R. Soenarto adalah salah satu umat yang terpilih yang menjadi warono turunnya Sabda Ilahi dengan perantaraan Utusan-Nya yang Abadi, yakni Suksma Sejati. Sabda Ilahi yang diterima beliau bukanlah sesuatu yang serta-merta turun begitu saja, melainkan diperoleh setelah R. Soenarto berupaya keras melalui masa pencarian panjang disertai berbagai pengalaman spiritual yang diawali sejak beliau berusia 7 tahun.
R. Soenarto Mertowardojo, yang di kalangan warga Pangestu lebih dikenal dengan Pakde Narto, lahir pada tanggal 21 April 1899 di desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, sebagai putra keenam dari delapan bersaudara dari keluarga Bapak R. Soemowardojo. Hidup pada masa itu, di jaman pendudukan Belanda, dengan delapan putra merupakan cobaan yang berat bagi keluarga Bapak R. Soemowardojo yang sehari-hari bekerja sebagai mantri penjual.
Walaupun dihimpit oleh keadaan yang serba kekurangan dan tidak menguntungkan, beliau berkeinginan kuat untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, Bapak R. Soemowardojo berniat untuk menitipkan R. Soenarto kepada keluarga atau kerabat, bahkan pada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dengan harapan, orang yang dititipi dapat membantu Pakde mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik.
Itu pulalah yang menjadi titik awal dari masa pencarian yang panjang. Masa ngenger kepada orang lain dengan berpindah-pindah yang dialami Pakde Narto selama 15 tahun merupakan ajang tempaan watak narimo, berkorban perasaan dan sabar yang harus dijalani Pakde dalam usia yang masih sangat muda. Menghadapi keadaan itu, beliau tidak pernah mengeluh kepada ayah-bunda atau kepada orang lain. Pakde juga menunjukkan sikap jiwa yang teguh berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Waktu terus berjalan dan akhirnya masa ngenger pun berlalu. Namun, pengalaman ngenger yang berat inilah yang menjadi tonggak penting dalam hidup Pakde Narto.
Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami keesaan Tuhan berikut semesta alam seisinya makin mengental. Melalui perenungan yang dalam, muncul pertanyaan-pertanyaan besar, seperti di mana Tuhan bertakhta? Bagaimana manusia dapat bertemu dengan Tuhannya? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan surga dan neraka dan jika ada? Dimana letaknya? Pertanyaan-pertanyaan itu semua mendorong Pakde untuk belajar kepada beberapa guru. Akan tetapi jawaban yang diperoleh beliau tidak ada yang memuaskan bahkan mengecewakan. Beliau kemudian berjanji dalam hati untuk tidak berguru lagi dan akan memohon langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pakde menyadari bahwa laku yang benar hanyalah memohon sih pepadang Allah yang senyatanya Mahamurah, Mahaasih, Mahaadil. Beliau yakin akan diberi pepadang asal memohon dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, tepatnya hari Ahad Pon, 14 Februari 1932, kira-kira pukul setengah enam sore, ketika beliau sedang duduk-duduk seorang diri di serambi Pondok Widuran, Sala, pertanyaan-pertanyaan yang selalu menjadi pemikiran beliau, timbul kembali. Pakde kemudian berniat memohon kepada Tuhan agar diberi sih pepadang-Nya. Setelah memohon dengan khusyuk lalu dilanjutkan dengan sholat daim, dengan tidak terduga-duga, Pakde menerima Sabda Ilahi dalam hati sanubari yan suci seakan-akan menjawab pertanyaan beliau, sebagai berikut “
“Ketahuilah, yang dinamakan Ilmu Sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan benar, jalan yang sampai pada asal mula hidup”.
Ketika Bapak Soenarto menerima Sabda tersebut, beliau merasa bagaikan disiram air dingin dan badan terasa gumriming merinding lalu disusul oleh perasaan takut. Dengan termangu-mangu Bapak Soenarto bertanya dalam hati “Siapakah gerangan yang bersabda itu tadi?”. Kemudian terdengar Sabda berikutnya yang merupakan jawaban atas pertanyaan Pakde Narto sebagai berikut:
“Aku Suksma Sejati, yang menghidupi alam semesta, bertakhta di semua sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pemimpin, Penuntun, Gurumu yang sejati ialah Guru Dunia. Aku datang untuk melimpahkan Sih Anugerah Tuhan kepadamu berupa Pepadang dan Tuntunan. Terimalah dengan menengadah ke atas, menengadah yang berarti tunduk, sujud di hadapan-Ku. Ketahuilah siswa-Ku, bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan semesta alam, letak sesembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali kepada-Nya. Sejatinya hidup itu Satu, yang abadi keadaannya dan meliputi semua alam seisinya.”
Demikian sabda demi sabda diterima berturut-turut dalam beberapa bulan dan semua Sabda ini dicatat oleh dua orang priagung yang membantu Pakde Narto saat itu, yaitu Bp. R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Bp. R. Trihardono Soemodihardjo. Himpunan Sabda Ilahi inilah yang kemudian menjadi Pustaka Suci Sasangka Jati. Turunnya ajaran Sang Guru Sejati merupakan fenomena wahyu melalui perantara R. Soenarto yang tidak dapat dijangkau oleh daya angen-angen atau pikiran manusia.
Kita tidak dapat hanya menggunakan alam pikiran untuk menerima ajaran Sang Guru Sejati, yang lebih diperlukan adalah hati nurani dan kesadaran yang paling dalam. Ajaran ini dipastikan dapat membantu umat manusia untuk dapat lebih menghayati dan menjalankan ajaran agamanya dengan lebih baik.
Dengan dasar tujuan itulah atas prakarsa Pakde Narto organisasi Pangestu didirikan pada tanggal 20 Mei 1949. Organisasi Pangestu terbentuk ketika kota Sala diduduki tentara Belanda pada clash kedua. Pada masa itu kota Sala diliputi keadaan yang mencekam karena tentara Belanda melarang segala bentuk kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau berkumpul lebih dari lima orang. Pada suatu hari, tepatnya hari Jumat Pon, 20 Mei 1949, pukul 16.30 Pakde Narto kedatangan tujuh orang siswa yang datang secara diam-diam. Para siswa tersebut adalah: Bapak Soeratman, Bapak Goenawan, Bapak Prawirosoeparto, Bapak Soeharto, Bapak Soedjono, Bapak Ngalimin dan Bapak Soetardi. Sore itu Pakde Narto mengajak para siswa tersebut untuk manembah bersama memohon agar perjuangan bangsa Indonesia lekas selesai dan berada di pihak yang jaya. Sang Guru Sejati bersabda dengan perantaraan lisan Pakde Narto, yang salah satu intinya adalah perintah Sang Guru Sejati kepada siswa-Nya untuk menyebarluaskan pepadang-Nya atau ajaran-Nya kepada seluruh umat.
Setelah menerima sabda dari Sang Guru Sejati, para siswa mengadakan perundingan dan menghasilkan terbentuknya pengurus Pangestu yang pertama. Susunan tersebut adalah sebagai berikut: Ketua adalah Bapak Goenawan, Penulis adalah Bapak Soetardi, Bendahara dipercayakan kepada Bapak Soeratman sedangkan pembantu-pembantu adalah Bapak Soedjono, Bapak Soeharto, Bapak Ngalimin dan Bapak Prawirosoeparto. Pakde Narto sendiri bertindak sebagai Paranpara sesuai dengan Sabda Sang Guru Sejati. Inilah susunan pengurus sementara yang pertama sebagai tanda berdirinya organisasi yang semata-mata berorientasi pada kejiwaan dan dikenal sebagai Paguyuban Ngesti Tunggal. Pakde Narto wafat pada tanggal 16 Agustus 1965 dan dimakamkan di Bonoloyo, Sala.
Lambang & Pedoman Pangestu
Pangestu berlambang sepasang bunga, yang terdiri dari setangkai bunga Mawar berwarna merah jambu berduri satu dan setangkai bunga Kamboja berwarna putih dengan garis kuning emas pada tepi kelopaknya. Lambang sepasang bunga tersebut dengan latar belakang berwarna ungu.
Bunga Mawar, melambangkan tugas keluar yaitu melaksanakan tugas hidup bermasyarakat, duri tangkai bunga mawar tersebut melambangkan bahwa bagaimanapun sukses/berhasilnya tugas hidup keluar tersebut dilaksanakan selalu ada cela atau kekurangannya. Bunga Kamboja, melambangkan tugas kedalam, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, harus dengan bekal kesucian lahir dan batin. Latar belakang berwarna ungu, melambangkan bangunnya jiwa dari kondisi tertidur/pasif menjadi sadar dan aktif.
Pangestu memiliki Pedoman Dasar yang disebut Dasa Sila sebagai sikap hidup ke dalam dan keluar (lahir/batin) bagi anggotanya, yaitu: berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Utusan Tuhan, kepada tanah air, kepada orang tua (ayah-ibu), kepada saudara tua, kepada guru, kepada pelajaran keutamaan, setia kepada Khalifatullah (Pembesar Negara) dan Undang-Undang Negara, mengasihani kepada sesama hidup dan menghormati semua agama.
Ajaran Sang Guru Sejati
Ajaran Sang Guru Sejati adalah wahyu Ilahi yang diturunkan secara berturut-turut mulai tanggal 14 Februari 1932 sampai Januari 1933 di Sala melalui Bapak Soenarto Mertowardojo.
Rangkaian wahyu Ilahi tersebut dicatat dan kemudian dihimpun dalam buku Sasangka Jati. Wahyu tersebut diturunkan dan dicatat dalam bahasa Jawa yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
Wahyu Ilahi tersebut merupakan Sabda Tuhan Yang Maha Esa yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Dalam Sabda tersebut, Tuhan menyebut diri-Nya sebagai Panutan, Penuntun dan Guru yang Sejati bagi seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, maka seluruh Sabda tersebut disebut Ajaran Sang Guru Sejati.
Maksud dan tujuan kehadiran Sang Guru Sejati adalah hanya untuk memperbaiki rusaknya kepercayaan (baca: keimanan) yang benar, namun tidak untuk mengganti tatanan dan aturan Tuhan yang telah ada yang umumnya disebut agama serta juga tidak untuk mendirikan agama baru.
Sang Guru Sejati hanya hendak menunjukkan jalan benar dan jalan simpangan serta mengingatkan kepada mereka yang lupa akan kewajiban suci, juga memberikan petunjuk tentang pengolahan hati dan cipta bagi mereka yang percaya.
Pada intinya ajaran Sang Guru Sejati memberikan pelajaran dan petunjuk untuk:
- Mengingatkan semua umat yang lupa akan kewajiban suci, yaitu mereka yang ingkar (murtad) terhadap perintah Allah.
- Menunjukkan jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir pada kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi.
- Menunjukkan adanya jalan simpangan yang berakhir pada kegelapan, kerusakan, dan kesengsaraan.
- Menunjukkan larangan Tuhan yang harus dijauhi dan dihindari, jangan sampai dilanggar.
- Menunjukkan adanya Hukum Abadi yang menguasai Alam Semesta dan kehidupan umat manusia, baik di dunia ini maupun di alam baka nantinya.
- Menerangkan tentang dunia besar, yaitu alam semesta di luar diri manusia, dan dunia kecil, yaitu badan jasmani dan rohani di dalam diri masing-masing manusia, dalam satu kesatuan alam semesta seisinya.
Ajaran Sang Guru Sejati, ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, mengandung pelajaran-pelajaran tentang:
- Ilmu ke-Tuhan-an (Tauhid dan Tasawuf) yang mengajarkan dan menerangkan sifat, kebijaksanaan, keadilan dan kekuasaan serta ‘keberadaan’ Tuhan Yang Maha Tunggal.
- Filsafat Hidup yang menerangkan dan menjelaskan akar permasalahan dan kejadian dalam kehidupan setiap diri manusia serta bagaimana harus bersikap agar mampu mengatasi dan menanggulangi segala perkara dengan sempurna.
- Ilmu Jiwa (Psikologi) yang menerangkan dan menjelaskan tentang susunan (struktur) jiwa dan komponen/bagian-bagian jiwa serta fungsi, mekanisme kerja dan saling hubungannya satu dengan lainnya.
- Ilmu Kesehatan, utamanya kesehatan jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jasmani.
- Metafisika yang menerangkan dan menjelaskan tentang keberadaan hal-hal non fisik yang halus dan tidak dapat tertangkap dengan pancaindera dan/atau alat-alat di dalam kehidupan di dunia ini, di samping hal-hal yang fisik (materi) kasar.
- Ilmu Seni Hidup yang memberikan petunjuk praktis tentang cara pengelolaan pikiran, perasaan dan kecenderungan nafsu-nafsu dalam menyikapi terhadap situasi yang dihadapi dan kondisi yang dialami, agar tetap tegar dalam pasang surutnya keadaan serta tidak terombang-ambing oleh segala perubahan situasi dan kondisi kehidupan. Karena yang bersangkutan telah mampu menciptakan ketentraman dan kedamaian serta kemandirian (dari ketergantungan pada perubahan situasi dan kondisi kehidupan) dalam jiwanya sendiri.
Pokok-pokok Ajaran Sang Guru Sejati
A. Kewajiban Delapan Perkara (Hasta Sila).
Tri Sila yaitu ibadah hati dan cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan Kewajiban Besar yang sangat perlu ditunaikan setiap saat, yaitu :
Sadar (1), dalam pengertian selalu ingat, yang berarti Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun keadaan Tuhan Yang Maha Esa disebut Tripurusa, artinya satu keadaan yang bersifat tiga, yaitu :
- Suksma Kawekas (Tuhan Sejati), dalam bahasa Arabnya Allah Ta’ala
- Suksma Sejati (Pemimpin Sejati = Penuntun Sejati = Guru Sejati), Utusan Tuhan Yang Abadi
- Roh Suci Manusia Sejati, yaitu jiwa manusia yang sejati
Kesadaran setiap saat kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut hendaknya diupayakan menjadi suatu kebiasaan. Saat dalam perjalanan, bersantai, bekerja, tidur, dan pada kesempatan apapun hendaknya tetap sadar dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan menyadari dan selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka kita akan dituntun ke dalam watak bijak, yaitu mampu membeda-bedakan hal yang benar dan yang salah, hal yang nyata dan yang tidak nyata.
Percaya (2) dan beriman merupakan ikatan batin yang kuat yang menggandengkan yang percaya dengan yang dipercayai, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Iman itulah yang mengalirkan Tuntunan, Perlindungan, Pertolongan dan Kasih dari Tuhan Yang Maha Esa kepada diri kita. Tanpa Percaya atau Iman, ibarat manusia memutus ikatan batin yang menggandengkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Maka hendaknya diupayakan dengan kepercayaan penuh kepada Penuntun Sejati kita di dalam hati sanubari, agar kita mendapatkan perlindungan selama-lamanya dan memperoleh tuntunan untuk berjalan di jalan benar sampai tiba pada tujuan hidup yang hakiki.
Taat (3) adalah mematuhi seluruh perintah serta tidak melanggar larangan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana telah disampaikan oleh Utusan Tuhan Yang Sejati kepada seluruh umat manusia.
Jika kita benar-benar taat kepada Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak akan ada hal yang bisa menyimpangkan diri kita dari jalan benar yang kita jalani.
Panca Watak Utama yaitu Watak Utama lima perkara. Agar supaya sempurna dalam menunaikan kewajiban tiga perkara dalam Tri Sila, setiap orang wajib mengupayakan dengan penuh kesungguhan untuk memiliki watak dan perilaku baik lima perkara yaitu :
Rela (4), sesungguhnya yang disebut rela itu hati yang lapang untuk menyerahkan seluruh milik, hak, dan hasil karyanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tulus ikhlas. Karena menyadari bahwa semuanya itu berada dalam Kekuasaan Tuhan, maka tidak ada satu hal pun yang lekat di hatinya. Orang yang telah memiliki watak Rela, tidak pantas jika masih mengharapkan hasil buah karya dan perbuatannya, apalagi sampai merasa susah dan berkeluh kesah saat mengalami semua penderitaan, penghinaan, fitnah, kehilangan harta benda, jabatan, kematian dan sebagainya. Orang yang rela itu sama sekali tidak menghendaki sanjungan dan popularitas. Orang yang rela itu memiliki watak : tidak lekat pada segala hal yang bisa rusak, akan tetapi bukan orang yang mengabaikan kewajiban. Intinya, barangsiapa yang bermaksud memiliki watak rela, belajar dan biasakanlah ringan tangan menolong orang lain untuk kebaikan dengan ikhlas dan sesuai kemampuan yang dimiliki. Dengan cara demikian, secara bertahap akan mencapai tingkatan : tidak dikuasai dan tidak menguasai pesona maya keadaan dunia.
Narimo (5) itu cenderung kepada ketentraman jiwa, jadi bukan orang yang malas dan enggan bekerja, akan tetapi yang bisa menerima apa yang menjadi haknya. Narimo itu bukan menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap keberuntungan orang lain. Oleh karena itu, orang yang narima itu dapat dikatakan sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Watak Narimo itu adalah suatu kekayaan yang tidak bisa habis, maka barangsiapa mencari kekayaan usahakan dalam watak narimo.
Hanya watak Narimo yang menuntun kita menuju pencerahan jiwa, karena watak Narimo mengandung ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga kita tidak terpengaruh oleh pasang surutnya gelombang kehidupan yang melanda.
Jujur (6) artinya menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah diucapkan atau pun masih dalam bentuk niat (dalam batin). Karena orang yang tidak melaksanakan niatnya, berarti mendustai batinnya sendiri. Apabila niat tersebut telah diucapkan, maka dustanya tersebut disaksikan oleh orang lain. Jujur itu mendatangkan rasa keadilan, sedang rasa keadilan menuntun ke arah kemuliaan abadi. Jujur itu memberikan keberanian dan ketentraman kepada jiwa serta mensucikan jiwa dan menjadikan tulusnya budi pekerti. Sesungguhnya orang yang tidak dapat dipercaya ucapannya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, termasuk golongan orang munafik (pura-pura). Orang yang demikian itu tidak akan mendapatkan Kasih Tuhan.
Sabar (7) adalah budi pekerti yang terbaik yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sabar itu artinya mampu menampung segala perkara, kuat menghadapi segala percobaan, tidak berputus asa, serta sentosa jiwanya, luas wawasannya, tidak picik, pantas jika dikatakan sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang mampu menampung diisi apa saja dan tidak meluap karena dituangi air sungai dari mana saja. Usahakan menghindari watak picik serta temperamental. Orang yang picik itu disebabkan oleh karena pikirannya dibatasi oleh pemahamannya, sehingga menganggap keliru pemahaman orang lain yang tidak sama dengan pemahamannya sendiri.
Berbudiluhur (8) adalah sikap manusia yang mirip dengan Watak dan Sifat Tuhan Yang Maha Luhur, yaitu belas kasih kepada sesama umat, suci, adil, tidak membeda-bedakan tinggi rendahnya derajad seseorang, kaya atau miskin, diperlakukan seperti saudara sendiri tanpa mengabaikan etika dan kesusilaan. Uraian tentang budiluhur baru dapat dipahami, setelah terlebih dahulu memahami uraian tentang : rela, narima, jujur dan sabar.
B. Panca Dharma Bakti (Jalan Rahayu):
- Memahami dan menghayati intisari makna dan rumusan hukum perjanjian Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya yang merupakan landasan kepercayaan dan kebulatan tekad yang diperjuangkan.
- Berbakti kepada Tuhan dan Utusan-Nya yang diteguhkan melalui Panembah yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara teratur sebagai kewajiban umat manusia.
- Budi darma, yaitu mewujudkan belas kasih kepada sesama umat, dengan memberikan kebaikan, untuk menolong kesulitan atau penderitaan orang lain sesuai dengan kebutuhan yang ditolong dan sesuai dengan kemampuan yang menolong untuk menuntun ke arah kesucian jiwanya.
- Mengendalikan nafsu-nafsu yang cenderung kepada kejahatan dan lain sebagainya, agar tidak mengganggu pelaksanaan kewajiban yang dijalankan.
- Berbudiluhur, sebagai bekal untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki.
C. Panca Pantangan (Paliwara)
Pantangan Tuhan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok besar, sebagai berikut :
1. Jangan Menyembah selain kepada Allah
2. Berhati-hatilah dengan nafsu Sahwat (jangan memanjakan nafsu sahwat)
Larangan yang kedua, diperintahkan oleh Tuhan agar jangan menganggap remeh atau melakukan hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan, yaitu mengumbar nafsu hanya demi kesenangan menuruti sahwat. Kewajiban sejak awal bagi manusia yang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, atas Kehendak Tuhan Yang Maha Esa, adalah untuk menjadi perantara turunnya Roh Suci yang bakal menjadi terpencarnya keturunan kita.
Mengumbar sahwat itu tidak termasuk golongan budiluhur, tetapi merupakan perbuatan makhluk yang rendah. Oleh karena itu jika merasa sebagai manusia, laksanakan kewajiban tersebut sesuai dengan tatanan yang susila.
3. Jangan makan atau menggunakan makanan/minuman yang memudahkan rusaknya badan jasmani
Jangan menggunakan sumberdaya dunia besar (alam) yang dapat merusakkan dunia kecil (badan manusia). Yang disebut sumberdaya dunia besar tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan atau hasil bumi yang beracun, yang bisa membuat rusaknya badan jasmani dan juga jiwa. Termasuk dalam larangan ini, juga berbagai kesenangan penyalah-gunaan narkoba, berjudi dan lain sebagainya yang menyebabkan lupa kepada kewajiban delapan perkara sebagaimana dimaksud dalam Hasta Sila harus juga dihindari. Intinya, segala hal yang memudahkan rusaknya badan jasmani dan bertentangan dengan ajaran Sang Guru Sejati seperti tersebut dalam Hasta Sila jangan dilakukan.
4. Taatilah Undang-undang Negara dan Peraturannya
Kalifatullah, yaitu para Pimpinan Negara adalah wakil Tuhan di bumi yang diperintahkan untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta ketertiban dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Para Kalifatullah tersebut meminjam kekuasaan Tuhan untuk mengadili dan mengatur ketertiban hidup bersama para anggota masyarakat berdasarkan hukum dan peraturan untuk melindungi keselamatan anggota masyarakat. Sehingga oleh karenanya, para anggota masyarakat wajib menaati dan mematuhi pemerintahan Kalifatullah tersebut atas apa yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku agar menguatkan kedaulatan Negara untuk mencapai masyarakat adil-makmur, tenteram dan sejahtera.
5. Jangan Bertengkar
Maka hendaknya rukun dalam kehidupan bersama di dunia, jangan berselisih, saling membenci, bertengkar, bermusuhan dan berperang. Semua sikap dan perbuatan yang mengarah kepada perselisihan atau pecahnya kerukunan (Persaudaraan) hendaknya dihindarkan, a.l. iri hati, usil, adu domba, membicarakan kejelekan orang lain, gemar memfitnah, menutup jalan rejeki orang lain dan lain-lain perbuatan yang membunuh, semua itu adalah bukan watak manusia yang sejati akan tetapi wataknya setan yang akan mendorong ke arah kesengsaraan hidup.
Jurnal
Title/Judul : UMAT AGAMA DALAM PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)
Religious Members Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu)
Compoust/Pengarang : Moh Soehadh, Soehardi
Journal/Jurnal : Humanika 2004, XVII
Summary: Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) is one of the Javanese mysticism groups that was established as a formal organization in Solo in 1949 inspired by a revelation to Soenarto Mertowardojo (Pakde Narto). Based on the movement doctrine rooted on Kitab Sasangka Jati, Pangestu is not a religion and does not establish a new religion. Pakde Narto and his fellows also refuse Pangestu as an association of mysticism (Himpunan Penganut Kepercayaan (HPK)). They prefer to call Pangestu as Faculty of Psychology, a place for mental spiritual forging. As the consequence of that doctrine, Pangestu is not only followed by them who declare themselves as abangan but also by those who obey their religion (Moslem or Christian). To Pangestu doctrine, its followers can be described as people who have tolerance and vision to other religious followers.
Anthropologically, the participation of the followers of the religions to Pangestu becomes a unique problem. Because of that, they have enclosed two belief systems; they, in one side, believe and undergo Islam or Christianity, and on the other side, they also believe and undergo Pangestu doctrine. Based on the problems above, this research is meant to understand the motivation and the meaning of penyiswaan (being students) of the religious followers to Pangestu. The collected data is done in Kotamadaya and Kabupaten Sleman Yogyakarta, by participant observation, individual life history, and in-depth interview technique.
The result of this research describes that there are two major motives that drive penyiswaan of the followers to Pangestu. The first major motivation is related to their dissatisfaction in understanding their religion, so the Pangestu doctrine can be made as a reference in understanding that religion. The second major motivation is related to the dissatisfaction of the followers in doing panembah (spiritual rites) of their religion teachs. Pangestu mysticism has offered the intensive religious way and improved religious taste of the religious followers. This is different from the various ways offered by the formal religions tending to emphasize the syariat panembah (spiritual rites) and only offering rational sense of religious. Pangestu mysticism has also offered to the religious followers various peaceful and tolerant performances that does not create social problems, for it is more oriented to inner of human. Besides, this research also finds out a fact that by some of the followers, Pangestu Mysticism is not only believed and undergone to feel the power of God, to the path of God, but also understood as a earthly ritual, that is to present the God will in this world, in gaining a successful life or solving of problems. These findings are in accordance with what have been written by Geertz (1983:427) and also by Zoetmulder (2000:136), that is in every mysticism performance, Javanese often do not want to find theoretical experiences but practical experiences useful to their life.
Referensi
A.R.Radcliffe-Brown, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif., 1980
Abu Burhan, Tripurusa Penjelasan Menurut Ajaran Tasawuf(Makrifat)., 1970
Abu Su'ud, Ritus-ritus Kebathinan, 2001
Anonim, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 1983
Anonim, Arsip Sardjana Budi Santosa, 1976
Anonim, Bawa Raos Saklebeting Raos, 1969
Anonim, carilah madu lebah bunga Kamboja-Mawar Mekar sejajar indah di tengah kayu salib dan Ka'bah, 2001
Anonim, Golongan Kesiswaan dan Tuntunan Bagi Para Siswa, 1990
Anonim, Kebudayaan dan Agama, 1993
Anonim, Local Knowledge, 1993
Anonim, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, 2000
Anonim, Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta 2000, 2000
Anonim, Pokok-Pokok Piwulangipun Sang Guru Sejati utawi Suksma Sejati., 1969
Anonim, Riwayat Hidup Bapak paranpara Pangestu R. Soenarto, 1974
Anonim, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta , 1982
Anonim, Suatu Dialog Mengenai Ajaran Pangestu, 1971
Anonim, Tafsir Kebudayaan, 1992
Anonim, Tuntunan Panembah dan Pangesti, 1977
Anonim, Ular-ularipun Juru Mengeti.., 1976
Anonim, Wahyu Sasangka Jati., 1977
As'ad El. Hafidy, Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebathinan di Indonesia, 1982
Benedick Anderson, The Idea Of Power In Javanese Culture. In Clarie Holt (ed) Culture and Politics In Indonesia., 1972
Biro Pusat Statistik., Statistik Sosial Budaya Yogyakarta 1993, 1993
Clifford Geertz, Religion as a Cultural System, dalam Michael Banton (ed). Anthropological Approach To The Study Of Religion., 1969
David L. Altheide, Jhn M. Johnson, Criteria Assesing Interpretive Validity Qualitative Research. In Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S (editors). Handbook of Qualitative Research., 1994
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Sistem Kesatuan Hidup Setempat, 1981
Ernest Casirer, Manusia dan Kebudayaan, 1987
Evon Z., Reader In Comparative Religion; An, 1972
Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa:Sebuah Analisa Filsafati tentang Kebijaksanaan, 1999
Haramain Asy Syarifain., Al-Qur'an Dan Terjetnahnya, 1971
Harun Hadiwijono, Kebathinan dan Injil, 1976
Hestu Cipto Handoyo, Kilas Balik Keistimewaan Yogyakarta , 1998
James P. Spradley, Metode Etnografi, 1997
Kamil Kartapradja, Aliran Kebathinan dan Kepercayaan di Indonesia, 1985
Khairuddin, Filsafat Kota Yogyakarta , 1995
Kuper, Adam., Pokok dan Tokoh Antropologi, 1999
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa., 2000
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, 1983
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 1999
Mark R. Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif versusu Kebathinan, 0000
Mastok Lindu Suparto, Cam Wong Jawa Negesi Haji, 2000
Mircea Eliade, et all., The Enciclopedia Of Religion, 1987
Muhammad R., Dwi Windu Pangestu, 1967
Niels Mulder, Ruang Bathin Masyarakat Indonesia , 2001
Pangestu, Serat Sasangka Jati, 1969
Paul Stange, Politik Pernatian; Rasadalam Kebudayaan Java, 1998
Peter L. Berger, Langit Suci., 1991
PM. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat jawa: Kerajaan dan Pedesaan., 1985
Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu Pusat, Sabda Pratama, 1974
R. Soenarto Mertowardoyo, Toman Kamulyan Langgeng, 1975
R.Soemantri, Tjandradjiwa Soenarto, 1970
Rahmat SUbagyo, Kepercayaan dan Agama, 1976
Robert M. Keesing, Antropologi Budaya PerspektifKontemporer, 1992
Romdhon, Thasawwufdan Aliran Kebatinan, 1995
S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, 1984
Simuh, Sufisme Jawa, 1999
Slamet Sutrisno, Sorotan Budaya Jawa dan Yang lainnya, 1985
Suhardi, Makna Pertunjukan Wayang Purwa, suatu Kajian Antropologi Simbol, 1995
Sularso Soeparto, mengenal pokok-pokok ajaran pangestu, 1987
Victor W. Turner, The Forest of Symbols , 1966
Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren, 1984
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, 2000
Ratusan Jalan Mencari Tuhan
Tempo Interaktif
Dengan lebih dari 100.000 anggota, Paguyuban Ngesti Tunggal, yang disingkat Pangestu, rampaknya merupakan aliran kebatinan terbesar di Indonesia . Jumlah itu terserak di 170 cabang di berbagai daerah, terutama Jawa, Kalimantan , dan Sumatera.
Dipimpin oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo, perkumpulan ini tampak cepat tumbuh, bila diingat pada 1976 anggotanya cuma sekitar 66.000. Sejumlah cendekiawan dan para tokoh turut pula bergabung di sini. Misalnya Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Organisasi ini memang bergaung di kalangan elite. Tapi keliru kalau menyamakan paguyuban ini dengan berbagai aliran kebatinan yang menjamur kini yaitu kelompok-kelompok yang mendaki gunung atau mencari gua untuk menyepi dan bersemadi menunggu turunnya wangsit. Malah sampai sekarang Pangestu belum bergabung ke dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), organisasi yang menghimpun 367 aliran kepercayaan yang ada. Sebab, seperti dikatakan Y. Suharyatno, 46 tahun, Ketua Pangestu Yogyakarta, "Pangestu bukan agama dan bukan kepercayaan." Pokok ajaran Paguyuban Ngesti Tunggal (berarti persatuan untuk bertunggal), seperti diuraikan di dalam Serat Sasangka Jati semacam kitab suci perkumpulan, adalah menunjukkan "jalan benar", yang akan berakhir pada kesejahteraan abadi di hadirat Tuhan sejati. Selain itu, juga menunjukkan "jalan simpangan", yaitu jalan yang berakhir di alam makhluk yang ingkar terhadap Tuhan.
Yang menarik di antara petunjuk menuju jalan benar yang diajarkan Serat Sesasangka Jati disebutkan suatu penegasan bahwa agama Islam dan Kristen adalah benar-benar agama yang berasal dari Tuhan. Bahwa kitab suci Quran dan Injil adalah Wahyu Allah yang wajib dijunjung tinggi dan ditaati semua umatnya. Malah ajaran di dalam serat itu diawali dengan, "Ketahuilah para siswaKu, bahwa kedatanganKu ini tidak hendak merusakkan atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lain disebut agama? Dan Aku juga tidak mendirikan agama baru."Karenanya, Pangestu tak memiliki ritus. Dan urusan-urusan ritual diserahkan kepada anggota masing-masing. Seperti dikatakan Suharyatno, sebenarnya anggota perkumpulan itu masih tetap merupakan umat beragama yang menganggap Pangestu sebagai gedung sekolah: tempat mereka mempelajari ilmu tentang jiwa dan ketuhanan yang efeknya, seperti diyakini para pengikut akan memperdalam pengertian tentang agama dan keimanan.
"Saya sendiri setelah ikut Pangestu baru bisa meresapi arti beribadat. Dulu kalau mendengar khotbah, asal dengar saja, dan terkadang mengantuk. Sekarang saya baru merasakan manfaatnya," ujar Suharyatno, penganut Katolik itu. Prof. Dr. Satjipto Rahardjos Guru Besar Sosiologi Hukum di Undip Semarang , mengatakan bahwa Pangestu semacam fakultas psikologi yang hanya mengolah kesehatan Jiwa. "Kalau HPK itu ada unsur mistik atau kleniknya," ujar Koordinator Pangestu Jawa Tengah II itu. Jelaslah bahwa Pangestu bersimpang dengan aliran kepercayaan yang menghendaki ritus sosial sendiri, perkawinan misalnya, terpisah dari agama.
Pangestu tak pula membutuhkan sanggar atau tempat upacara ritual seperti petilasan-petilasan, padahal belakangan ini banyak kelompok kepercayaan rajin mendirikan atau memugar petilasan. Itu sebabnya Pangestu tak mengirimkan wakil untuk menghadiri peringatan 1 Suro di Trowulan. "Untuk apa? Pangestu sudah jelas bukan aliran kepercayaan, tanpa unsur mistik dan klenik. Kami ini ilmiah," kata Satjipto. Ajaran Pangestu pertama diterima oleh R. Soenarto Mertowerdojo di rumahnya di Widuran, Surakarta , 14 Februari 1932, dalam bentuk suara yang terdengar oleh lubuk hati. Bisikan yang diterima juru tulis kewedanaan itulah yang kemudian dicatat dan dihimpun menjadi Serat Sasangka Jati, yang konon akan mengantarkan manusia menuju kesejahteraan abadi di pangkuan "Sang Suksma Kawekas" (Tuhan). Pangestu resmi menjadi sebuah organisasi sejak 1949, dan merupakan aliran yang pertama, yang berdiri dalam bentuk organisasi setelah kemerdekaan. Selain Pangestu, juga Subud, ajaran Mendiang Pak Subuh dari Jakarta Selatan, yang banyak menarik minat orang asing tak bergabung dalam HPK.
Berbeda dengan Subud, di paguyuban Sumarah warga negara asing malah tidak bisa diterima menjadi anggota. Namun, Sumarah menjadi anggota HPK, bahkan ketua umumnya, Zahid Hussein, saat ini menjadi ketua HPK. Meski Zahid Hussein sebagai ketua HPK hadir di Trowulan, Sumarah tak mengirim wakilnya ke sana . "Sumarah bukan penghayat kepercayaan, tapi paguyuban menuju ketenteraman lahir dan batin. Paguyuban ini adalah wahana olah iman," tutur Sutono, seorang pimpinan Sumarah cabang Yogyakarta . Tuntunan Sumarah pertama kali diterima oleh Raden Ngabehi Soekino Hartono (Pak Kino), di Yogyakarta , pada 8 September 1935 . Ajaran Sumarah menuntut agar para pengikutnya harus selalu sujud sumarah (menyerahkan diri) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa dan badan hendaknya selalu tunduk dan takluk kepada Tuhan, harus eling (ingat). Sujud sumarah tercapai jika seseorang berhasil mempersatukan angan-angan, rasa, dan budinya: kepala dan hati kosong, yang ada hanya satu, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada ketentuan yang kaku bila seorang ingin bersujud. Karena hanya paguyuban menuju ketenteraman lahir batin banyak anggota Sumarah yang tetap memeluk agama masing-masing.
Sumarah, yang dalam anggaran dasarnya secara tegas menyebut asasnya adalah Pancasila, kini beranggotakan sekitar 10 ribu orang. Meski jumlah aliran kepercayaan (atau yang digolongkan aliran kepercayaan) ratusan, dalam prinsip-prinsipnya tetap ditemukan persamaan. Itu disimpulkan oleh Direktorat Pembinaar Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan, Departemen P dan K, dan pemaparan yang dilakukan oleh 20 aliran kepercayaan pada 1985-1987. Proyek itu bertujuan untuk mengetahui lebih jauh ajaran aliran kepercayaan yang sudah didaftar. Untuk itu, para tokoh aliran masing-masing diminta mempresentasikan ajarannya di suatu forum yang antara lain terdiri dari pejabat Direktorat tadi, unsur rohaniawan dari berbagai golongan dan unsur ilmuwan dari berbagai disiplin. Pedoman proyek pemaparan itu dirumuskan oleh sebuah tim yang dipimpin Profesor Soedjito Sosrodihardjo dari UGM. Anggotanya antara lain terdapat cendekiawan Islam seperti Dr. Kuntowidjojo dan Dr. Usman Pelly.
Beberapa persamaan yang ditemukan, misalnya, organisasi itu lahir dari rintisan peri laku seseorang yang akhirnya menjadi sesepuh organisasi. Kemudian paguyuban tumbuh dari bimbingan sesepuh yang menerima wangsit, bisikan, anugerah, atau tuntunan yang mereka yakini, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sesepuh atau pinisepuh itu menciptakan sistem komunikasi spiritual di antara para pengikut, sehingga mereka dapat bersama menghayati penjabaran wangsit dan memetik hikmah ajaran. Pengikut yang semula merupakan kelompok kecil akhirnya menjadi besar. Terbentuklah organisasi penghayat kepercayaan itu. Konsep mereka tentang Tuhan pun punya kesamaan yang mendasar. Pada garis besarnya mengarah pada tiga unsur utama: Tuhan Yang Maha Esa itu ada dalam kenyataan yang satu/tunggal di luar batas perkiraan, memiliki banyak sifat yang mencakup segenap penjabaran Hidup Yang Agung, dan merupakan sumber daya dan kuasa abadi bagi segala sumber kehidupan di alam semesta. Memang ditemukan beraneka sebutan terhadap Tuhan. Organisasi Sangkan Paraning Dumadi Sanggar Kencono, misalnya, menyebut Tuhan dengan Sangkaning Dumadi.
Paguyuban Pangestu dan Subud belum termasuk di antara 20 aliran yang sudah didengar. Di antara yang sudah didengar adalah Tri Sabdo Tunggal Indonesia , Organisasi Perjalanan, Kerokhanian Sapto Darmo, dan Paguyuban Sumarah. Sejak diakuinya aliran kepercayaan dalam GBHN 1973, boleh dikatakan eksistensi mereka tak diutik-utik lagi. Memang, semula banyak yang waswas bahwa mereka akan tumbuh menjadi "agama" baru. Namun, dengan ditegaskannya dalam GBHN 1978 bahwa aliran kepercayaan tidak merupakan agama, dan pembinaannya tidak akan mengarah pada pembentukan agama baru, kekhawatiran itu tampaknya menghilang. Itu tidak berarti tidak ada lagi kecaman dan antipati terhadap aktivitas mereka, terutama kegiatan yang dinilai "aneh" menurut akal sehat. Banyak aliran kepercayaan yang, misalnya, merumuskan secara sederhana tingkah laku dan hubungan antar manusia serta hubungan antara manusia dan Tuhan. Selain itu, tampaknya masih banyak pemimpin agama yang kurang memperhatikan hal yang menyangkut ketenteraman batin penganutnya dan lebih menekankan soal "surga dan neraka". Karena itulah banyak yang memerlukan "olah batin" yang ditawarkan berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan sebagai pelengkap agama mereka.
Munculnya aliran kebatinan Jawa, kata Sejarawan Taufik Abdullah, bila dilihat dari sudut historis, "Merupakan tanggapan atas masuknya Islam ke Indonesia ." Bila ditelusuri, menurut ahli sejarah LIPI itu, kemunculannya saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit, kira-kira 1478. Menurut Taufik, kebatinan lahir karena adanya tradisi dialogis pada masyarakat Jawa: untuk memperoleh keserasian, keharmonisan, antara berbagai unsur. Di samping itu, didukung pula oleh besarnya penghayatan orang Jawa terhadap kesinambungan budaya, yang tercermin dalam mitos-mitos yang tak masuk akal. Misalnya kepercayaan bahwa raja-raja Mataram masih keturunan Majapahit. bahkan masik keturunan Nabi Muhammad dan juga tokoh Pendawa dalam wayang. Mitos itu diharapkan mampu menambah karisma dan kekeramatan mereka, hingga tidak ada yang berani melawan. Sedang substansi ajaran kebatinan, kata Taufik, adalah pencampuradukan Islam, Hindu, Budha, dan "entah apa lagi". Inilah yang dianut raja-raja Mataram seperti Sultan Agun, Amangkurat, dan Senopati. Meski mereka disebut raja Islam, Islam mereka terbentuk melalui tradisi kebatinan tadi. Mitos itu bersifat fungsional, tapi sekaligus juga bersifat disfungsional. "Artinya, mitos bisa membangkitkan kepatuhan, tapi juga ketidakpatuhan," ujar Taufik. Mitos tentang kebesaran Majapahit, misalnya, boleh jadi bisa dipergunakan untuk mempersatukan suatu kelompok yang mengagumi Majapahit. Tapi bagaimana buat orang Minangkabau dan Pasundan yang punya pengalaman buruk dengan Majapahit? "Ingat, 'kan peristiwa perang Bubat antara Pasundan dan Majapahit serta penaklukan Minangkabau?" katanya. Apakah kebatinan masih relevan dengan zaman sekarang? "Itu 'kan kepercayaan. Jadi, terserah yang percaya," jawab Taufik
PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL
By: Wong Alus
Salah satu saat yang paling saya sukai saat malam hari adalah berkumpul dengan rekan-rekan wong Jowo yang menamakan dirinya Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Jangan bayangkan paguyuban seperti ini semacam sekte tertutup, eksklusif dan wingit tapi sebaliknya. Mereka adalah sama seperti kita yang terbiasa diskusi ngalor ngidul secara ilmiah maupun batiniah.
Seperti Senin malam kemaren. Saya bergabung dengan komunitas ini untuk membahas satu buku induk Paguyuban Ngesti Tunggal yang bernama Serat Sasongko Jati. Setelah membaca dan mengartikan kata demi kata buku babon berbahasa Jawa itu, kami terlibat dalam diskusi tentang spiritualitas ketuhanan lintas agama dan kepercayaan.
Mulailah kami membahas tentang tingkatan-tingkatan untuk memahami hakikat sholat, mulai dari sembah raga, sembah cipta dan sembah rasa. Sholat diartikan sembah raga, karena di dalam sholat kita melakukan aktivitas fisik tertentu yang sesuai dengan syariat agama. Mulai dari apa arti dari mengangkat tangan saat takbir sampai sujud. Sholat diartikan sembah cipta apabila pikiran kita terfokus pada satu titik yaitu Gusti Allah. Dan yang terakhir adalah sholat sebagai sembah rasa, yaitu sholat adalah sebagai sarana rasa sejati kita untuk bertemu dengan Tuhan Yang Maha Dekat.
Mengartikan sholat semacam ini tentu saja tepat dan mendalam. Sholat tidak hanya aktivitas fisik, melainkan psikis dan juga ruhani kita haruslah madep mantep tanpa mikir ngalor ngidul lagi Semuanya bersatu dalam fokus dalam suasana batiniah yang hening untuk bertemu dan bertamu, menghadap wajah-Nya, berkomunikasi rasa antara aku sejati dengan Engkau Sejati yaitu, Allah.
Intinya, bahwa sholat adalah wahana dan sarana kita untuk manunggaling kawulo Gusti, bersatunya aku dengan aku-nya Tuhan. Persenyawaan ini bisa dipahami karena dalam sholat sesungguhnya kita sedang membuka kulit-kulit perasaan manusiawi kita yang kasar sehingga tinggallah dalam diri kita satu perasaan dasar yang murni atau rasa, yang merupakan jati diri seorang individu (aku). Aku Sejati inilah manifestasi Tuhan dalam individu tersebut. “Rasa adalah aku dan aku adalah Gusti”
Dalam sholat juga terungkap adanya tujuan hidup manusia yaitu untuk tahu dan merasakan. Rasa tertinggi dalam dirinya sendiri. Pengakuan akan rasa tertinggi ini dicapai dengan cara memiliki kehendak yang murni dengan cara memusatkan kehidupan batinnya, mengintensifkan dan memusatkan semua sumber spiritualnya pada satu fokus kecil namun mampu menghasilkan energi terbesar.
Pada tingkat pengalaman sholat yang merupakan kebersatuan dengan eksistensi tertinggi, kita bisa merasakan semua yang ada ini sejatinya satu dan sama, keakuan kita hilang dalam individualitasnya. Ini disebabkan karena rasa aku itu bersumber dari Gusti Allah, sebuah obyek abadi yang dialami semua subyek manusia.
Pengetahuan tentang rasa tertinggi merupakan tujuan pencarian mistik yang luhur dan harusnya menjadi tujuan keagamaan semua kepercayaan dan semua agama. Tindakan pemahaman ini sering dianggap memiliki dua tahap utama: ning harafiah berarti hening, diam yang menunjuk kepada emosi yang setenang-tenangnya dan kemundian ning kejernihan dan pengetahuan yang dalam, gerak hati yang mengikuti keheningan dan yang bisa merupakan sesuatu yang sangat emosional. Biasanya hal ini dilukiskan sebagai suwung atau kosong atau kabeh kui sejatine ora ono, sing ono kui dudu. (Semua itu hakikatnya tidak ada, yang ada itu sesungguhnya tidak ada…)
Untuk mencapai sholat sekhusyuk-khusyuknya, seseorang harus ngesti tunggal. Ngesti artinya menyatakan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung kepada sesuatu tujuan tunggal, pemusatan kemampuan fisik, psikologis dan ruhaniah ke ALLAH SWT saja. Hal ini merupakan penggalian mental yang intens pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tidak tertahankan dan suatu penggabungan ke dalam suatu kesatuan sederhana dari berbagai kekuatan di dalam individu tersebut. Semua indera, emosi, seluruh proses fisik psikis tubuh dibawa ke satu persenyaraan dan dipusatkan kepada satu tujuan tunggal, GUSTI ALLAH SWT.
Akhirnya, tanpa kami sadari diskusi sedemikian gayeng. Malam yang dingin berganti pagi. Adzan subuh bergema dan kami bergegas untuk Ngesti Tunggal.
Wong Alus
Ref: