17 Apr 2011

PRAN-SOEH (NGESTHI KASAMPURNAN) (M - N)

M. PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Rama RPS. Sastrosoewignyo ada di dunia ini karena meminjam ilmu Gusti Allah yang ternyata sangat berguna buat sang suksma ketika raga sudah harus menepati janji (meninggal). Maka dari itu banyak orang yang sudah tamat dalam belajar ilmu yang tiga perkara itu akan sangat beruntung untuk selama-lamanya. Terutama ketika sudah meninggal bisa menetukan ke arah mana nantinya (urip tumimbal).

Tidak berbeda denga orang-orang kebanyakan maka perkumpulan inipun (POMM) merasa sangat gembira ketika Jepang sudah kalah dan berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu saja dalam perang kemerdekaan ini tidak berpangku tangan begitu saja, ikut berjuang bersama-sama dengan kemampuannya masing-masing. Yang masih muda-muda ikut angkat senjata, yang sudah tidak kuat lagi dengan semedi atau nyenyuwun marang Gusti Allah, dan ada juga yang dengan berkumpul di Ambarukmo seperti apa yang diinginkan pemerintah waktu itu. Dari pengurus-pengurus POMM ini yang ikut hadir antara lain:  Marta Suwita, Suryaningrat (Bupati Gunungkidul), Poejo Soewito, Martaradana, dan Harja Sanjaya. Dengan banyaknya pengurus POMM dan juga para warganya yang ikut andil dalam usaha-usaha merebut kemerdekaan Indonesia ini maka dengan sendirinya beliau menjadi orang yang terkenal dan sering diminta bantuan untuk mengusir musuh dengan cara-cara apa saja. Adalah ketika kota Magelang didatangi tentara Sekutu (Gurka), beliau sanggup untuk mengusirnya dengan caranya sendiri, hanya dengan syarat untuk diantarkan ke alun-alun Magelang. Tentu saja waktu itu tidak ada kendaraan, satu-satunya kendaraan hanya andong (dokar), dan itupun tidak ada yang berani untuk menjadi saisnya, akhirnya Wedana Munthilan sendiri pak Budiman yang harus mengatarkan sampai Magelang. Tidak hanya sampai disitu saja, setiap saat di jalan selalu dihadang oleh bagian keamanan agar kembali saja, namun dengan memperlihatkan surat sangat penting maka perjalanan bisa diteruskan sampai Magelang. Pada waktu itu serangan sudah dimulai, bunyi meriam dan senjata api yang beruntun menggelegar membuat hati merasa ngeri, beliaunya tetap berjalan menuju alun-alun, dan setelah sampai barulah dibuang tumbal itu di alun-alun dan kemudian semedi. Tak lama kemudian datanglah mendung yang sangat tebal dan hitam pekat yang kemudian mejadikannya hujan lebat yang disertai angin dan halilintar yang menderu-deru. Akhirnya tentara Gurkapun pergi meninggalkan kota Magelang menuju kota Semarang. Sesampainya di rumah beliaunya diminta untuk bercerita oleh putra-putrinya, dan jawabnya: "Dudu aku, kang bisa ngundurake Gurka saka Magelang, kae lho bocah-bocah enom, gagah-gagah isih semengit, kendel lan banter-banter, duwe prabawa nekakake udan, bledheg, Gurka banjur miris, wusanane mundur."
Dua orang putra Rama RPS. Sastrosoewignyo yang ikut secara nyata jadi tentara untuk ikut mengusir para penjajah ini.

Tentu saja kemerdekaan Republik Indonesia menjadikan orang-orang yang suka berkumpul semakin senang, dan yang ketika jaman Jepang sudah tidak ada lagi gemanya, sekarang menjadi kelihatan lagi geliatnya. Hari-hari baik (mulia) Rebo Paing, Jum'at Kliwon, Jum’at Pon, dimana merupakan hari menerima wahyu yang pertama dan kedua, kemudian digunakan untuk acara berkumpul ria. Rama RPS. Sastrosoewignyo sendiri mau menghadiri pertemuan-pertemuan itu yang sering diadakan di Temanggung, Batang, Tempel, Godean dan Gunung Kidul. Seratus sepuluh hari Sebelum Gunung Kidul mendapat wabah pes sudah diperingatkan oleh beliaunya dengan sasmita seperti ini: "Gunungkidul katon peteng ndhedhet supaya padha nggoleki Juru Slamet, yen ora bisa kapethuk mesthi bilahi".

Ada memang beberapa orang dari murid-murid beliau yang akhirnya terkena penyakit pes dan meninggal. Tetapi sebagian besar adalah terhindar dari penyakit itu, meskipun ada pula yang mulanya terserang tetapi setelah mengupayakan tumbal dan sesaji akhirnya bisa sembuh. Tumbal tadi kadang-kadang sangat aneh, misalnya harus memasak tulang kerbau landhoh dan menanam pohon puring di halaman dekat dengan pintu.

Dengan kejadian-kejadian yang semacam itu, tentu saja orang-orang yang ingin menjadi muridnya semakin lama semakin banyak, mengingat sabda-sabda beliau yang selalu tepat, dan tentu saja sangat ketakutan terhadap kematian.

Rama RPS. Sastrosoewignyo pernah datang ke Gunung Kidul hanya untuk marah-marah (paring duka), karena dalam memberantas penyakit pes para muridnya hanya menggunakan sarana lahiriyah saja dan kurang memperhatikan cara-cara batiniah. Mestinya sebelum menggunakan sarana lahiriyah lebih dulu dicari cara-cara batiniah, dengan semedi dan lain sebagainya sehingga didapatkan petunjuk-petunjuk dan baru kemudian diusahakan dengan cara-cara lahiriyah. Namun demikian kedatangan beliau ke Gunung Kidul saat itu oleh para murid-muridnya tidak semata-mata dianggap sebagai sebagai duka begitu saja, tetapi banyak lebih dianggap sebagai pemberian wejangan. Kata-kata beliau saat itu adalah: "Negarane dhewe, nganggo dhasar ke Tuhanan Yang Maha Esa, awake dhewe lahir batin nekseni anane sesembahan kang Maha Tunggal (sawiji) lan bisa nyawijekake. Bung Karno lan sapendhereke, kalebu uga aku kabeh iya duwe Negara dhewe, kang wus mardika, anak putuku kudu mbantu marang Negarane dhewe, aku mono karo sapa-sapa cocog-cocog bae, anggere cocog kersane Gusti Allah, iya iku ngrembug uwong akeh, dadine ditresnani uwong akeh. Mardika mono emoh dijajah lahir lan batine, tegese lahir emoh dijajah Walanda, uga sapa-sapa iya emoh dijajah batine (suksmane) iya emoh dijajah dening nyawane (nafsune). Sapa kang weruh penjajah batin utawa suksma, kajaba mung murid-muridku kang padha weruh.”

Dengan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pula, yang berazazkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka seaman nyata bahwa perkunpulan POMM ini adalah sangat didukung oleh negara. Tentu saja hal yang semacam itu menjadikan organisasi ini menjadi sangat mudah untuk berkembang.dan hampir-hampir tidak ada halangan sedikitpun.

Organisasi POMM yang dipimpin oleh beliau Rama RPS. Sastrosoewignyo ini, dari dulu selalu mengatakan bahwa banyak orang-orang yang masiih tidak percaya adanya Gusti Allah. Tetapi dengan Pancasila yang sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tentu saja sangat menguntungkannya. Jadi dalam menyebarkan pemahaman-pemahaman tentang Ketuhanan ini mejadi sangat luwes. Dan yang jelas organisasi ini tidak memihak salah satu partai yang ada atau akan ada. Ajaran-ajarannya pun hampir tidak bersinggungan dengan golongan apapun, meski terhadap golongan yang tidak beragama sekalipun, yaitu orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan lama yang sudah turun-temurun.

Putra beliau (Rama RPS. Sastrosoewignyo) yang tertua bernama RB. Dwijo Subroto, adalah beragama Khatolik yang setia, menjadi Guru Sekolah lanjutan. Ketika masih bekerja sebagai guru di Malang, seorang temannya ada yang mendapat permasalahan, yaitu rumahnya sering digoda oleh maklhuk halus (Jim/lelembut), yang membuat tidak nyaman di hati meskipun tidak sampai menyusahkan. Contohnya adalah ketika sedang tidur, tiba-tiba pindah ke tempat lain atau ada suara orang unjuk salam di pintu ketika ditengok tidak ada apa-apa. RB. Dwijo Subroto meminta pertolongan kepada ayahnya, yang dalam hati tentunya ingin juga membuktikan kecanggihan dari orang tuanya itu. Ternyata ayahnya hanya menyuruh untuk tetumbal (sesaji) dengan jajan pasar yang setiap harinya harus selalu diganti, dan setelah dilaksanakan maka untuk seterusnya godaan makhluk halus itu sudah tidak ada lagi.

Bagi orang-orang yang tidak mengetahui akan batin, tentu saja hal seperti itu seperti perbuatan orang yang aneh-aneh saja. Contoh hal-hal aneh yang lain masih banyak seperti: bencok yang diikat kemudian dibuang di alun-alun Ngayogyakarta, tembakau direndam kemudian disebar di jalan rya, binatang piaraan sendiri (anjing herder) digantung, mencari ayam jago yang matanya buta dua-duanya kemudian diadu. Buat seseorang yang tidak tahu-menahu, hal seperti itu pastilah perbuatan orang aneh saja. Begitupun juga kalau memberikan kesembuhan pada seseorang maka syarat atau tumbal itu juga aneh-aneh: ada yang cuma disuruh menanam ketela kaspe, ketela pendem, tebu, memelihara ayam, atau memelihara sesuatu yang jenis dan bentuknya, dan ada pula yang hanya disuruh untuk menengok kuburan orang tua saja. Tetapi dengan cara seperti ini banyak penyakit yang sudah ditolak oleh dokter maupun dukun-dukun yang lain bisa sembuh dan menjadikannya sehat kembali.



N. AGRESI BELANDA KE II 19 DESEMBER 1948

Sebelum terjadinya serangan itu Rama Panutan (Rama RPS. Sastrosoewignyo) sudah memerintahkan kepada siswa-siswanya untuk minta petunjuk kepada Gusti Allah, apa yang terjadi dalam 40 hari ke depan, dan perintah susulan untuk sebelas hari kedepan, dan agar semuanya tetap sentaosa dan mencari Juru Slamat. Dan ternyata hal yang terjadi adalah bahwa Rama RPS. Sastrosoewignyo oleh aparat-aparat pemerintah dikabarkan sudah ditangkap dan dibunuh. Tentu saja semua harus dibuktikan, makanya banyak para siswanya yang kemudian datang ke Munthilan, yang dari Gunung Kidul, Sleman, Kedu dan lainnya. Tetapi kemudian beliaunya juga mengabarkan kalau beberapa murid ada yang sudah ditangkap dan ditawan oleh Belanda.

Ketika itu hubungan telpon Yogyakarta, Munthilan dan Magelang terputus. Pagi-pagi Wadana Munthilan sudah mengadakan rapat yang dihadiri oleh para pamong praja yang terdiri dari: Bupati Magelang, Asisten Wedana, lurah lan carik satu Kawedanan. Tentu semuanya belum mengerti apa yang sudah terjadi di Yogyakarta, kemudian beliaunya berkata: “Punika rapat badhe ngrembag punapa? Kula nyaosi priksa Ngayogya sampun dipun broki Walandi. Bung Karna lan Bung Hatta sampun kabekta. Kula badhe ngungsi, mangke siang Walandi badhe mriki. Mangga kemawon yen badhe nglajengaken konprensi.”

Rama RPS. Sastrosoewignyo kemudian pulang dan pertemuan itu juga dibubarkan, karena semua sudah percaya sepenuhnya kepada beliau yang sudah dibuktikanya sampai bertahun-tahun. Tentu saja untuk menentramkan keluarganya dan juga agar tidak menjadikan sesuatu yang tidak-tidak buat pemuda-pemuda maupun alat-alat negara, maka beliaunyapun ikut mengungsi ke Keron, di rumah Mulyarejo salah seorang siswanya. Rama RPS. Sastrosoewignyo ketika berjalan mengungsi, berpakaian yang tidak seperti biasanya. Dengan bercelana pendek, pakaian Maduran dan tutup kepala berwarna hitam (kethu), kain yang disilangkan dan membawa (mengendong) layangan bapangan yang besar sekali. Tentu saja hal seperti itu adalah sangat aneh, dan ketika bertemu dengan serdadu Belanda di tengah jalan, tak satupun yang menegor, hanya tersenyum simpul saja. Dan ketika daerah Munthilan dan sekitarnya serta desa Keron sudah mengadakan perlawanan serta banyak terjadi kerusakan karena menjadi sasaran empuk peluru-peluru tajam yang tidak terhitung jumlahnya. Rumah Mulyareja ini yang sangat dekat (sebelah-menyebelah) dengan saudaranya yang beragama Khatolik, tidak di hampiri oleh serdadu Belanda, sedangkan rumah saudarnya itu hancur-lebur. Saat itu beliaunya sedang bersama siswanya yang duduk di amben. Siswanya itu ketakutan tidak ketulungan hingga badar bergetar tidak karuan, beliaunya berkata: "Aja ndhredheg, aku ora weruh kana, kiraku rak kana ora weruh kene.”  Serdadu Belanda itu tidak masuk ke rumah dan hanya tengok kanan-kiri kemudian pergi.

Setelah tinggal beberapa lama di desa Keron, kemudian pindah ke Bandung Paten, lereng Merapi bagian Barat Laut. Rama RPS. Sastrosoewignyo langsung menuju ke rumah Pak Ali yang juga merupakan siswanya. Di sana bukan hanya numpang tinggal saja, tetapi juga sembari mengajarkan ilmu-ilmunya dan juga latihan kebatinan. Tlatar, Banyu Tumumpang, Kragawanan, Sawangan, Sewukan, Srumbung dan lain-lain adalah tempat-tempat dimana beliau berkunjung dan mengajarkan latihan kebatinan, atau juga membantu terhadap perlawanan rakyat mengusir penjajah (Belanda).

SMH. Sirwoko dan Darmawasita adalah muridnya terkasih, yang kemudian merasa kehilangan jejak atas beliaunya, maka dengan tangkas mereka berdua mengadu nasib untuk mencari dimana keberadaan beliaunya. Dengan perbekalan pengetahuan-pengetahuan tentang keberadaan Belanda dan batin yang sudah menyatu dalam petunjuk Gusti Allah maka akhirnya mereka bisa menemukan juga keberadaan Rama RPS. Sastrosoewignyo. Tentu saja mereka sangat tersedu-sedan dengan pertemuan yang semacam itu. Akhirnya setelah beristirahat dengan cukup, mereka kembali meneruskan lakon (bercerita sembari mencocok-cocokkan kejadian yang sudah dialami dengan suatu cerita). Tidak disebutkan disini lakon apa yang menyamai dengan kejadian-kejadian tersebut, tetapi kurang lebih adalah bahwa Rama RPS. Sastrosoewignyo, di dalam keributan (geger) itu mendapat petunjuk dari Gusti Allah atas berbarengan dengan terjadinya jagad (dunia). Dengan pengikutnya yang di dalam wayang digambarkan sebagai burung manyar putih, yang juga disebut sebagai manyar seta. Satunya lagi adalah seekor harimau putih yang mata sebelah kirinya buta dan disebut sebagai Ditya Ganggas Kara. Dan dalam cerita itu Rama RPS. Sastrosoewignyo berperan sebagai Resi Bratanirmaya, seorang pendita dari Sonya Gumuruh.

Dan akhirnya setelah Belanda menyerah dan harus ditarik dari pendudukan (seluruh kota-kota yang ada di Indonesia) maka Rama RPS. Sastrosoewignyo menciptakan gendhing yang berjudul Lompong Keli, dengan ditambahi alat musik angklung. Dan ketika Bung Karna akan kembali dari pengasingannya di Prapat, Rama RPS. Sastrosoewignyo mendapatkan petunjuk dari Gusti Allah yang kemudian harus sesegera mungkin diberitakan ke seluruh murid-murid dan juga anak cucu, yang berwujud tembang dhandhang gula:
”Kemanisen den nira mres budi, budi daya supadya kinarya, karya panglipur brantane, branta ingkang mamreskung, ruming kongas pujo-pinuji, puji kang pari purna, nyirnaken sekayun, kayun kang kautaman, utamane mangrengga sesa­ma-sami, sesamining ngagesang."

Rama RPS. Sastrosoewignyo, kemudian mendapatkan murid baru bangsa China (Tionghoa) yang bernama Ong Sioe Gien. Sebelumnya murid baru ini sudah berguru kemana saja, namun belum satupun yang merasuk di hati, sehingga keberguruannya diteruskan hingga sampai kepada Rama RPS. Sastrosoewignyo. Orang bangsa China ini tentunya beragama Khong Hu Cu, dan setelah menjadi murid beliau maka kemudian disuruh mencari suksma Khong Hu Cu, dan tidak bisa ketemu, yang selalu didapatkan adalah beliaunya Rama RPS. Sastrosoewignyo. Murid yang satu ini akhirnya menjadi penyebar untuk golongan Khong Hu Cu, dan sangat setia serta sering sekali mendatangi beliau untuk keperluan apa saja.

Ketika Ong Sioe Gien punya hajat sunatan bersama, maka semua tetua termasuk beberapa Kyai bekas guru-gurunya diundangnya, termasuk beliaunya Rama RPS. Sastrosoewignyo. Jelas beliaunya datang, dan ketika anak-anak yang mau disunat disuruh berbakti kepada tamu-tamu agung tersebut, terlaksanalah sudah satu dua, tetapi setelah berada di depan beliaunya, maka berkatalah: "Yen ngabekti lan nyembah kuwi marang Gusti Allah bae, aja marang aku, awit aku dhewe manungsa lumrah, kang kasinungan apes, bodho, sekeng sarta lali, lan aku dhewe bae manembah marang Gusti Allah."

Sebagai tontonan pada malam itu adalah wayang yang dipentaskan oleh dalang Joyo Wiyoto dari Borobudur dengan lakon Pendowo Racut. Lakon itu adalah gubahan beliau sendiri, namun demikian beliau tetap menghadiri pementasan wayang itu tentu saja dengan disertai salah satu muridnya Darma Warsita. Darma Warsita kemudian memberikan keterangan mengenai lakon tersebut, dimana lakon gubahan itu tidak sama dengan lakon aslinya yang sudah sering dipentaskan. Dalam cerita gubahan ini, ketika Werkudoro (Bima) Racut, Dewa Ruci yang wujudnya adalah Bima mini adalah dianggap mungsuh, sedangkan pada pakem sebenarnya Dewa Ruci adalah guru dan Gusti Allah-nya Bima, atau Gusti Allah untuk semua manusia, yaitu yang serupa akan dirinya sendiri itu yang diwujudkan kecil (mini) tadi. Darmawasita menerangkan bahwa hal yang demikian itu salah, bukan masalah besar dan kecil, tetapi karena dianggap sebagai Gusti Allah tadi. Dewa Ruci adalah perubahan wujud dari Naga Tasik yang notabene adalah musuh Bima, buktinya berkelahi. Sekali musuh, berubah jadi apapun dan berapa kalipun tetap musuh. Afngal Gusti Allah itu selalu asih dan cinta kasih serta memberi pertolongan. Allah iku mung sawiji. Allah iku Maha Tunggal. Allah orang sedunia hanya satu, tan prabeda lan tan ana liya, hanyalah "Suci Sang Resi Bratanirmaya."

Sesudah itu Rama RPS. Sastrosoewignyo menyuruh para muridnya untuk menggelar pertunjukan wayang dengan dua macam musik, gamelan dan musik band, atau bisa juga setelah adegan goro-goro ada interval waktu untuk istirahat sejenak dengan makan dan minum, setelah itu baru dimulai lagi. Setelah perintah itu dilaksanakan kemudian di benak hati para muridnya penuh dengan pertanyaan, akan ada peristiwa apa lagi? Ternyata adanya peristiwa Konperensi Meja Bundar (KMB), yang membedakan sangat tajam antara Belanda dan Indonesia. Setelah itu para muridnya disuruhnya lagi untuk menggelar pertunjukan wayang dengan mengumandangkan gending emplek-emplek ketepu, yaitu ketika munculnya sahabat-sahabat Resi Bratanirmaya yang bernama Brata Raras, Brata Nirloka dan Brata Triloka, kemudian disambung dengan gending "re, re, re, nandur pare, marambat ngetan parane." Dan ketika ada muridnya yang minta penjelasan tentang hal itu maka jabawnya: "Pare kuwi uwite, godhonge kembang lan uwohe pait kabeh, diolah apa bae rasane uga ajeg pait, suda-a mung sathithik, ewa samono ana kang karem, sing ngati-ati, padha golekana Juru Slamet, bakal mrambat ngetan lho."
Kejadian yang menyertai hal itu adalah pemberontakan Batalion 426 Munawar, Darul Islam di Jawa Tengah. Dan sejak itu tidak ada pohon pare yang merambat ke atas, bisa membesar tetapi akan memenuhi halaman saja.





Ref: