E. RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO MENERIMA WAHYU YANG PERTAMA "ILMU SEJATINING PUTRI"
Seperti yang sudah diceritakan di atas, Raden Gunung sangat getol dalam laku prihatin dengan makan hanya sehari sekali yang sudah dijalani sejak kecil, tidur seperlunya saja, kebiasaan-kebiasaan tadi tetap dijalankannya dari ketika ngenger pertamakali di Dharatan, Sendang Pitu dan bahkan sudah sampai di Kraton. Bahkan setelah mengabdi di Kraton laku prihatin tadi lebih ditambah lagi menurut nasehat-nasehat guru-gurunya, sehingga akhirnya Raden Gunung suka berpuasa mutih, mbrakah dan kungkum tengah malam di kali Gajah Wong, Opak dan Praga. Menurutnya, laku prihatin itu tidak ada buruknya, paling tidak akan bisa untuk mendapatkan pangkat atau kelebihan yang lain, lebih-lebih ketika ingin menyamai Syech Maulana dan Kangjeng Sultan Agung Mataram, maka laku prihatin itu ditambah dengan laku pesisiran, dengan menyisir pantai Selatan yang dilakukan sekali seminggu tanpa putus, dengan tekad baja: “Yen tan kasembadan trima binanjuta yuswane”.
Setelah semua hal dijalani semua sampai bertahun-tahun, belum juga kelihatan hasilnya, menjadikannya selalu bermuram-durja. Hingga akhirnya pekerjaan dan kesenangan-kesenangan yang lain hampir-hampir ditinggalkan, hanya seperlunya dikerjakan saja untuk menggugurkan kewajiban. Pada akhirnya mulai hari Slasa Kliwon terus-menerus hingga 11 hari lamanya Raden Gunung pergi ke pantai Parang Tritis, pantai Laut selatan Samodra Hindia yang ada di sebelah Selatan Yogyakarta. Sore berangkat dari Kraton dan bila malam tiba tapa ngambang dan berenang tetap dengan pakaian Jawa (dhesthar, iket lembaran), kalau capai istirahat sebentar dan pagi harinya pulang ke Kraton. Begitu terus-menerus dilakukannya hingga 11 hari lamanya. Mengapa harus berenang di laut Selatan, karena menurutnya disanalah terdapat Kraton Kangjeng Ratu Kidul yang nyata.
Pada malam Jum'at Kliwon, bertepatan tanggal 13 Sura 1819 Saka (29 Agustus 1890), seperti malam-malam sebelunya beliau berenang menggunakan balon dari bajunya. Setiap kali terpinggirkan oleh deburan ombak laut Selatan, setiap kali pula beliau kembali ke tengah laut. Kejadian begitu terus berulang-ulang, yang diinginkan hanya bertemu dengan Kangjeng Ratu Kidul, yang belum pula terkabulkan.
Terakhir kali dipinggirkan ke tepi pantai, akhirnya beliau pasrah. Sudah tidak ingin lagi kembali ke tengah samodra, badan terasa gemeteran karena kedinginan dan basah kuyup oleh air laut, dengan jalan tergontai beliau menuju bukit Maulana (gunung tempat makam Syech Maulana), kemudian duduk menghadap ke Selatan dengan bersandar pada pohon Nagasari dan pegangan batu Bantheng Prucul, istirahat.
“Nalika semana lingsir wengi, rembulan sumunar samar-samar, lintang pating krethop, gebyaring ombaking sagara pating pencurat, punthuk pating pethuthuk, kekayon lan grumbul pating grembel, ora ana angin, jumeguring alun sumela kala-kala, lamat-lamat kaprungu, beburon alas wis ora kaprungu swarane, kajaba pangeriking jangkrik lan unine pambeluking kokok-beluk angrerepa aweh panglipur marang sang tapa (Raden Gunung)”.
Raden Gunung menjadi sangat sedih terlebih lagi ketika mengingat hal-hal yang sudah dijalaninya selama ini, ketika mengingat bapaknya yang sudah tiada, ketika mengingat ibunya yang sendirian membesarkan anak-anaknya, juga bagaimana diri dan keluarga yang sealalu dalam kesengsaraan. Makin menjadi-jadi kesedihannya ketika mengingat upayanya yang sudah sedemikian besarnya hanya untuk berbicara dengan Tuhan (Gusti Allah) atau bertemu langsung dengan Kangjeng Ratu Kidul saja belum terlaksana. Sangat berbeda dengan beliaunya Syech Maulana dan Kanjeng Sultan Agung Mataram. Kalau demikian sekarang dirinya merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung, dan akhirnya pasrah kepada Kang Murba Jagad, dengan harapan dan tekad yang sudah bulat penuh pada waktu itu juga. Terbawa dari lelakunya yang sudah dijalaninya dengan berjalan yang cukup jauh, berendem dan berenang di laut, juga naik ke gunung Maulana, yang tentu saja perut lapar karena belum makan apa-apa dan pastilah belum tidur sama sekali, tak berapa lama tertidurlah belaiau.
Di dalam tidurnya, alam halus, alam kasuksman, dan juga alam sasmita maya, beliau masih ingat kalau sedang menghadap ke Selatan menyaksikan lautan luas terhampar di hadapannya, ombak laut yang berderai memecah di pantai dan hampir-hampir menjamahnya. Dengan memandang terus ke laut maka “ilang sirna sipating sagara, tumuli ana alas mawa wit-witan krambil pating jalejer lan wit-witan liyane kaya kahanan sanyatane ing pasisir kidul, alas mau ana wite waringin angrembaka, gedhe dhuwur, meh kesundhul ing wiyat, apa dene katon wingit lan angker”
Kemudian Raden Gunung berpikir dalam hati seperti itukah Kraton para Jim pri perayangan dan dhemit brekasakan. Dan seketika ada Kraton dengan alun-alun lebar yang sedang disapu oleh orang banyak, tentu saja oleh para abdi dalem Kraton tersebut. Yang menjadikan heran adalah diantara orang-orang yang menyapu tadi ada dua orang temannya ketika masih magang di Kraton Yogyakarta yang sudah meninggal. Apalagi ketika orang tadi melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Namun demikian beliaunya tidak mau dan hanya menggelengkan kepala, dan dalam hati "Padha kesasar suksmane kancaku iki". Dan sangat terkejut dan heran ketika di atas pohon beringin yang besar itu ada seekor binatang buruan yang biasa di hutan dengan wujud burung yang besar sebesar ayam jago dengan ekor yang panjang terjuntai, dan kakinya yang kekar siap mencengkram apa saja. Lebih-lebih lagi ketika burung tadi memandang ke arahnya dengan sorot mata yang sangat tajam sampai membuat silau mata. Dalam hati beliau berkata: "Samono kamokalane sing Kuwasa, sajegku tumitah neng alam donya, durung tau tumon beburon kang mangkono”. Burung tadi tetap dipandanginya, dan ketika berkedip hilanglah seketika dan munculah seorang wanita yang cantik elok dengan pakaian kerajaan yang indah dan rambutnya yang terurai, tetapi kemudian berubah penampakan menjadi orang yang mirip seperti dirinya namun tetap dengan pakaian kerajaan. Raden Gunung sangat terkejut dan heran ketika namanya disebut dan dijejali dengan pertanyaan mau/ ingin apa? Dalam hati beliau, pastilah merupakan ratu penguasa laut Selatan karena mengerti siapa dirinya. Kemudian dijawabnya kalau beliaunya ingin pergi ke Demak teringat karena Syech Maulana disuruh pergi Demak. Namun wanita tadi menghalang-halangi tetapi Raden Gunung berpendirian tetap dan teguh sehingga akhirnya jadilah pertengkaran yang amat seru. Dalam pertengkaran itu Raden Gunung kalah sampai-sampai diduduki yang cukup lama sampai-sampai tidak bisa gerak lagi. Dalam kekalahan itu beliaunya tambah sedih, tetapi seketika beliau ingat bahwa beliau punya ilmu yang bisa ditiupkan lewat mulutnya.
Tetapi ternyata wanita tadi mengerti apa yang akan dilakukan oleh Raden Gunung, sehingga dibungkamnya mulut Raden Gunung. Tambah bingung Raden Gunung akan bagaimana lagi. Tetapi kemudian beliau ingat bahwa ilmu itu juga bisa dikeluarkan lewat hidung, maka dengan semerta-merta dihembuskannya kuat-kuat ilmu itu melalui hidungnya, dan seketika itu juga wanita tadi terlempar jatuh terlentang, seketika itu juga Raden Gunung bangkit dan ingin membinasakannya. Belum sampai terlaksana keinginannya wanita tadi musnah dan menyatukan diri dalam raganya yang seketika itu juga ada suara: “Mentara saka Kraton, ngalor ngulon sacedhake Gunung Tidhar. Tapaa ngrame ing guwa samun 31 tahun lawase, ing tembe nimbulake lakon, nengahi para lakon".
Bersamaan hilangnya suara tadi terbangunlah Raden Gunung dari tidurnya, dengan masih geragapan dan termangu-mangu. Dalam hatinya: "Kaleksanan anggonku kepengin sapatemon karo Kangjeng Ratu Kidul, kaya Kangjeng Sultan Agung Mataram, apa dene kaleksanan pangandikan karo Gusti Allah, kaya Seh Maulana.”
Wujud wanita yang menyamai dirinya itulah yang disebut “Wahyu Sejatining Putri”, yaitu Kangjeng Ratu Kidul, Raja makhluk halus di laut Selatan, samodra laya atau samodra pati. Seperti itulah wujud dan keadaan laut di alam impian alam halus, alam sasmita maya.
Bisa dijelaskan, yang disebut Wahyu Sejatining Putri, itu adalah Nafsu Putri Raden Gunung sendiri. Nafsu Putri maksudnya mempunyai keinginan terhadap pria, dan pada umumnya yang memiliki Nafsu Putri adalah para wanita saja. Karena pada saat itu sudah hampir pagi dan karena kehabisan tenaga pada waktu berkelahi meskipun hanya dalam alam impian maka tubuh Raden Gunung sudah sangat lunglai, dan hampir-hampir tidak bisa berjalan, maka untuk turun dari Gunung Maulana hanya meluncur saja tanpa berjalan seperti biasa. Dan untuk kekuatan maka di tengah jalan membeli pecel kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Kraton Ngayogyakarta.
F. RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO MULAI MEMANTAPKAN KEYAKINANNYA UNTUK MENJALANKAN PERINTAH DARI RAMA PRAN-SOEH
Setelah menadapatkan wahyu yang pertama ini barulah beliaunya merasa lega, meskipun kadang-kadang merasa was-was juga. Bagaimana tidak, bekerja di Kraton itu lebih mudah dan sudah mendapatkan tempat di hati, baik itu terhadap teman-teman sesama abdi dan lebih-lebih lagi oleh majikannya. Perintah yang lamanya 31 tahun itu bukan waktu yang singkat, bagaimana seandainya itu bukan apa-apa, bukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan? Hal seperti ini itu biasa terjadi pada orang-orang biasa yang masih suka akan keduniawian, yang masih mempunyai nafsu, yang masih ingin hidup enak, mesti saja masih mempunyai rasa kurang percaya. Dalam pemikiran beliau, seandainya itu benar-benar perintah dari Yang Maha Kuasa, mana mungkin akan sampai menyengsarakan hidupnya, mungkin itu hanya untuk orang yang kurang berbudi saja. Dan ketika mengingat bahwa semua kejadian itu adalah dialami oleh diri sendiri tanpa perantaraan orang lain, kalau sampai tidak mempercayainya, kok bisanya seseorang mengingkari apa yang sudah menjadi pemikirannya sendiri. Terus dimana harga diri itu?
Pemikiran yang seperti itu akhirnya bisa memantapkan tekad beliau untuk menjalankan perintah-perintah Rama Pran-Soeh. Maka kemudian berpamitan untuk keluar dari pengabdiannya di Kraton Yogyakarta itu, meskipun tidak begitu saja dikabulkan oleh Kanjeng Sultan sendiri. Dalam bahasa Jawa dipalangana mlumpat didhadhunga medhot, untuk melaksanakn perintah-perintah Rama Pran-Soeh.
Dan ketika itu menyempatkan diri pula untuk berpamitan juga pada uwak beliau di Pundong, untuk ikut pada paman beliau yang ada di daerah Kedu. Tentu saja sang uwa mengijinkannya, namun demikian lebih baik apabila jangan langsung ke sana, tinggal dulu di situ barang sebentar, sebulan dua bulan. Memang beliaunya punya sifat yang tidak ingin mengecewakan kepada setiap orang, maka diterimanya syarat itu.
Maka ketika tinggal di Pundong yang waktu itu sedang giat-giatnya untuk belajar kesenian, dari gending-gending Jawa, tari Jawa ataupun tontonan-tontonan yang lain, mungkin bisa dikatakan hanya Raden Gununglah yang paling mengerti diantara semua pemuda-pemudi yang ada di daerah itu. Tak heranlah kalau beliau kemudian diminta untuk mengajarkan dan memimpin kegiatan itu. Sekali lagi Raden Gunung menyanggupinya, apalagi yang demikian itu sudah menjadi kesukaannya. Kemudian mulai saat itu terkenallah kesenian-kesenian dari daerah itu: srandhul, giyar-giyar, prawan sunthi, topeng, andhe-andhe lumut, kethek ogleng, wayang uwong dan masih banyak lagi lainnya. Dalam semua tontonan tadi beliau selalu selalu menjadi roll dimana memang hampir semua itu dikerjakannya dengan baik dan sempurna. Ternyata beliau betah hingga satu tahun, bagaimana tidak jiwa muda yang sedang mekar berkumpul dengan sesamanya dan sedang menjadi pusat perhatian. Seandainya tidak mengingat perintah-perintah Rama Pran-Soeh pada wahyu yang pertama untuk pergi ke dekat Gunung Tidhar, hal itu mungkin akan terus berlanjut. Namun demikian kemudian berpamitanlah beliau pada uwaknya, dan diizinkannya dengan bekal selamat.
Raden Gunung di Kedu ikut paman beliau dari pihak ibu, yang menjabat sebagai Upas di Tejawarna. Menuruti perintah Rama Pran-Soeh maka tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah Ngemplak Tambakan, Semawung, Prumpung, Ngadiwarna, Ponggol, Sabrang dan Kembaran. Namun tinggal yang pertama kali di Tejawarna dan mendapatkan pekerjaan sebagai Carik di desa Langgengsari. Dan kemudian beliau minikahlah untuk yang pertama kali mendapat jodoh putri dari seorang ulama besar yaitu adik dari carik yang digantikannya yang sudah meninggal. Secara adat Jawa setelah kawin maka nama kecil tidak disebut-sebut lagi tetapi yang dipakai adalah nama keluarga yang diberikan ketika menikah, yaitu Sastrosoewignyo, namun demikian tidaklah pernah lupa untuk selalu menambahkan RPS di depan nama itu, maka jadilah RPS. Sastrosoewignyo. Tetapi masyarakat umum hampir tidak memperhatikan apa yang mejadi kehendaknya itu, dan yang terkenal di masyarakat Raden (Den) Carik saja.
Berhubung menantu beliau adalah seorang ulama, maka Raden Gunung mau nggak mau harus melakukan shalat, mengaji dan lain sebagainya. Meskipun demikian kebiasaan-kebiasan dan kegemarannya dalam hal kesenian (tari Jawa, geding Jawa, dsb) tetap tidak ditinggalkannya. Dan suatau ketika, pada waktu beliau dinobatkan untuk menjadi imam di Mesjid Pabelan, sampai dibanjiri para jema’ah. Namun ketika sedang mengumandangkan adzan, mula-mula biasa saja dan seperti pada umumnya, tetapi kok lama-lama menyimpang menjadi Pangkur Paripurna. Kontan saja para jema’ah menjadi terkejut, dan yang mau ikut sembahyang akhirnya tidak jadi, malah-malah habis sama sekali. Setelah kejadian itu apabila di jalan bertemu dengan jemaahnya mereka membuang muka kepada Raden Gunung. Mertuanya yang semula sudah nggak suka jadi semakin mejadi-jadi tidak sukanya terlebih ketika medengar khabar berita yang seperti itu. Meskipun demikian, beliau RPS. Sastrosoewignyo dapat saja mengambil hati mertuanya dengan cara yang lain. Beliau punya banyak sekali cara untuk hal seperti itu terutama dengan kata-katanya.
Dalam pernikahan yang pertama ini beliau mendapatkan seorang anak tetapi tidak berumur panjang. Meninggal ketika masih bayi, dan kemudian disusul oleh istrinya sendiri. (red. Ada cerita yang saya lompati mengenai istrinya yang kedua, karena ada kalimat yang kurang jelas maknanya).
Seperti tujuan semula, beliau semenjak tinggal di Kedu (Magelang) ini memang mempunyai maksud untuk melaksanakan perintah dari Rama Pran-Soeh: tapa ngrame ing guwa samun. Artinya adalah bertapa yang tidak diketahui orang (sinamun), sebuah pertapan yang sengaja disembunyikan sifat keprihatinannya, jangan sampai orang mangetahui bahwa beliaunya sedang menjalani laku prihatin. Tapa ngrame (bertapa dalam keramaian) artinya seperti debur ombak di tepi pantai, harus banyak berinteraksi dengan masyarakat luas. Guwa samun artinya bukan sebuah guwa yang ada di pegunungan yang sepi jarang dikunjungi orang, tetapi maksudnya jangan sampai diketahui orang atau keguguran dalam pertapaannya. Menurut pandangan orang Jawa bertapa yang sudah diketahui orang (kamanungsan), itu adalah bertapa yang tidak akan lagi menghasilkan apa-apa, apalagi bila pertapaannya itu sengaja diberitakan pada khalayak agar semua orang mengerti akan laku prihatinya itu, sama sekali sudah tidak ada gunanya dan sudah menyinpang dari tujuan orang bertapa. Orang bertapa itu mestinya harus bisa mencegah dan mengekang hawa nafsu, dan kalau orang bertapa hanya mencari wah, atau biar orang paham kalau dirinya sedang menjalani laku prihatin, sebenarnya bertapa yang seperti itu sama sekali tidak ada gunanya.
RPS. Sastrosoewignyo mendapat cobaan dari Rama Pran-Soeh yaitu sakit gatal-gatal disertai gudik yang membikin risih orang. Sehingga memilih untuk lebih banyak tinggal di rumah saja kecuali untuk keperluan yang amat sangat. Beliaunya sendiri yang merasa tidak enak bila bertemu banyak orang, sedangkan istrinya sendiri yang sudah berumah-tangga selama 10 tahun saja kelihatan tidak begitu akrab, keikhlasannya hanya di lahir saja. Sedangkan yang namanya hidup suami-istri mestinya harus rukun lahir dan batin, tidak bisa hanya mau kalau masih muda saja, yang masih kelihatan seger, gagah perkasa dan lainnya. Mestinya sudah tuapun harus tetap saling saying menyayangi, lebih-lebih ketika sedang mengalami sakit dan penderitaan lainnya. Untuk itu maka beliau memberikan nasehat-nasehat pada istrinya yang kedua ini, agar mau diajak berpisah saja hidup berumah-tangga sampai disini dan akan dikembalikan kepada orang-tuanya saja. Pada mulanya sang istri merasa seperti ditantang dan bersalah, tetapi akhirnya mengerti juga setelah banyak diberi petuah-petuah yang bermacam-macam, terlaksana juga perpisahan dengan rasa ikhlas pada masing-masing pihak daripada bila diteruskan akan menjadi ketersiksaan batin yang terus-menerus.
Beliau meneliti diri sendiri sekali lagi, bahwasannya memang beliaunya sedang mendapat cobaan dari Gusti Allah, berupa hukuman dengan sakit yang tidak juga berkunjung sembuh, bahkan istripun akhirnya tidak punya dan teman-teman banyak berkurang. Untuk itulah maka beliuanya kemudian juga menghukum diri sendiri, sekalian menjadikan sebagai laku prihatin untuk ngenger pada sebuah keluarga yang sangat kekurangan, yang dapat dikatakan kere. Pekerjaan sang istri dari keluarga itu hanya tukang ngangsag (Mengumpulkan sisa-sisa padi yang telah selesai dipanen. Padi jaman dahulu masih mempunyai batang panjang, sehingga yang dipotong hanya padinya saja dan batang masih tertinggal di sawah dengan beberapa batang padi kecil yang tertinggal karena masih muda atau sebab yang lain. Padi-padi seperti inilah yang dikumpulkan oleh tukang ngangsag), dan pekerjaan sang suami adalah tukang nderes (mengumpulkan air nira dari pohon kelapa dengan memanjatnya setiap hari). Dan beliaunya pada waktu itu masih berstatus sebagai Carik, makanya menjadikan sebuah keheranan tersendiri, dimana beliaunya juga pernah merasakan tidur beralaskan jerami ataupun tertimpa air hujan dari atap yang bocor, lebih-lebih lagi makan dari nasi angsagan tadi, yang tentu saja rasanya berbeda dengan padi biasa. Laku yang seperti ini memang diinginkan beliau agar cepet terlepas dari hukuman tadi dan sembuh penyakitnya, makanya setiap malam beliaunya memerlukan untuk berendam di kali Senawa atau Pabelan, waktu itu pada tahun 1905 M. Beliau mendapat perintah dari Gusti Allah, agar sebelum tidur supaya mengucapkan syukur dengan membaca surat-surat dalam Al Qur’an yaitu al-Ikhlas, an-Nass dan al-Fatekhah sebelas kali setiap ayatnya. Perintah yang seperti itu dijalankannya hingga bererapa tahun yang diinginkan hanya agar penyakitnya lekas sembuh, dan barulah bisa berkumpul lagi dengan sanak keluarga atau masyarakat luas. Dan disamping itu pula laku yang seperti ini juga sambil meminta kepada Gusti Allah, agar beliaunya diberikan istri yang kelak bisa mendapatkan keturunan. Dalam hal istri ini beliau sama sekali tidak berharap bahwa itu karena semata-mata nafsu birahi, dan sesuatu yang sifatnya lahiriah, dan hanya mau beristri bila memang calon istri itu benar-benar merupakan petunjuk dari Gusti Allah.
Karena benar-benar iklhas dan besar pengharapannya itu maka diberikannya petunjuk untuk calon sang istri, tetapi masih kanak-kanak jadi harus sabar menunggu hingga 7 tahun. Perintah selanjutnya adalah berkenaan dengan calon istri, agar diperhatikan nanti penghidupanya dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang seperti pada umumnya, dengan sarana bekerja pada bangsa China (Tiong Hoa), yang beranama Kho Kiem Gwan. Semua perintah itu akan dijalaninya dengan tabah, harus menunda hingga 7 tahun untuk mendapatkan istri. Dalam hatinya beliau: “Nyuwun dhawuh saka kamurahane Gusti Allah wis diparingi dhawuh, yen ora netepi lan ora ngestokake rak nyepelekake sing paring dhawuh.”
Akhirnya pada tahun 1912 beliau kawin untuk yang ketiga kalinya dengan sang istri seperti yang ditunjukkan oleh Gusti Allah. Yang mengherankan kok mau-maunya menerima beliau RPS. Sastrosoewignyo yang sudah berusia 44 tahun, padahal sang istri baru saja menginjak dewasa. Hal yang seperti ini kalau dipikir-pikir, apapun yang sudah dikodratkan oleh Gusti Allah pastilah terjadi. Dan benarlah dalam berkeluarga RPS. Sastrosoewignyo sangat guyup-rukun dan mendapatkan keturunan yang banyak. Mesti saja hal seperti ini menjadikan beliau lebih menyayangi istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya karena demikian cintanya maka semua pengurusan anak-anak beliau yang masih kecil-kecil itu dilakukannya sendiri. Mencuci pakaian, momong, menyuapi dan lain sebagainya dilakukannya sendiri. Hal seperti ini menjadikan keheranan buat para tetangga, seorang yang berkedudukan Carik, padahal waktu itu posisi laki-laki masih di atas perempuan dalam segala-galanya, kok mau-maunya melakukan hal yang demikian itu. Keheranan para tetangga ini tidak digubrisnya, karena beliaunya punya pendapat sendiri: "Wong anakku, rohku, sapa sing kudu ngrembug yen ora aku”.
Meskipun semua harapan telah dikabulkanNya, adalah anak-anak dan istri, tetapi tidak begitu saja memudar pertapaannya, dan bahkan bukan hanya tari-tarian dan tembang-tembang saja yang dilakukan, tetapi juga merambah ke hal-hal yang lain, misalnya panahan, balapan merpati. Dan sebegitulah beliau mempunyai kehendak karena hanya untuk menggenapi tapa ngrame tadi. Pernah suatu ketika pada saat sedang melepaskan anak panah, ternyata anak panah tadi bisa berjalan berbelok-belok seperti apa yang diucapkannya, yang pada akhirnya sering dibuat taruhan oleh bangsa China.
Penghidupan belaiau pada waktu itu sangat susah, dengan anak-anaknya yang masih banyak membutuhkan biaya, beliaunya tinggal di desa Prebutan. Dengan rumah yang sangat sederhana, beratapkan rumbia dan dinding bambu yang kelihatan sekali banyak berlubang. Pakaian istri apalagi untuk dirinya sendiri hampir-hampir untuk membeli kancing saja tidak sempat, dengan bukti bahwasannya untuk mengikatkan baju saja menggunakan klobot. Meskipun demikian beliaunya selau merasa ingat akan Gusti Allah, tidak tergoda oleh hal-hal keduniawian, dalam hal bermasyarakat beliaunya biasa saja, tidak pernah merasa dan memperlihatkan kesusahannya masih tetap saja merasa gembira dan selalu berlaku perwira, apalagi sampai menjual kesedihannya dengan merasa orang yang harus dikasihani.
Ketika sedang berlalu di sebuah jalan besar, kemudian beliaunya ditawari untuk mampir di sebuah rumah yang besar, rumah saudagar China yang beranama Khouw Kiem Gwan, beliaunya mau. Dan ketika sudah beberapa jenak kemudian ditawari untuk menjadi tukang ukur tanah (landmeter), beliaunya juga mau mengingat ketika beliau meminta istri kepada Gusti Allah di belakang ada syarat Khouw Kiem Gwan. Selanjutnya beliau menjalani test (didadar) masalah hitung-menghitung tanah, ternyata bisa dan dan sangat cepat. Kemudian beliau mau membantu Khouw Kiem Gwan, dengan dibayar setiap sebulan Rp 75,- (Mungkin yang benar adalah 75 gulden, mata uang pada saat penjajahan Belanda). Kapercayaan Khouw Kiem Gwan terhadap beliau sangat besar dan tidak disangsikan lagi, hingga dipercaya untuk memegang uang yang beribu-ribu jumlahnya guna membeli tanah, memborong tembakau, dan seperti apa usul dari beliau dituruti oleh Khouw Kiem Gwan, sebab dengan dibantu oleh beliau bisa menjadikan dirinya tambah kekayaan.
Dengan demikian RPS. Sastrosoewignyo menjadi lebih sering bekerja dan selalu pergi ke sawah-sawah baik pagi maupun sore. Tetapi meskipun bekerja sedemikian kerasnya tetap saja makannya hanya sehari sekali setiap pukul 12.00 hingga pukul 13.00. Beliaunya tidak pernah jajan apalagi makan di sembarang tempat. Untuk menjaga kalau-kalau waktunya tidak pas untuk pulang makan, maka beliaunya suka membawa bekal emping dan pisang raja, dan rupanya makanan itulah yang menjadi keinginannya. Dan setelah bertemu dan bekerja dengan Khouw Kiem Gwan itulah beliau mulai memperhatikan tanaman tembakau, cara memilih biji yang baik, jenis-jenis tembakau, pupuk yang digunakan, cara memperlakukan lahan, menimbun, memotong hingga penjemuran sampai penyimpanannya. Bahkan menghitung berapa biaya yang digunakan dan memperkirakan untung yang akan didapat.
Beliau sudah mempunyai pengalaman yang sempurna dalam hal pertembakauan ini, karena lamanya beliau berkecimpung dan sudah menjadi tangan kanan dari Khouw Kiem Gwan. Sampai akhirnya beliau berpendapat bahwa orang tani kalau mau kaya harus menanam tembakau, dan kalu mau menanam tembakau haruslah mempunyai modal uang dan tentu saja juga bermodalkan ilmu dan tenaga.
Pada waktu itu penghidupan RPS. Sastrosoewignyo sudah bisa dikatakan tidak terlalu sengsara meskipun sebenarnya masih dikatakan orang tidak punya. Laku prihatin dan kegemarannya masih juga seperti semula. Hasil keringatnya yang memang bermaksud tapa ngrame tadi, hanya diperuntukkan sumbang-memnyumbang saja, dan juga sewaktu-waktu untuk menambal uang kas desa karena ada pejabat desa yang berlaku merusak kas desa. Beliau harus mau untuk menolong, dengan cara seperti apapun tetapi harus benar dan tidak boleh menipu. Hal ini sudah menjadi dasar jiwa beliau: "Yen uwong seneng pangkat kuwi, kudu tresna lan ngeman marang pangkat".
Gajinya menjadi landmeter hanya diambil sewaktu-waktu saja, dan kalupun diambil hanya sebagian dan sisanya dititipkan kepada Khouw Kiem Gwan. Pernah suatu saat ketika beliau habis gajian kemudian pulang membelikan baju istrinya, malah dianggap dari perbuatan yang tidak-tidak dan menjadikan perselisihan. Mulai saat itu beliau berpendapat bahwa umumnya wanita itu adalah suka berprasangka, dan bisa menjadikan marah-marah apabila seorang suami berlaku yang tidak benar, apalagi kalau kawin lagi. Pada akhirnya beliau tidak mau lagi membelikan apa-apa buat istrinya, sebab belum tentu akan menjadikan senang, bisa-bisa malah menjadikan berhala. Cinta itu tidak perlu ditunjuk-tunjukkan, yang penting adalah mencarikan uang seperti apa keahliannya. Dan perempuan adalah yang membelanjakannya dan juga menjaga bagaimana agar berkecukupan, itu namanya gendhon-rukon (gotongroyong). Dan kemudian istrinya sering diberi wewenang untuk mengambil sendiri gajinya kepada Khouw Kiem Gwan, apabila mau membeli sesuatu, dan bajunya sendiri akhirnya istrinya yang mebelikannya.
G. RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNYO MENERIMA WAHYU
“ILMU SEJATINING KAKUNG” DAN WAHYU “ROH SUCI” ATAU "WAHYU UTUSAN”
RPS. Sastrosoewignyo setelah mempunyai anak (tiga), kemudian juga mendapatkan ujian yang sangat berat dari Gusti Allah. Suatu ketika terjadilah pageblug (wabah penyakit) yang sangat menakutkan, yang kemudian orang Jawa sering mengibaratkan sebagai esuk lara sore mati, sore lara esuk mati. Wabah tadi sangat gampang menjalar sehingga akhirnya orang-orang saling tidak kunjung-mengunjung satu dengan lainnya. Keadaan waktu itu sangat mencekam, orang-orang tidak bisa berbuat apa-apa dan selalu merasa ketakutan, dan desa itu namapk seperti mati. Baru saja menjelang petang hari, orang-orang hanya ingin keluar rumah saja karena di dalam selalu merasakan hal-hal yang tidak mengenakkan, sepertinya akan ada sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. Istri RPS. Sastrosoewignyo juga terserang wabah tersebut dan sudah sangat kritis. Sudah dilakukan usaha yang bermacam-macam tetapi tidak kunjung juga sembuh, malah lebih menjadikannya tambah sakit, bebasan wis madal tamba (sudah tidak mempan obat). Badannya sudah sangat rusak, matanya sudah cekung, rambut rontok, bisa dikatakan tinggal balung sam kulit saja. Tentu saja menjadikan RPS. Sastrosoewignyo sangat kecapaian. Sudah tiga hari hanya tergolek saja, tidak mau makan dan minum. Bagaimanapun juga seorang istri (garwa = sigaraning nyawa) adalah orang yang paling dekat dan paling dicintai, dalam keadaan seperti ini pastilah punya pemikiran yang tidak-tidak. Mungkin saja beliaunya sangat tabah menghadapi hal demikian karena sudah menjadi lakunya, tetapi bagaimanapun juga pasti ada perasaan yang sangat menyesakkan, lebih-lebih ketika anaknya yang masih kecil merengek untuk minta ASI, siapa orangnya yang tidak bersedih.
Ketika itu malam Jum'at Pon tanggal 15 Jumadilakir 1848 Jawa (29 Maret 1918). Adik ipar beliau yang bernama Pawirareja beserta abdinya (pembantu) yang bernama Ibah, menunggui istrinya sampai tengah malam. Beliau sudah pusing tujuh keliling melihat keadaan istrinya yang sedang sakit, dan sudah tidak tahan lagi melihatnya. Dengan berat hati beliau memerintah adik ipar serta abdinya agar lebih mendekat kepada yang sakit, dan berpesan agar jangan sampai ditinggal tidur, sedangkan beliau ingin menyendiri dan istirahat. RPS. Sastrosoewignyo sudah beberapa hari tidak makan san hampir-hampir tidak tidur untuk merawat yang sakit dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dengan berperasaan dan berprasangka yang tidak-tidak, beliaunya menggagas bagaimana nanti dan tentunya hari depan anak-anaknya.
Mentok-mentoknya beliau minta kepada Gusti Allah dengan senang hati lebih baik mendahului sang istri, apabila penyakitnya tidak juga sembuh. Dengan pemikiran yang seperti itu kemudian beliaunya menggigil dan dengan tekad yang kuat malah akhirnya beliau tertidur.
Di dalam tidurnya, alam halus, alam kasuksman yaitu alam sasmita maya, beliau merasa keluar dari rumah dan berdiri di halaman dengan bertelanjang kaki, maka beliauanya dengan memeluk tangan di dada ingin mencarikan obat buat sang istri yang sedang sakit. Ketika menatap ke atas, menjadi sangatlah terkejut dengan adanya awan hitan yang gulung-menggulung, dari dalam awan hitam tadi muncullah kapal terbang, dan ketika kapal terbang sudah berlalu muncullah seorang wanita yang berpakaian pria, dan ketika turun tepat di depannya maka pria tadi mirip benar dengan dirinya. Pria tadi langsung memanggil kakang kepada beliau, dan kemudian menceritakan bahwa sudah lama sekali pria tadi mencarinya baru sekarang dapat bertemu. Lalu benarkah kalau pria tadi memanggil kakang kepada beliau RPS. Sastrosoewignyo. Dijawabnya sudah benar, selisih 32 hari, baru pada hari yang ke 33 pria itu ada. Kemudian ditanyakannya maksud pria tadi mencarinya.
Sang Pria tadi kemudian bilang hendak menyerahkan Wahyu Adeg Teluning Atunggal, yaitu Wahyu Roh Suci atau Wahyu Utusan, yang berwujud huruf A di dalam sebuah lingkaran pada selembar kertas yang bersinar terang benderang. Wahyu tadi diserahkan karena sang pria tadi merasa sudah tidak kuat memegangnya. Kemudian wahyu tadi dimasukkannya sendiri oleh pria tadi ke dalam baju beliau di sisi kiri atas. Setelah diteliti sendiri oleh beliau ternyata huruf A tadi sudah tidak ada dan menempel di dada sebelah kiri. Selanjutnya sang Pria tadi minta agar diberi jatah makanan, apa saja yang boleh dimakan. Kemudian dijawab bahwa beliau sedang mencari kebutuhannya sendiri untuk mengobati istrinya yang sakit, dan memang kelihatan sedang terlentang di pembaringan. Pria tadi mengusulkan agar supaya dibasuh dengan air pipisan pincuk yang habis digunakan, dan pria itu sanggup menanggung pasti sembuhnya. Karena diberi pertolongan maka pria tadi kemudian diajaknya pergi.
Ketika sedang mutar-mutar tiba-tiba digonggong anjing, Pria tadi ketakutan sekali dan berpegangan erat kepada beliau. Kemudian pria tadi mengambil pohon pagar sebuah pekarangan untuk dipakai tongkat. Kemudian ditunjukkannya seorang Kyai di Sedayu yang selalu punya laku hanya untuk mencari harta benda, terlaksana semua keinginannya, mempunyai banyak istri yang cantik-cantik dan tidak mau kalah untuk segala hal.
Kemudian pulanglah dan duduk-duduk di halaman, dan meneruskan dan memutuskan perjanjian dan pembagian mengenai hal-hal yang boleh dimakan. Sang Pria tadi minta jatah untuk bisa disantap, yaitu:
a. Siapa saja yang menyembah dan memuja-muja Sang Pria.
b. Siapa saja yang selau mengharap pertolongan dan sampai dipinang oleh Sang Pria.
c. Siapa saja yang bersatu tekad dan pekerti dengan Sang Pria.
d. Siapa saja yang uergoda oleh Sang Pria.
e. Siapa saja (termasuk hewan dan tanaman) yang terkena tipu daya daya dan direbut atau terkalahkan Sang Pria.
f. Siapa saja yang membenci dan sangat takut terhadap anjing.
Sebaliknya orang-orang yang tersadarkan dan menyembah terhadap suksma RPS. Sastrosoewignyo, itu bukanlah jatah yang bisa dimakan oleh Sang Pria, dan memangsan yang sudah dikuasai oleh Sang Pria apabila ingat dan ketahuan oleh RPS. Sastrosoewignyo, batal menjadi makan Sang Pria.
Setelah selesai perjanjian itu kemudian Sang Pria tadi pamit untuk pulang dengan tak lupa berterimakasih dan menyanggupi suatu ketika dibutuhkannya kembali. Dengan berkedip RPS. Sastrosoewignyo maka semua menjadi hilang musnah tiada berbekas. Waktu itu hari sudah hampir menjelang pagi, RPS. Sastrosoewignyo bangun dari tidurnya, dan merasa sangat merinding atas mimpinya yang baru saja, lebih-lebih ketika mendengar bunyi kentongan gobyok yang merupakan pertanda ada kematian di tempat-tempat yang sudah menjadi kesepakatan untuk santapan Sang Pria, termasuk tempat yang pagarnya dicabut oleh Sang Pria.
RPS. Sastrosoewignyo kemudian menyuruh kepada adik ipar untuk mencarikan pincuk yang baru saja digunakan. Pawirareja kemudian segera pergi ke jalan besar, dan baru mendapatkan setelah hampir sampai stasiun Tegalsari. Dengan segera kemudian dibawanya pulang pincuk itu dan segera deberikan kepada beliau, dan kemudian diserahkan kepada abdinya (Ibah) untuk dipipis. Setelah itu segera air pipisan itu dibasuhkan dan diteteskan kepada yang sedang sakit. Seketika itu juga yang sakit segera bisa bergerak-gerak, dan seterusnya bisa berbuat sesuatu dan akhirnya menjadikannya sembuh dari penyakitnya itu. RPS. Sastrosoewignyo sampai demikian senang dan heran atas sesuatu yang terjadi yang namapknya tidak mungkin, tetapi kekuasaan Gusti Allah, yang sudah memberikan contoh yang nyata. Dimana contoh perintah tadi hanya sarana lewat mimpi di alam halus alam kasuksman, yaitu alam sasmitamaya.
Dapat dijelaskan beberapa hal yang ada dalam mimpi itu sebagai berikut:
1. Seorang Pria yang serupa dengan beliau RPS.Sastrosoewignyo, adalah yang disebut Wahyu Sejatining Kakung, nafsu laki-laki beliau. Nafsu laki-laki adalah nafsu yang mempunyai rasa tertarik kepada wanita, dan memang biasanya yang memiliki nafsu seperti itu kaum lelaki saja.
2. Sedangkan orang yang berhadap-hadapan dengan beliaunya yang berwujud wanita dengan busana pria sebelum turun di halaman adalah Wahyu Sejatining Putri yang dulu sudah pernah bertemu ketika berada di pantai Selatan.
Jadi seseorang yang mempunyai Wahyu Sejatining Kakung dan Wahyu Sejatining Putri sekaligus adalah utusan Gusti Allah, yaitu RPS. Sastrosoewignyo sendiri. Sedangkan orang biasa hanya mempunyai satu nafsu. Utusan Gusti Allah mempunyai dua nafsu sekaligus, yang sebenarnya adalah satu tetapi bisa berubah-rubah. Itulah yang disebut baboning nyawa/nafsu orang sedunia, yang bisa membuat sakit, malu, merugi, celaka dan bahkan matinya seseorang. Tentu saja mati yang tersasar dan menjadi santapan Sang Pria, bukan mati karena Gusti Allah.
Sedangkan suksma RPS. Sastrosoewignyo yang sudah terpisah dengan nafsunya menempati utusan Gusti Allah (berada di alam kuning). Apabila masih bersatu dengan nafsunya seperti di dalam cerita wayang, misalanya Betara Guru yang bertangan empat, akan menempati hakim (berada di alam merah). Suksma suci RPS. Sastrosoewignyo menempati baboning urip yaitu benih segala kehidupan. Sebab RPS. Sastrosoewignyo sudah bisa mengalahkan dan menang atas nafsunya sendiri dan menempati baboning pati lan urip, sakit, sehat, susah, senang, beruntung atau celaka dan seterusnya.
Ref: