28 Feb 2011

Sejarah Beberapa Macam Aliran Kebatinan

 

Pada tanggal 19 & 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di Jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di Surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962.  

Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya lokal saja dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. Budaya seperti itu secara resmi merupakan kelompok-kelompok kecil, seperti Penunggalan, Perukunan Kawula Manembah Gusti, Jiwa Ayu dan Pancasila Handayaningratan (Surakarta), Ilmu Kebatinan Kasunyatan (Yogyakarta), Ilmu Sejati (Madiun), Trimurti Naluri Majapahit (Mojokerto), dan masih banyak lagi lainnya.

Sebagian kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari 200 orang, namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di berbagai kota di Jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang. Diantaranya lima yang besar adalah Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta dari Yogyakarta.

Hardapusara adalah yang tertua diantara kelimanya, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon mendapatkan ilmu setelah menerima wangsit, kemudian ajaran-ajarannya disebut kawruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah Bagelan. Organisasi ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberpa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku ynag oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.

Susila Budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di Semarang. Sekarang berpusat di Jakarta. Budaya ini tidak mau disebut sebagai budaya aliran kebatinan, melainkan menamakan dirinya pusat latihan kejiwaan. Anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak dari para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul Susila Budhi Dharma, kecuali itu gerakanan itu juga menerbitkan majalah berkala berjudul Pewarta Kejiwaan Subud.

Pagguyuban Ngesti Tunggal, atau lebih terkenal dengan nama Pangestu adalah sebuah budaya aliran kebatinan lain yang jangkauannya luas. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku Sasangka Djati.

Pangestu didirikan di Surakarta pada bulan Mei 1949, dan anggota-anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang berasal dari daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu Dwijawara merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.

Paguyuban Sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai sabagai suatu kelompok kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada akhir tahun 1940an kelompok itu mulai mundur, namun berkembang kembali tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.

Sapta Darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di Jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama Hardjosaputro, yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Beliau berasal dari desa Keplakan dekat Pare. Berbeda dengan keempat organisasi yang lain, Sapta Darma beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah Kitab Pewarah Sapta Darma.

Walaupun budaya aliran kebatinan ada di seluruh daerah di Jawa, namun Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan tempat dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang penting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana, lima diantaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orang, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat di kota-kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan sebagainya.

S. de Jong yang mempelajari budaya aliran kebatinan Jawa di Jawa Tengah, melaporkan bahwa dalam propinsi Jawa Tengah saja tercatat sebanyak 286 organisasi kebetinan dalam tahun 1870, dengan kemungkinan bahwa masih ada organisasi-organisasi kecil lainnya yang tidak terdaftar di sana.

Pengikut-pengikut terkemuka dari budaya kebatinan, yang diantaranya ada yang berlatar belakang pendidikan psikologi, biasanya menjelaskan bahwa timbulnya berbagai budaya itu disebabkan karena sebagian besar orang Jawa butuh mencari hakekat alam semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan. Ahli sosiolagi Selosoemardjan berpendirian bahwa orang Jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya, yang sering dilakukannya dengan cara-cara metafisik.








Ref: