Sastrosoewignyo kemudian meminta kepada pemerintah untuk pensiun, berhenti sebagai carik karena sudah tua, ditakutkan nanti pekerjaannya akan mengganggu banyak orang. Dua bulan kemudian pemerintah mengabulkan permintaannya. Kemudian beliaunya berpesan yang khusus berhubungan dengan Astana Waja dan Bale Suci Pran-Soeh:

  1. Halaman Astana Waja disebut Asmara Data, yang bisa masuk hanya yang sudah menamatkan ilmu, yang belum dilarang.
  2. Laki-laki harus berada di sebelah kanan batu nisan beliau, dan wanita harus disebelah kiri batu nisan ibu.
  3. Di Asmara Data, hanya diperbolehkan sembahyangan saja, tidak boleh menyembah batu nisan maupun kuburan.
  4. Pot yang dipasang oleh Ong Sieo Gien di sebelah kiri agar ditanami bunga berwarna putih, dan yang dipasang oleh SMH. Sirwoko sebelah kanan agar supaya ditanami bunga berwarna merah atau jambon.
  5. Pintu Astana Waja sebelah atas (di bawah anak panah) agar ditulis sengkalan "Katon Sare Jawata Luwih” yang artinya tahun 1957, tahun peletakan batu pertama bangunan itu.
  6. Beliaunya memberikan tuah apabila tiang penyangga (saka guru/cagak) Bale Suci Pran-Soeh yang empat itu berasal dari kayu sawit.
  7. Di bagian atas Bale Suci Pran-Soeh, agar supaya dipasangi arca Manyar Seta yang menjadi perlambang ketentreman/kesucian.
  8. Di parit bagian depan Bale Suci Pran-Soeh, yang sebelah kiri dipasangi arca Ditya Ganggas Kara, dan yang sebelah kanan arca Naga Wasesa. Maksudnya adalah untuk orang-orang yang menginginkan pangkat, Naga Wisesa adalah untuk orang-orang yang menginginkan kekayaan harta benda.
  9. Diperingatkan agar yang membuat Bale Suci Pran-Soeh, yang dapat menentukan bangunan itu bagus dan bagaimana cara penggarapannya adalah Martadimeja dan Sayuti.



T. SAAT-SAAT RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO WAFAT

”Caraa tanduran tembakau, aku iki rak mung kari kelip-kelip." Begitulah kata-kata beliau saat dihadapan banyak para muridnya. Semua hal sudah diberikan/ditransfer kepada murid-muridnya. Mungkin hanya sembahyangan yang nomer 5 saja yang perlu diperbaiki, dan sebenarnya tidak diperbaiki juga tidak apa-apa, karena toh yang mengerti hanya diri-sendiri saja. Dan setelah itu beliaunya mendongeng yang bermacam-macam, dari lakon Bratalaya Racut, yang tentunya nanti akan banyak yang menangis. Beliaunya juga menginginkan agar putra-putri ataupun murid-muridnya tetap untuk mengunjungi ibunya, mengingat ibu sering beda pendapat dengan beliaunya. Ibu sangat sering dikalahkan oleh murid-murid beliau dan juga banyak orang yang datang maupun dari golongan lain yang kebetulan bertemu dalam hal kesuksmaan/ kerokhaniaan.

Ketika ada pertunjukan wayang di Sasana Hinggil alun-alun Yogyakarta dengan lakon Baratayuda maka beliaunya berkata: ”Aku iki rak wis wiwit Bratayuda.”
Putra-putri dan juga murid-murid beliau terkasih apa yang dimaksudkannya. Dan beliaunya hanya membelakangi mereka saja tanpa mau memperlihatkan wajah, terlebih kepada putra-putrinya sendiri. Murid-murid beliau yang terkasih diberi pesan agar diberikan kepada murid-muridnya yang jauh tempat tinggalnya, dan setelah menghadap toh hanya diberitahu sekedarnya saja, dan seringnya beliau tidak berbicara dengan tatap muka dan dengan suara yang berat, tidak seperti biasanya.

Sebenarnya murid-murid beliau terkasih sudah mengerti lewat hubungan alam halus bahwa beliaunya akan segera meninggalkan dunia fana ini. Ong Sioe Gien mendapatkan bahwa beliaunya pulang ke rumah lama, Marta Asamara melihat beliaunya sudah bersatu kembali dengan almarhum ibu, Martaradana sudah dipamiti, Marta Suwita sudah merasa membawa jenazah, Darmawasita merasa menuntun beliaunya tetapi kemudian musnah, dan lain sebagainya. SMH. Sirwoko sendiri di dalam alam halus sudah mengumumkan nya di dalam sebuah pertemuan.

Bagaimanapun caranya maka harus diusahakan agar beliaunya tidak merasa terganjal dalam batin, jadi semua apa yang diinginkan agar dilaksanakan saja. Begitu juga dengan hari-hari besar yang nanti harus ditetapkan, ada empat:

1.      Hari kelahiran.
2.      Hari penerimaan Wahyu Sejatining Putri.
3.      Hari penerimaan Wahyu Sejatining Kakung dan Wahyu Utusan (Wahyu Roh Suci).
4.      Hari meninggalnya beliau. (Baru  kemudian hari, karena saat itu beliaunya masih sugeng).

Masalah tentang hari-hari yang perlu diperingati sudah dilaporkan kepada beliaunya oleh Poejosoewito dan diulangi lagi oleh Ong Sioe Gien, semua sudah direstui. Dan ketika ada salah seorang murid yang orang tuanya meninggal karena gantung diri, kemudian beliaunya berkata:
”Uwong mati nista iku, ing alam batine pancen tetimbrah. Samangsa durung bisa diresiki, disentek, iya ngudi ngelmu telung prangkat nganti bisa katam turune uwong mau lagi bisa ilang timbrahe. Dene yen durung katam tetep isih nimbrah. Mula anak putuku kang nduweni embah-embahne lelakon kang kaya mangkono, supaya pada nyenyuwun marang Rama Pran-Soeh, bisaa ketemu babuning kang ora kena pati wirang. Mulane yen anjodokake bocah kudu ngati-ati paniti priksane. Bocah mau apa turune uwong sing nduweni timbrah apa ora. Bab timbrah ora mung mati nglalu, nanging isih ana tunggale iya iku lara edan, ayan, lara lepra.”
Pada tahun 1957 ada gempa, beliaunya memerintahkan agar supaya mencari tahu kepada Rama Pran-Soeh, dengan adanya gempa itu apa yang akan terjadi?

Pada suatu malam (Minggu Pon) ada kurang lebih 300 putra-putri maupun murid-murid beliau yang hadir, untuk menyambut keberhasilan dari 20 orang murid baru. Sesudah dan sebelum upacara itu beliunya berpesan sangat banyak agar tidak usah merasa kecil hati ketika beliaunya sudah tidak ada, kerana beliau akan menjangkung kepada semua putra-putri dan murid-muridnya semua. Pagi harinya beliau pergi ke sawah dan pulang agak siang, sepertinya ingin segera menyelesaikan panen tembakau agar tidak keburu turun hujan. Sore hari beliau merasa kurang enak badan (merasa gerah), dan ketika akan dipanggilkan tukang pijat beliaunya tidak memperkenankan. Pagi berikutnya beliau menunggui anak-anak yang sedang merajang tembakau di rumah yang lama, beliaunya berkata:
"Endang dirampung-rampungake imbone kang wis mateng-mateng. Dina Kemis lan Jumuah bae anggone ngrajang. Leren, prei disik, awit bakal sugih dayoh, aku lagi duwe gawe.”

Buat para murid-murid beliau hal seperti itu, hanya menjadikan pertanyaan saja, tetapi buat ibu yang sudah mengetahuinya dalam alam halus adalah merupakan suatu yang luar biasa, dan ibu juga menyaksikan ketika beliaunya sembahyangan maka tidak seperti biasanya, ada perkataan yang ditambah:
"Mangga Rama Pran-Soeh kula nderekaken kondur.”

Dan ketika ibu ingin mencari tahu maka beliaunya berkata:
”Ora apa-apa, kowe bojoku kang wiwit biyen mula setya karo aku. Kowe aja susah yen dak tinggal, kowe rak digawekake omah anak-anakmu cilik-cilik wis watu ditumpuk-tumpuk, dadi awet lan ora gampang rusak. Lan kowe aja sumelang wis dak tinggali kadang golongan samono akehe, padha rembugen."
Dan ketika beliaunya diingatkan untuk tidak usah berpikir yang tidak-tidak maka beliaunya berkata:
"Aku iya ora apa-apa, awakku krasa sumuk, bab watuk mono wong wis tuwa".

Hari Selasa dan Rabo beliau sudah tidak keluar dari rumah sama sekali, dan putra-putri beliau kemudian diberi tahu, tetapi toh hanya sekedarnya saja dan beliaunya langsung membuang muka. Dan kepada putra beliau R. Mukri berpesan agar nantinya sesudah meninggal agar beliaunya dirias dengan pakaian Jawa (deles Mataraman), terus kemudian jubah dan baru dibungkus dengan kain mori seperti orang Islam tetapi tidak perlu diikat. Beliau tetap menginginkan makan meskipun hanya nasi putih saja, dan hanya dengan cawan (piring kecil) dan itupun hanya ketika siang tengah hari saja. Dan ketika ibu menyuruh untuk makan yang bermacam-macam malah mendapatkan amarah dari beliaunya, yang katanya hanya memberi godaan saja dan agar menjauh untuk istirahat saja.

Hari Rabo malam Kamis Paing tanggal 24 Oktober 1957 (30 Maulud 1889 Jawa) kurang lebih jam Beliaunya meninggal dengan tenang tanpa ada sesuatupun yang mengganjal dari hati yang ikhlas dan enak. Pada saat itu juga setelah semua yang menunggui (memang diperintahkan oleh ibu sebelumnya karena sudah mendapatkan firasat yang jelas) merasa tentram, maka kemudian wafatnya beliau disebarkan kepada semua sanak-saudara terutama yang jauh-juah. Dan bagi murid-muridnya meskipun semua sudah mengerti akan hal itu di dalam alam halus (firasat) tetap juga toh terkejut dan tiga hari menjelang meninggalnya beliau juga merasakan hal yang sama dengan beliaunya, terasa gerah. Ada sebagian muridnya yang baru mengerti ketika dalam 40 hari belakangan ini diperintahkan untuk menanam bestru yang maksudnya adalah jangan kabesturon (ketiduran), dan juga gempa yang belakangan terjadi ketika beliaunya memerintahkan untuk mencari tahu maknanya, adalah pengaruh dari akan kepergian beliaunya untuk selama-lamanya. Tentu saja banyak murid-muridnya yang merasa kecewa karena tidak bisa menunggui pada saat-saat terakhirnya, yang semua pada akhirnya merasa memang dikelabuhi. 

Kemudian khabar-khabar, surat-surat, telpon dan telegram serta siaran RRI Yogyakarta semua digunakan untuk menyebar berita meninggalnya beliau, dan cepat menyebar ke seluruh pelosok penjuru negri. Dan pada akhirnya yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir maupun menyampaikan bela sungkawa sangat banyak, dengan kendaraan yang bermacam-macam pula, dari bus, taksi, dan kereta api yang menuju stasiun Muntilan penumpangnya sangat berjubel. Banyak sekali karangan bunga yang datang dan memenuhi halaman berjajar hingga sampai ke Asatana Waja.

Seperti pesan beliaunya yang disampaikan kepada R. Mukri, maka kemudian jenazah akan diperlakukan seperti itu. Jasad beliaunya tidak seperti pada umunya, hanya seperti orang tidur saja dan tidak kaku, sehingga memudahkan dalam memperlakuannya. Mula-mula diberi busana Mataraman, kemudian jubah dan terakhir dengan kain mori rangkap sebelas dan tanpa diikat, kemudian dimasukkan ke dalam peti. Jenazah disemayamkan semalam untuk menunggu kedatangan putra-putrinya yang ada di Blitar dan Jakarta.

Atas permintaan putra-putri beliau maka setelah sembahyangan, jenazah juga disemayamkan di rumah yang lama (Selatan). Yang mengatur seluruh rangkaian upacara adalah diserahkan kepada para Sesepuh Golongan. Dari rumah hingga ke Astana Waja sudah diatur, untuk kaum pria ada di sebelah kanan dan kaum wanita ada di sebelah kiri jalan, semua berjajar empat baris dan tidak boleh ada antara ataupun tidak boleh meninggalkan tempat dan diharapkan semua bisa melihat jenazah beliaunya. Setiap duapuluh meter telah bersedia enam orang pemuda yang menggunakan pakaian serba putih yang nantinya akan membawa jenazah. Dan setelah waktu yang ditunggu-tunggu, dan semuanya sudah siap, kemudian peti jenazah yang dihias dengan sangat asri, diangkat oleh putra-putri beliau dan diberikan kepada Sesepuh Golongan dan diusung ke halaman, selanjutnya dibawa oleh pemuda-pemuda yang sudah siap berganti-ganti hingga samapai ke Asatana Waja. Dan semua yang ikut mengantar jenazah menggunakan pakaian serba putih dan tidak satupun yang berpakaian seronok, menjadikan suasana yang sakral dan penuh keprihatinan, serta memberikan rasa bela sungkawa kepada yang ditinggalkannya. Di Astana Waja semua sudah tertata rapi, maka jenazah kemudian dikubur dengan sangat hati-hati dan pengaji-aji. Dan semua prosesi upacara berjalan dengan lancar tidak ada halangan sedikitpun. Sebagai keterangan tambahan, bahwa di sawah-sawah dan atap-atap rumah sebelah kanan dan kiri Astana Waja banyak sekali dipenuhi dengan orang-orang umum yang ingin menyaksikan beliaunya, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo untuk yang terakhir kali.





 

 
Ref: