20 Mar 2011

Aliran Kerohanian Sapta Darma


Asal Usul Sapto Darmo


Riwayat penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung terus tiap-tiap hari tidak henti-hentinya, selama 12 tahun sampai dengan wafatnya Panuntun Agung Sri Gutama (Bp. Hardjosapuro). Istilah yang ada di dalam Kerohanian Sapta Darma adalah istilah asli, dalam arti istilah-istilah tersebut didapat dari hasil penerimaan yang datangnya dengan tiba-tiba/sekonyong-konyong dalam keadaan yang luar biasa, dengan saksi-saksi yang berganti-ganti.

Tepatnya di Kampung Pandean, Gang Klopakan, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berdiamlah seorang putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak Hardjosapuro. Pada hari Kamis, tanggal 26 Desember 1952, Bapak Hardjosapuro seharian ada di rumah (tidak bekerja sebagaimana biasanya sebagai tukang potong rambut) karena hatinya merasa gelisah.

Kemudian, pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya. Menjelang pukul 24.00 WIB beliau pamit pulang, setelah tiba di rumahnya, beliau mengambil tikar dan beralaskan lantai, tiduran-tiduran untuk menenangkan perasaan yang gelisah. Pada saat mau tidur-tiduran, tepat pada Jumat Wage jam 01.00 WIB malam, seluruh badan beliau tergerak oleh getaran yang kuat diluar keinginannya, dengan posisi duduknya menghadap Timur dengan kaki bersila dan kedua tangan bersidakep. Namun dalam keadaan sadar, beliau mencoba melawan gerakan tersebut, namun tidak mampu untuk melawannya. Diluar kemauannya, beliau mengucapkan Kalimat dengan suara keras: “Allah Yang Maha Agung, Allah Yang Maha Rokhim, Allah Yang Maha Adil” setelah itu badannya tergerak untuk sujud secara otomatis diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan sujud sambil mengucap dengan suara keras, “Hyang Maha Suci Yang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa”, kemudian duduk dan sujud kembali sambil mengucapkan: “Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa, Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun” sebanyak 3 (tiga kali). Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan yang masih bergetar, setelah itu tergerak kembali untuk sujud dengan mengucapkan; “Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuwasa”, kemudian kembali dalam posisi semula. Hal ini terjadi berulang kali sesuai dengan urutan sebelumnya dan berlangsung sampai pukul 05.00 WIB pagi. Apa yang dialaminya tidak diketahui oleh seorangpun yang berada di rumah.

Karena takut dengan kejadian tersebut, Hardjosapuro kemudian membangunkan orang yang berada di rumah, namun semua tidak dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Oleh karena itu beliau bermaksud untuk menemui teman terdekatnya yakni Bapak Djojo Djaimoen untuk menceritakan hal yang dialaminya. Pada tanggal 27 Desember 1952 jam 07.00 pagi tibalah beliau di rumah temannya tersebut, kemudian diceritakan apa yang dialaminya. Namun temannya Djojo Djaimoen tidak mempercayai akan hal itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba seluruh badan Djojo Djaimoen tergetar dan bergerak seperti yang dialami Hardjosapuro. Setelah dialaminya, mereka berdua berniat datang ke temannya lagi yang bernama Bapak Kemi Handini yang bekerja sebagai sopir di Desa Gedangsewu, Pare untuk diberitahukan serta menanyakan kejadian yang mereka alami.

Niat untuk mendatangi temannya itu dengan harapan mereka akan mendapatkan penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tanggal 28 Desember 1952 jam 17.00 mereka berdua tiba di rumah Bapak Kemi Handini dan diceritakanlah pengalaman mereka. Belum sampai selesai ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam kekuatan yang sama. Dengan tiba-tiba Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar tumbal ditempat-tempat tertentu yang tertanam di rumah Kemi. Setelah gerakan berhenti diceritakannlah kepada Bapak Kemi, apa yang diketahuinya di dalam gerak sujud. Ketika diceritakannya kedua teman, Hardjosapuro merasa heran, karena yang dialaminya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Kemudian mereka bertiga sepakat menemui sahabatnya yang bernama Somogiman yang mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan darinya. Bapak Somogiman adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare). Pada tanggal 29 Desember 1952 jam. 17.00, mereka tiba di rumah Somogiman. Pengalaman gaib pun dipaparkan kepada Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-kawannya. Pada waktu itu Somogiman tidak memberi tanggapan dan kelihatannya tidak dipercaya. Tetapi yang terjadi, secara tiba-tiba Somogiman mendapat gerakan yang otomatis di luar kemauannya juga seperti apa yang diceriterakan teman-temannya tadi. Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut ke mulut kegaiban di kota Pare yang dialami oleh Bapak Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga terdengar pula oleh Bapak Darmo seorang sopir dan seorang lagi bernama Reksokasirin pengusaha batik. Kedua orang tersebut mendatangi rumah Somogiman untuk membuktikannya, namun belum sampai mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan sedemikian juga dialaminya.

Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 (enam) orang (Bapak. Hardjosopoero, Djojodjaiman, Kemi Handini, Somogiman, Darmo dan Rekso Kasirin). Kemudian mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali Hardjosapuro yang tidak mau kembali ke rumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian di rumahnya. Sampai dua bulan lamanya beliau tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, tetapi berpindah-pindah ke rumah temannya. Karena ke-enam orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya.

Pada suatu malam pada tanggal 12 menjelang 13 Februari 1953, setelah ke enam orang tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan petunjuk agar Bapak Hardjosapuro kembali ke rumahnya karena nantinya akan menerima ajaran-ajaran dari Hyang Maha Kuasa yang lebih tinggi lagi. Keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari 1953 jam 10.00 pagi mereka sudah berkumpul di rumah Bapak Hardjosapuro kemudian sedang asyik bercakap-cakap tiba-tiba diterima perintah langsung kepada Hardjosapuro dan berkatalah beliau dengan suara keras (dalam bahasa Jawa), ’’Kawan-kawan lihatlah Saya mau mati dan amat-amatilah Saya”. Maka berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan mengamat-amati Bapak Hardjosapuro yang berbaring membujur ke timur sambil memejamkan mata dan tangan bersidakep. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari sahabat-sahabatnya dan dengan cara yang beragam para sahabatnya ingin meyakinkan kondisi Hardjosapoero apakah sudah mati atau belum. ”Inilah yang dikatakan Racut ialah mati di dalam hidup”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi rasanya masih hidup. Masih mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak mendengarkan segala yang diceritakan.

Setelah mengalami Racut beliau menceritakan bahwa dalam keadaan racut tersebut Bpk. Hardjosapuro merasa rohnya/rohaninya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan indah sekali dan beliau sujud didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya tak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Di situlah Hardjosapoero duduk bersila dan sujud Menyembah Allah Hyang Maha Kuasa, setelah sujud maka orang yang bersinar tadi terus memegang Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau dituntun ke taman yang penuh bunga dan indah sekali, kemudian di bawa ke sebuah sumur yang penuh airnya lalu dibawa ke sumur yang kedua, disuruh membukanya dan setelah dibuka ternyata airnyapun penuh dengan air yang jernih sekali. Nama kedua sumur tersebut adalah Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.

Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang yang bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosapoero “Inilah Untukmu” sambil menyodorkan dua bilah keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan Mataraman dan yang lain pada pamornya terdapat dua bentuk benda bulat berjajar bagaikan Bendo Segodo, yang diberi nama Nogososro dan Benda Segodo / Sugada. Setelah itu beliau disuruhnya kembali pulang. Setelah beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh sebuah bintang yang amat besar dengan sinar terang mengantar perjalanan pulangnya.

Untuk meyakinkan tentang kebenaran ajaran Racut yang diterima oleh Bapak Hardjosapuro, maka para sahabatnya dimintanya melakukan secara bergantian. Pelaksanaan racut yang dilakukan para sahabatnya ditunggui oleh Bapak Hardjosapoero namun yang dialalmi masing-masing sahabat berbeda. Namun dalam hal-hal yang pokok adalah sama, misalnya melalui alam yang enak sekali, sampailah pada sebuah rumah yang besar dan indah dan bertemu orang yang bersinar bagaikan maha Raja. Tetapi tidak ada satupun sahabat yang melakukan sujud di rumah yang besar itu. Pemberian yang diterima juga berbeda ada yang berupa bunga dalam vas, ada pula berupa pakaian serta tidak diberikan apapun. Namun semuanya itu telah meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran Racut serta apa yang dialami Bapak Hardjosapoero.

Sejak itulah, semua sahabat-sahabatnya harus berkumpul di rumah Bapak Hardjosapoero, dan tidak boleh berkumpul di rumah sahabat yang lain. Sehingga setiap malam mereka berkumpul untuk melakukan sujud bersama dan juga melakukan latihan-latihan Racut.
Namun pada satu waktu Bapak Hardjosapoero dalam melakukan sujud bersama dilakukannya juga racut seperti yang pernah dialaminya. Dalam melakukan Racut beliau selalu berjumpa dengan sang maha raja, bahkan diberi juga Kotang Ontokusumo dan Caping Basunondo. Pernah juga menerima bongkok (tangkai daun kelapa). Satu panah dan Buku Besar. Sehingga diyakini apapun yang dikerjakan olehnya adalah suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang Maha Kuasa.

Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Bp. Hardjosapuro ialah: Sdr. Sersan Diman, Sdr. Djojosadji, Sdr. Danumihardjo (Mantri guru Taman Siswa Pare). Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi kejadian ini tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan Diman berdiri dengan sekonyong-konyong sambil menuding-nuding gambar tersebut dengan berkata keras: ”Ini harus digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata demikian. Kemudian kawan-kawannya segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat gambar tersebut). Setelah mendapatkannya terus segeralah digambar pemandangan gambar simbul itu sampai selesai. Setelah selesai digambar, maka hilanglah gambar pemandangan simbul itu dari pandangan mata, yang selanjutnya dinamakan Simbul Pribadi Manusia. Pada gambar tersebut ada tulisan huruf Jawa: SAPTA DARMA, yang selanjutnya disempurnakan dengan penerimaan peribadatannya yang disebut Sujud Sapta Darma / sujud asal mula manusia.

Pada hari itu juga, tanggal 12 Juli 1954 setelah diterima wahyu Simbul Pribadi Manusia, diterima pula wahyu Wewarah Tujuh. Kejadian ini sama halnya dengan gambar simbul pribadi manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa papan (Sastra Jendra Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa jawa. Oleh karena tulisan tersebut sebentar kelihatan dan sebentar menghilang seperti menerima simbul Sapta Darma tadi, maka dibagilah tugas untuk menulisnya. Sersan Diman menulis Wewarah 1 sampai dengan 4, sedangkan Bapak Danoemihardjo menulis 5 sampai 7. Setelah ditulis diserahkanlah kepada Bapak Hardjosapoero, Djojosadji dan Bapak Marto untuk dicocokkannya.

Setelah diterima wahyu simbul Sapta Darma dan Wewarah Tujuh, hari itu juga masih diterima lagi wahyu Sesanti yang bunyi lengkapnya seperi berikut: “Ing Ngendi bae marang sapa bae Warga Sapta Darma Kudu sumuar pinda baskara”. Dengan diterimanya wahyu simbul Sapta Darma, Wewarah Tujuh dan Sesanti oleh Bapak Hardjosapoero, penerimaan ajaran ini semakin memperjelas para pengikutnya. Sejak hari itulah baru dimengerti bahwa sujud yang dilaksanakan oleh Bapak Hardjosapoero dan para sahabatnya, sebagai perilaku pendekatan pribadi (hidup) manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa, adalah Sujud Sapta Darma.


Menjelmanya sebuah Ajaran, dan Perkembangan

Dari fenomena dan kejadian-kejadian aneh yang dipaparkan di atas, Keyakinan akan sebuah petunjuk dan termasuk juga tugas berat, semakin mendalam bagi Bapak Hardjosapoero dan sahabat-sahabatnya, setelah diterimanya wahyu-wahyu Sapta Darma bertambah lengkap, dank e depannya menjadi ajaran ibadah kelompok ini:
  1. Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara ritual sujud/ menyembah kepada Tuhan (Allah Hyang Maha Kuasa) bagi Warga Sapta Darma.
  2. Wahyu Racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.
  3. Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.
  4. Wewarah Tujuh, merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam Wewarah Tujuh tersebut tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi.
  5. Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus bermakna dan berguna bagi sesama umat/ membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning lian).

Selanjutnya semakin hari semakin bertambah orang-orang yang menjalankan ajaran Sapta Darma. Apa yang diterima Bapak Hardjosapoero ternyata belum berakhir, karena pada tanggal 27 Desember 1955 jam 24.00, beliau menerima wahyu Gelar Sri Gutama yang berarti Pelopor Budi Luhur dan selaku Panutan Agung, yang ditandai hujan lebat semalam suntuk.

Setelah seluruh ajaran yang diterima genap, maka dalam pengembangan ajaran Sapta Darma itu dilakukan dengan jalan penyembuhan, dimana pada saat itu dengan Sabda WARAS, setiap warga yang saat itu menjalankan sujud Sapta Darma dapat menyembuhkan masyarakat yang sakit. Inilah awal mula perkembangan ajaran Sapta Darma, yaitu dari mereka yang telah disembuhkan maupun yang ingin menjalani sendiri (bukan karena sakit). Sejak tahun 1956 itulah ajaran Sapta Darma merambah ke luar dari Pare, Kediri Jawa Timur menuju daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sumatera dan Kalimantan.

Tiga dasar/pegangan yang diberikan oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama kepada para warga yang bersedia menyebarkan ajaran Sujud Sapta Darma adalah:
  1. Yakin akan kebenaran terhadap ajaran Sapta Darma itu berdasarkan wahyu,
  2. Harus didasari dengan kesucian hati, kejujuran dan tanpa adanya pamrih apa saja untuk kepentingan pribadi.
  3. Kebulatan tekad ketabahan hati serta tahan uji dari segala rintangan yang mungkin terjadi.

Setelah ajaran Sapta Darma berkembang luas di mana-mana, maka untuk adanya keseragaman dan kemurnian ajaran Sapta Darma, di tiap-tiap daerah yang sudah banyak warganya oleh Panutan Agung ditunjuk adanya Tuntunan yaitu warga yang diberi tugas sebagai penanggung jawab terhadap perkembangannya maupun kelangsungan pembinaan para warga di daerah-daerah di tingkat kabupaten dan karisedenan pada waktu itu.
Rupanya tugas Panutan Agung Sri Gutama telah digariskan Allah Hyang Maha Kuasa karena setelah 12 tahun penerimaan wahyu ajaran Sapta Darma sampai berkembang di bumi, tepat pada tanggal 16 Desember 1964, pada hari Rabu jam 12.00 di rumah kediamannya, Bapak Hardjosapoero meninggal dunia. Sesuai dengan pesannya sebelum wafat bahwa ketika meninggal dunia agar jenasahnya diperabukan dan dilarung ke laut. Maksud dari permintaannya adalah dikhawatirkan apabila jenasahnya dikubur atau dimakamkan lalu makamnya dipuja-puja oleh warganya. Beliau menjelaskan sebelumnya bahwa memuja-muja makam/kuburan adalah suatu kepercayaan yang sesat dan hal itu dilarang dalam ajaran Sapta Darma. Dengan demikian abu jenasahnya dihanyutkan di pantai Kenjeran, Surabaya pada tanggal 19 Desember 1964.

Setelah meninggalnya Bapak Hardjosapoero yang dikenal sebagai Panutan Agung Sri Gutama, ajaran Sapta Darma tetap berjalan dan berkembang pesat dibawah bimbingan dan tuntunan Ibu Sri Pawenang yang bernama asli Soewartini Martodihardjo, seorang Sarjana Hukum, alumnus Universitas Gadjah Mada yang telah mengikuti dan menghayati ajaran Sapta Darma sejak tahun 1956. Pada mulanya Ibu Soewartini yang berstatus mahasiswa, mengenal Sapta Darma karena rasa ingin mengetahui lebih jauh dan ingin membuktikan bahwa ada orang yang mampu menyembuhkan orang sakit dengan sabda Waras. Tetapi saat itulah Ibu Soewartini bertemu langsung dengan Bapak Hadjosapoero mengenai ajarannya dan ditawari untuk melakukan penelitian dan sejak itulah Ibu Soewartini selalu mengikuti membantu Bapak Hardjosapoero sebagai Panutan Agung Sri Gutama dalam menyebarkan ajaran tersebut.

Puncak dari penghayatan Ibu Soewartini adalah pada tanggal 30 April 1957 hari selasa Kliwon dalam perjalanan ke Kediri, Trenggalek dan Blitar, beliau menerima gelar Sri Pawenang. Yaitu sebagai Juru Bicara Panutan Agung dan juga dikukuhkan sebagai Panuntun Wanita, maka sejak itulah Ibu Soewartini disebut sebagai Sri Pawenang. Beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1996. Setelah itu untuk tetap menjalankan ajaran Sapta Darma, diadakanlah Sarasehan Agung Luar Biasa Para Tuntunan pada tanggal 10-12 Juli 1996 dengan keputusan dibentuknya lembaga Pelaksana Tuntunan Agung, yang bertugas melanjutkan tugas dalam membina para warga untuk menghayati ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Perkembangan Ajaran Sapto Darma sampai saat ini, tidak hanya berkembang di wilayah Indonesia namun di luar negeripun sudah mulai berkembang. Saat ini Pusat Ajaran Sapta Darma berada di Sanggar Candi Sapta Rengga – Surokarsan Mg. II/472 Yogyakarta. Dan di setiap daerah ada tempat beribadah sebagai cabang, yakni Sanggar Candi Busono yang tersebar di seluruh cabang di Indonesia, bahkan di luar negeri


Ajaran Pokok Sapto Darmo

1. Tujuh Kewajiban Suci (Sapto Darmo)
Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut juga 7 Wewarah Suci, yaitu:
  1. Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
  2. Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
  3. Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
  4. Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
  5. Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
  6. Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
  7. Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).

2. Panca Sifat Manusia
Menurut Sapto Darmo, manusia harus memiliki 5 (lima) sifat dasar yaitu:
  1. Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
  2. Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
  3. Berperasaan dan bertindak adil.
  4. Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
  5. Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.

3. Konsep tentang Alam
Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adalah meliputi 3 alam:
  1. Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
  2. Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam maknanya mendekati alam akhirat.
  3. Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.

4. Konsep Peribadatan
Konsep ibadah dalam Sapto Darmo tercermin pada ajaran mereka tentang Sujud Dasar. Sujud Dasar terdiri dari tiga kali sujud menghadap ke Timur. Sikap duduk dengan kepala ditundukkan sampai ke tanah, mengikuti gerak naik sperma yakni dari tulang tungging ke ubun-ubun melalui tulang belakang, kemudian turun kembali. Amalan seperti itu dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam sehari semalam, pengikut Sapto Darmo diwajibkan melakukan Sujud Dasar sebanyak 1 kali, sedang selebihnya dinilai sebagai keutamaan.

5. Menyatu dengan Tuhan
Sebagai hasil dari amalan Sujud Dasar, mereka meyakini dapat menyatu dengan Tuhan dan dapat menerima wahyu tentang hal-hal ghaib. Mereka juga meyakini, orang yang sudah menyatu dengan Tuhan bisa memiliki kekuatan besar (dahsyat) yang disebut sebagai atom berjiwa, akal menjadi cerdas, dan dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit.

6. Hening
Hening adalah salah satu ajaran Sapto Darmo yang dilakukan dengan cara menenangkan semua fikiran seraya mengucapkan, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rahim, Allah Hyang Maha Adil. Orang yang berhasil dalam melakukan hening akan dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, antara lain:
(1) dapat melihat dan mengetahui keluarga yang tempatnya jauh,
(2) dapat melihat arwah leluhur yang sudah meninggal,
(3) dapat mendeteksi suatu perbuatan, jadi dikerjakan atau tidak,
(4) dapat mengirim atau menerima telegram rasa,
(5) dapat melihat tempat yang angker untuk dihilangkan keangkerannya,
(6) dapat menerima wahyu atau berita ghaib.

7. Racut.
Racut adalah ajaran dan praktek dalam Sapto Darmo yang intinya adalah usaha untuk memisahkan rasa, fikiran, atau ruh dari jasad tubuhnya untuk menghadap Allah, kemudian setelah tujuan yang diinginkan selesai lalu kembali ke tubuh asalnya.
Caranya yaitu setelah melakukan sujud dasar, kemudian membungkukkan badan dan tidur membujur Timur-Barat dengan kepala di bagian timur, posisi tangan dalam keadaan bersedekap di atas dada (sedekap saluku tunggal) dan harus mengosongkan pikiran. Kondisi tubuh di mana akal dan fikirannya kosong sementara ruh berjalan-jalan itulah yang dituju dalam racut, atau disebut juga kondisi mati sajroning urip.

8 Simbol-Simbol
Ada empat simbol pokok, yaitu:
(1) Gambar segi empat, yang menggambarkan manusia seutuhnya,
(2) Warna dasar pada gambar segi empat, yaitu hijau muda yang melambangkan sinar cahaya Allah,
(3) Empat sabuk lingkaran dengan warna yang berbeda-beda, hitam melambangkan nafsu lauwamah, merah melambangkan nafsu ammarah, kuning melambangkan nafsu sauwiyah, dan putih melambangkan nafsu muthmainnah;
(4) Vignette Semar (gambar arsir Semar) melambangkan budi luhur. Genggaman tangan kiri melambangkan roh suci, pusaka semar melambangkan punya kekuatan sabda suci, dan kain kampuh berlipat lima (wiron limo) melambangkan taat pada Pancasila Allah.


Sapta Darma dalam Hubungannya dengan Masyarakat dan Negara

Selama penyebarannya Ibu Soewartini dianggap bagi Warga Sapta Darma yang juga turut berperan serta dalam membantu Pemerintah Indonesia, bahkan pada era itu, Ibu Soewartini Martodihardjo, SH menjabat selaku anggota Majelis Permusyawaratn Rakyat Republik Indonesia yang mewakili kelompok penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini menurut warga Sapta Darma merupakan bentuk kepedulian terhadap keadaan negara dan juga merupakan salah satu kiprah dari pengalaman (darma) yang tercantum dalam Wewarah Tujuh.

Untuk menindaklanjuti fatwa Panutan Agung Sri Gutama mengenai pendanaan untuk menunjang kegiatan para Tuntunan, maka dengan akta nomor 23 yang dibuat dihadapan Notaris Wiranto, SH, pada tanggal 17 Maret 1959 didirikan Yayasan Srati Darma atau disingkat YASRAD, di mana perkembangannya sangat pesat dan memberikan manfaat besar bagi pelaksanaan ajaran Kerokhanian Sapta Darma.

Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 5, maka Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka menyebutnya aliran kepercayaan. Pusat dari ajaran Sapto Darmo ini adalah di Yogyakarta (Sanggar Candi Sapta Rengga) sebagai kiblat dan pusat ibadah. Dengan adanya ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan yaitu Undang-undang No.8 tahun 1958 maka berdasarkan putusan Sarasehan Agung Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1986 dibentuklah suatu wadah untuk menghimpun dan membina warga serta Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma yang bernama Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA). PERSADA merupakan merupakan organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya berorientasi di bidang rohani (spiritual). Dengan adanya PERSADA, maka untuk selanjutnya yang berhubungan dengan pihak luar yaitu Instansi Pemerintah, agama dan juga ajaran-ajaran kepercayaan lainnya. Hal ini merupakan bentuk tindak lanjut dari keinginan untuk tetap menunjukkan eksistensi kerokhanian ajaran Sapta Darma bagi para warga Sapta Darma, karena disadari bahwa Sapta Darma belum mendapat pengakuan secara penuh dari negara maupun sebagian masyarakat terhadap keberadaannya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi warga Sapta Darma tidak melihat perbedaan kepercayaan dan keyakinan maupun hubungan antara sesama manusia dengan kepentingan dan asal-usul yang berbeda sebagai sebuah penghalang atau hambatan dalam menanamkan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Sebagaimana dari pengalaman-pengalaman perjalanan Warga Sapta Darma dalam penyebaran ajarannya sering mengalami berbagai tekanan dalam pemahaman yang dianggap sepihak oleh pihak-pihak tertentu. Semisal dalam beberapa waktu lalu terjadi penyerangan terhadap Sanggar (tempat ibadah) warga Sapta Darma. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam kepercayaan dan keyakinan di Indonesia belum dapat dimaknai secara baik oleh warga negara. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya keretakan hubungan antara sesama.

Apa yang dialami oleh warga Sapto Darmo inilah yang dapat kita katakan sebagai kelompok subaltern. Subaltern menurut Gayatri Spivak, dimaksukan adalah subjek yang tertekan. Menurutnya subaltern memiliki dua karakteristik penting. Pertama, adanya penekanan dan kedua, di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Fenomena inilah yang dapat dilihat bagaimana sebuah penekanan dan proses pendisriminasian yang dialami Warga Sapto Darmo selama ini.

Kasus lainnya misalnya kesulitan yang dialami warga Sapto Darma mendapatkan perlakuan dalam hal pelayanan publik seperti pengurusan KTP, pernikahan yang sah menurut negara, kartu keluarga, belum lagi cibiran dan pandangan sebagian masyarakat di luar kelompok ini yang bersifat negatif, di cap aliran sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah beberapa tragedi penyerangan sekelompok Ormas terhadap para penghayat ajaran ini, seperti banyak terjadi di berbagai daerah semisal Klaten, Semarang, Pati dan di Jogjakarta sendiri semisal yang terjadi di Perengkembar, Gamping Sleman, tahun 2008 silam. Kasus lain adalah tidak diterimanya jenazah penghayat ketika meninggal oleh penduduk setempat, sampai yang sudah dikuburpun, harus dibongkar dan dipindahkan seperti terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Adapula beberapa kasus yang dialami dalam jajaran birokrasi yang mempermasalahkan Ajaran Sapta Darma ketika berurusan dengan masalah jabatan dan kenaikan kepangkatan/golongan pegawai negeri sipil.

Hal tersebut memang agak berkurang setelah keluarnya UU no. 23/2006 yang cukup mengakomodasi kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, sehingga mulai di akomodirnya kebutuhan mereka, salah satunya di KTP mereka di tulis agama lain-lain bahkan dalam kasus tertentu langsung ditulis agama Sapta Darma, yang sebelumnya mereka dimasukkan ke dalam salah satu agama yang diakui negara. Namun diakui informan, proses subordinasi sampai saat ini masih dirasakan dan sering terjadi, walaupun tidak sebanyak dulu.

Beberapa pengakuan yang diakui oleh informan, seperti bukti KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang dalam identitasnya telah ditulis agama Sapta Darma merupakan sebuah upaya yang tidaklah mudah dalam prosesnya, karena Sapta Darma yang belum diakui oleh negara sebagai salah satu agama. Sementara warga Sapta Darma lainnya, dalam identitas KTP nya ditulis lain-lain.

Bagi para warga Sapta Darma, mengimplementasikan ajaran yang sesuai dengan ajaran yang diterimanya (sebagaimana tercantum dalam wewarah tujuh) sebagai pedoman hidup tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan pada umumnya yang menganjurkan kebersamaan dan kejujuran dalam kehidupan. Namun perlakuan yang diskriminatif yang dirasakan selama ini tentunya bagian dari cobaan dalam kehidupan yang begitu plural/majemuk.

Jaminan yang tercantum dalam konstitusi kita yang menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan/keyakinan belumlah dapat dimaknai secara keseluruhan. Walaupun agama yang diakui negara sudah ditetapkan, namun kepercayaan lain yang dimiliki atau diyakini oleh masyarakat lainnya pun tidak kalah penting untuk dihormati selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai bangsa dan negara ini. Bangsa Indonesia yang kaya akan pluralitas ini belum mampu memahami akan pluralitasnya, sehingga dalam tataran tertentu menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi pemerintah menafikkan keadaan mereka dalam negara ini, dengan tidak mengakomodir kebutuhan mereka sebagai warga negara. Terjadi proses diskriminasi dalam urusan-urusan publik yang justru menjadi kebutuhan nyata bagi mereka. Harapan mereka hanya ingin ketentrama dan kedamaian dalam menjalankan keyakinannya dan kebutuhan sebagai warga negara tercukupi. Oleh karena itulah mereka butuh pengakuan Negara serta pengakuan masyarakat sehingga hubungan kemanusiaan antar sesama seperti yang dianjurkan oleh semua kalangan dapat tercapai.

Sebuah Renungan
Fakta-fakta dari studi sederhana kami menunjukkan bahwa kegagapan kita sebagai masyarakat dan juga negara. Kita mengklaim bahwa kita adalah negara yang sangat multi dalam segala apapun, dari mulai budaya, keyakinan, ras, dan identitas lainnya, tapi pada kenyataannya kita masih gagap untuk merespon kenyataan perbedaan itu. Klaim kebenaran bahwa hanya identitas Aku dan Kamilah yang paling benar, coba mengidentifikasikan kelompok kita berbeda dengan kelompok lainnya (otherness), melalui kategori-kategori pembeda tertentu (sense of difference). Keyakinan bahwa kelompok lainnya itu tidak baik dalam pandangan kelompok kita. Bahkan yang lebih fatal lagi adalah kelompok lain bukan manusia utuh seperti kelompok kita, sehingga kasus ditolaknya zenajah seseorang yang dianggap berbeda dengan komunitasnya bukan lagi isu yang aneh.

Kalau kita pikirkan lebih jauh lagi, kelompok-kelompok tertentu yang dominan cenderung menghilangkan identitas-identitas lainnya yang dianggapnya kecil dan tidak penting. Keyakinan ini justru menjadi penyebab utama mengukur kebaikan, kebenaran dan kelayakan dalam konteks hubungan social-kemasyarakatan lewat aturan, norma, identitas atau standar-standar lainnya lewat identitas dominan tersebut. Bagimana kita melihat FPI melakukan pengrusakan tempat-tempat ibadah dari Sapto Darmo semisal kasus di Jogjakarta, Klaten, Magelang, Semarang dan lainnya karena menganggap Sapto Darmo sebagai aliran sesat. Hal ini terjadi dikarenakan standar kebenaran yang digunakan adalah standar dari Islam, atau mungkin pemahaman Islam yang dihayati oleh FPI. Namun tidak melihat bahwa dalam konteks ke-Indonesiaa yang multikultur hal tersebut sulit untuk dicari pembenarannya. Padahal Sapto Darmo muncul tahun 1950-an jauh sebelum munculnya Ormas FPI.

Hal lain yang menjadi pelajaran kita dari kasus pelayanan dan pengakuan negara dalam kasus di atas adalah terkesannya negara menutup akses bagi salah satu kelompok warga negara yang memiliki keyakinan tertentu. Secara otomatis negara mau meniadakan identitas tersebut. Hal ini jelas sebuah penghianatan atas rakyat dalam konteks masyarakat multikulturalisme. Bagaimana mungkin negara menutup akses seseorang butuh pengakuan lewat ID card kependudukan, Kartu Keluarga. Selain itu juga mengalami kesulitan dalam kebutuhan-kebutuhan lainnya semisal menikah, memiliki barang-barang atau kekayaan tertentu yang membutuhkan pencatatan sipil. Persoalan pembeda keyakinan terhadap Tuhan ini membawa malapetaka yang justru berdampak besar, sehingga dalam banyak kasus mereka dipaksa untuk dimasukkan dalam salah satu agama yang establish dan diakui negara.

Dari kasus dan perenungan di atas, sudah saatnya tawaran akan pentingnya kewarganegaraan multikultur, di mana kesetaraan bisa dicapai justru dengan memberikan hak-hak yang berbeda, khususnya dari aspek kultural pada kelompok-kelompok sosial tertentu, semisal Sapto Darmo ini. Core yang harus menjadi perhatian utama adalah pengakuan terhadap hak-hak kolektif pada kelompok-kelompok yang sudah ada, terutama minoritas kebudayaan tertentu di negeri ini. Ujung-ujungnya adalah legitimasi dan pengakuan negara, tidak hanya persoalan redistribusi saja. Hal ini dilakukan dalam kerangka melestarikan khazanah atau keunikan-keunikan dari identitas negara ini. Terima kasih.


Ajaran Kejawen Sapto Darmo dalam Pandangan Islam
By: Usup Supriyadi

1. Tujuh Kewajiban Suci (Sapto Darmo)

  1. Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
  2. Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
  3. Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
  4. Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
  5. Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
  6. Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
  7. Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).

Telaah:
Dalam sudut pandang aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, ajaran Sapto Darmo hanya berisi keimanan kepada Allah sebatas beriman terhadap Rububiyah Allah, itupun dengan pemahaman yang salah. Rububiyah Allah hanya difahami sebatas lima sifat (Pancasila Allah) yaitu Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Padahal sifat Rububiyah Allah itu banyak sekali (tidak terbatas dengan bilangan).
Keimanan secara benar terhadap Rububiyah Allah saja belum menjamin kebenaran Iman atau Islam seseorang.

Inti ajaran Sapto Darmo hanya mengajarkan iman kepada Allah saja. Hal itu menunjukkan batilnya ajaran Sapto Darmo dalam pandangan Islam. Aqidah Islam memerintahkan untuk mengimani enam perkara yang dikenal dengan rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk. al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi4 dalam menjelaskan rukun iman mengatakan; “Perkara-perkara tersebut adalah termasuk rukun iman.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya; demikian pula orang-orang yang beriman; mereka semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” (QS. al-Baqarah : 285)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi.” (QS. al-Baqarah : 177)

Maka, keimanan yang dikehendaki oleh Allah adalah iman kepada semua perkara tersebut. Dan orang yang beriman kepada perkara-perkara tersebut dinamakan mukmin, surgalah balasan baginya. Sedangkan yang mengingkari perkara-perkara tersebut dinamakan kafir dan neraka jahannamlah tempat kembali yang pantas untuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka Kami sediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Fath :13)

Dan dalam sebuah hadits yang keshahihannya tidak diperselisihkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril ‘alaihis-salam kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang arti iman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Bahwa keimanan itu adalah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk.”

2. Panca Sifat Manusia
a.       Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
b.      Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
c.       Berperasaan dan bertindak adil.
d.      Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
e.       Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.

Telaah:
Salah satu dari ajaran Sapto Darmo dalam Panca Sifat Manusia adalah bahwa hanya ruhani manusia yang berasal dari sinar cahaya Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.
Dalam pandangan Islam keyakinan seperti ini sangat bathil. Sebab semua yang ada di alam semesta ini selain Allah adalah makhluk, dan semua makhluk adalah tidak kekal, termasuk juga manusia, baik ruhnya maupun jasadnya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari tanah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat ash-Shaffat yang artinya::
 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. ash-Shaffat :11)

Dalam ayat lain disebutkan bahwa manusia diciptakan dari at-thin (tanah), sebagaimana dikatakan oleh Iblis laknatullahu ‘alaihi ketika menolak bersujud kepada Adam ‘alaihis-salam, ia berdalih yanga artinya:
“Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah.” (QS. al-A’raf : 12)

Karena manusia itu makhluk, maka baik ruh maupun jasadnya tidak ada yang abadi.
Keyakinan Sapto Darmo tentang keabadian ruh manusia muncul dari anggapan mereka bahwa pada diri manusia terdapat ‘persatuan dua unsur’ yaitu unsur jasmani (dari tanah) dan unsur ruhani (yang mereka dakwakan sebagai cahaya Allah yang abadi). Dalam terminologi kebatinan hal itu disebut dengan ajaran Panteisme, yakni bersatunya unsur Tuhan (Laahut) dan unsur manusia (Naasut).

Terhadap pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu abadi, al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi menjelaskan; “Dikatakan bahwa ruh itu azali (qadim). Padahal para Rasul telah bersepakat bahwa ruh itu baru, makhluk, diciptakan, dipelihara, dan diurus. Ini adalah perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama bahwa alam itu baru (muhdats). Para sahabat dan tabi’in juga memahami yang seperti ini kecuali setelah muncul pemikiran yang bersumber dari orang yang dangkal pemahamannya terhadap al-Qur’an dan As-Sunnah lalu menyangka bahwa ruh itu qadim. Dia berhujjah bahwa ruh itu termasuk urusan Allah (min amrillah) sedangkan amrullah bukan makhluk karena di-idhafah-kan kepada Allah seperti ‘ilmu, qudrah, sama’, bashar’, dan tangan. Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah telah sepakat bahwa ruh itu makhluk. Diantara ulama yang menyebutkan tentang ijma’ tersebut adalah Muhammad bin Nashr al-Muruziy, Ibnu Qutaibah, dan lainnya. Adapun dalil bahwa ruh itu makhluk adalah firman Allah Ta’ala:
Artinya; ‘Allah-lah Pencipta segala sesuatu.’ (Q.S. Az Zumar: 62)”

Dalam alenia berikutnya Beliau melanjutkan keterangannya; “Allah Ta’ala adalah Al-Ilah yang memiliki sifat kesempurnaan. Maka ilmu-Nya, Kekuasaan-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan semua sifat-sifat-Nya termasuk dalam sebutan nama-Nya. Maka Dia, Allah Subhanahu, Dzat maupun Sifat-Nya adalah Pencipta (Al-Khaliq) dan selain Dia adalah makhluk. Dan telah difahami secara qath’iy bahwa ruh itu bukan Allah dan bukan pula salah satu dari sifat Allah melainkan salah satu dari ciptaan-Nya.” Adapun terkait dengan penisbatan (idhafah) ruh kepada Allah maka Beliau menjelaskan; “Perlu diketahui bahwa penisbatan kepada Allah ada dua macam:
Pertama: Penisbatan sifat yang menyatu dengan dzat Allah seperti ilmu, qudrah, kalam, sama’, dan bashar. Maka penisbatan ini adalah penisbatan sifat kepada yang disifati (idhafatu shifah ila maushuf). Oleh karena itu ilmu, kalam, sama’, dan bashar adalah sifat
Allah. Demikian juga wajah dan tangan Allah.
Kedua: Penisbatan dzat yang terpisah (munfashilah) dari Allah seperti rumah, hamba, Rasul, dan ruh. Maka penisbatan rumah, hamba, rasul, dan ruh kepada Allah adalah penisbatan makhluk kepada Pencipta-Nya.”

3. Konsep Kitab Suci
Kitab suci penganut Sapto Darmo adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yang tidak lain adalah pendirinya itu sendiri, Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab ini merupakan wahyu dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah.

Telaah:
Itu berarti bahwa ‘kitab suci’ tersebut baru, lahir sekitar 40 tahun yang lalu. Bagaimana kalau dikembalikan kepada ajaran Islam? Aqidah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup kenabian dan kerasulan. Dan al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala; karena tidaklah kitab suci itu diturunkan melainkan melalui para Rasul; dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab : 40)
Dengan meyakini kitab suci yang dibuat sekitar 40 tahun itu berarti sama saja dengan mengingkari Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Itu berarti ajaran ini secara tidak langsung mengakui dan menetapkan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu ajaran seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

4. Konsep tentang Alam
a.   Alam Wajar, yaitu alam dunia sekarang ini.
b.   Alam Abadi, yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam maknanya mendekati alam akhirat.
c.   Alam Halus, yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.

Telaah:
Aliran Sapto Darmo meyakini adanya alam halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan atau berkeliaran karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Kata mereka, roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.

Aqidah Islam tidak mengenal alam yang demikian itu. Setelah manusia meninggal dunia (bagaimanapun cara meninggalnya) maka selanjutnya ia berada dalam suatu alam yang disebut dengan alam kubur atau alam barzakh, sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi. “Ketahuilah, bahwa adzab kubur adalah adzab barzakh. Semua orang yang mati dalam keadaan membawa dosa berhak mendapat adzab sesuai dengan dosa yang dilakukannya, baik jasadnya dikuburkan, dimakan serigala, terbakar sehingga menjadi abu, melayang-layang di angkasa, disalib, atau tenggelam di lautan. Adzab kubur akan dirasakan oleh si mati dengan jasad dan ruh-nya, meski jasadnya tidak terkubur. Hal-hal ghaib yang berkaitan dengan bagaimana duduknya orang yang mati ketika di kubur, seperti apa tulang rusuknya, dan hal-hal yang semacamnya, maka wajib kita pahami (yakini) sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah; tidak boleh kita menambah-nambah ataupun menguranginya.”

Terkait dengan alam, Ibnu Abil ‘Izzi pada alenia berikutnya menjelaskan; “Kesimpulannya adalah bahwa alam itu ada tiga, alam dunia (dar ad-dunya), alam barzakh (dar al-barzakh), dan alam akhirat (dar al-qarar). Allah telah memberlakukan hukum-hukum tertentu bagi tiap-tiap alam tersebut, dan manusia (jasad maupun ruh) akan berjalan sesuai dengan hukum tersebut. Allah menjadikan hukum-hukum dunia berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di dunia. Demikian juga; Allah menjadikan hukum-hukum di alam barzakh berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di alam barzakh. Kemudian, tatkala datang hari dibangkitkannya semua jasad dan manusia dari kubur mereka, maka akan berlakulah hukum-hukum yang ada di sana; pemberian pahala dan siksa, juga kepada ruh dan jasad secara bersama-sama.”

5. Konsep Peribadatan
Konsep ibadah dalam Sapto Darmo tercermin pada ajaran mereka tentang “Sujud Dasar”. Sujud Dasar terdiri dari tiga kali sujud menghadap ke Timur. Sikap duduk dengan kepala ditundukkan sampai ke tanah, mengikuti gerak naik sperma yakni dari tulang tungging ke ubun-ubun melalui tulang belakang, kemudian turun kembali. Amalan seperti itu dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam sehari semalam, pengikut Sapto Darmo diwajibkan melakukan Sujud Dasar sebanyak 1 kali, sedang selebihnya dinilai sebagai keutamaan.

Telaah:
Konsep peribadatan Sapto Darmo tercermin dalam ajaran ‘Sujud Dasar’ yang pengikutnya diwajibkan satu kali dalam sehari semalam. Dari konsep ini diketahui bahwa Sapto Darmo tidak semata-mata berupa ajaran moral atau etika, tetapi aliran ini disamping memiliki sistem aqidah; juga memiliki sistem ibadah tersendiri yang semuanya bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu tidak perlu kaget kalau mendengar penganut aliran ini menolak untuk melaksanakan shalat karena memang mereka mempunyai sistem ibadah (shalat) tersendiri. Pada hakikatnya, penolakan mereka terhadap shalat sudah cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam barisan orang-orang di luar Islam (kafir).

Dalil-dalil tentang kafirnya orang yang menolak shalat dapat kita temui di banyak perkataan dan tulisan para ulama’, diantaranya dijelaskan oleh Sayid Sabiq1 sebagai berikut; “Orang yang meninggalkan shalat karena menolak dan mengingkari akan kewajibannya berarti kufur dan keluar dari agama Islam menurut ijma’ kaum muslimin.”

Padahal, orang yang meninggalkan shalat, tetapi masih mengimani dan meyakini kewajibannya, karena malas, lalai atau alasan-alasan lain yang tidak syar’i, terdapat hadits-hadits yang menjelaskan akan perintah untuk membunuhnya (baik karena anggapan kekafirannya atau sebagai hukuman atas keengganannya melaksanakan kewajiban). Hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut ialah:

Pertama, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pembatas seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kedua, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya pengikat antara kami dan mereka adalah shalat; maka barangsiapa meninggalkan shalat berarti telah kafir.” (HR. Ahmad dan Ashabus-Sunan)
Ketiga, dari ‘Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa suatu hari ia berbicara tentang masalah shalat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memelihara shalat maka baginya cahaya, petunjuk, dan keselamatan di Hari Kiamat. Dan barangsiapa tidak memelihara shalat maka tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan di Hari Kiamat; dan kelak dia akan dikumpulkan dengan Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Hibban, sanadnya jayyid)

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang tidak memelihara shalat (umumnya) dilalaikan oleh harta, kekuasaan, jabatan, atau bisnis. Barangsiapa yang lalai karena harta maka ia akan bersama dengan Qarun; barangsiapa yang lalai karena kekuasaan maka ia akan bersama dengan Fir’aun; barangsiapa yang lalai karena jabatan maka ia akan bersama dengan Haman; dan barangsiapa yang lalai karena bisnis maka ia akan bersama dengan Ubay bin Khalaf.”

Persoalan lain disamping menolak shalat adalah mereka juga memiliki sistem peribadatan tersendiri. Dengan memiliki sistem peribadatan tersendiri, mereka itu selain telah merampas hak Allah, juga terjerumus ke dalam perbuatan syirik, yaitu Syirik Uluhiyah. Mengenai hal itu, terdapat riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Muadz bin Jabal berkata: “Aku membonceng Nabi mengendarai himar lalu Nabi bertanya kepadaku: ‘Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah?’ Saya jawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Kemudian Rasulullah menjelaskan: ‘Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzabnya sepanjang ia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu’”

6. Menyatu dengan Tuhan
Sebagai hasil dari amalan Sujud Dasar, mereka meyakini dapat menyatu dengan Tuhan dan dapat menerima wahyu tentang hal-hal ghaib. Mereka juga meyakini, orang yang sudah menyatu dengan Tuhan bisa memiliki kekuatan besar (dahsyat) yang disebut sebagai atom berjiwa, akal menjadi cerdas, dan dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit.

Telaah:
Ajaran ini secara prinsip sama dengan ajaran hulul yang banyak dikembangkan oleh orang-orang rusak dari kalangan tasawuf seperti al-Hallaj. Bedanya, kalau kalangan tasawuf menganggap kondisi bersekutunya Tuhan dengan manusia merupakan buah dari dzikir yang mencapai klimaks, sedangkan menurut Sapto Darmo kondisi itu merupakan buah dari keberhasilan Sujud Dasar.

7. Hening
Hening adalah salah satu ajaran Sapto Darmo yang dilakukan dengan cara menenangkan semua fikiran seraya mengucapkan, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rahim, Allah Hyang Maha Adil. Orang yang berhasil dalam melakukan hening akan dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, antara lain:
(1) dapat melihat dan mengetahui keluarga yang tempatnya jauh,
(2) dapat melihat arwah leluhur yang sudah meninggal,
(3) dapat mendeteksi suatu perbuatan, jadi dikerjakan atau tidak,
(4) dapat mengirim atau menerima telegram rasa,
(5) dapat melihat tempat yang angker untuk dihilangkan keangkerannya,
(6) dapat menerima wahyu atau berita ghaib.

Telaah:
Hasil dari ritual ‘hening’ seperti yang disebutkan di atas semuanya adalah takhayul dan khurafat, bahkan sebagiannya termasuk syirik. Dapat melihat keadaan keluarga yang jauh, mengirim telegram rasa, dan yang sejenisnya merupakan hal-hal yang tidak ada dasarnya baik dari dasar wahyu (dalil naqli) maupun dasar rasional (dalil aqli).
Kemudian, hasil ‘hening’ yang berupa kemampuan menerima wahyu dan dapat melihat arwah leluhur yang telah meninggal, tidak diragukan merupakan suatu bentuk khurafat dan kesyirikan. Termasuk hal yang sudah diketahui dengan pasti bahwa wahyu itu hanya diberikan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul, tidak diberikan kepada sembarang orang, dan tidak bisa diusahakan dengan amalan-amalan tertentu.

8. Racut
Racut adalah ajaran dan praktek dalam Sapto Darmo yang intinya adalah usaha untuk memisahkan rasa, fikiran, atau ruh dari jasad tubuhnya untuk menghadap Allah, kemudian setelah tujuan yang diinginkan selesai lalu kembali ke tubuh asalnya.
Caranya yaitu setelah melakukan sujud dasar, kemudian membungkukkan badan dan tidur membujur Timur-Barat dengan kepala di bagian timur, posisi tangan dalam keadaan bersedekap di atas dada (sedekap saluku tunggal) dan harus mengosongkan pikiran. Kondisi tubuh di mana akal dan fikirannya kosong sementara ruh berjalan-jalan itulah yang dituju dalam racut, atau disebut juga kondisi mati sajroning urip.

Telaah:
Ajaran racut sebagaimana diajarkan oleh Sapto Darmo tidak dikenal dalam Islam. Terpisahnya ruh dari jasad hanya ada pada saat manusia meninggal dunia. Karena persoalan ruh adalah persoalan ghaib, maka manusia tidak akan dapat mengetahuinya kecuali Allah dan orang-orang yang diberitahu oleh Allah lewat wahyu, itupun hanya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan mereka bertanya tentang ruh3; katakanlah, ‘Ruh itu urusan Tuhanku dan tidaklah kalian diberitahu akan hal itu kecuali hanya sedikit.’” (QS. al-Isra’ : 85)

Sebagian dari mereka berdalih bahwa ajaran yang demikian ada dalam Islam dan didasarkan dari peristiwa mi’raj (naik) Nabi dalam peristiwa isra’ mi’raj. Mereka beranggapan Nabi dalam mi’raj hanya ruh-nya saja, tidak disertai jasadnya.
Dalam hal ini Ahlus-Sunnah meyakini bahwa dalam peristiwa isra’ mi’raj, Nabi melakukannya baik dengan ruh maupun jasadnya. Imam Thahawiy menjelaskan bahwa al-Mi’raj adalah hak, dan sungguh Nabi telah di-isra’-kan dan di-mi’raj-kan dengan jasadnya dalam keadaan sadar (terjaga) ke langit, kemudian ke tempat yang dikehendaki oleh Allah.”

Dalam syarahnya, al-Allamah Abil Izziy mengatakan bahwa; “Kata al-mi’raj dari wazan mif ‘alun berasal dari kata al-’uruj artinya alat untuk naik, yang berada di suatu tempat yang aman, akan tetapi tidak diketahui tentang bagaimananya, sedang hukumnya sama seperti hukum perkara-perkara ghaib yang lain dimana kita mengimani tanpa mempertanyakan bagaimananya.” Terhadap pandangan yang mengatakan bahwa Nabi isra’ dan mi’raj lewat mimpi atau hanya ruhnya saja, Beliau menjelaskan; “Dari hadits isra’ diketahui bahwa Nabi melakukan isra’ dan mi’raj dengan jasadnya dan dalam keadaan sadar (terjaga) dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha dengan mengendarai Buraq6. Lalu naik ke Langit kesatu sampai ke Langit ketujuh, lalu naik ke Sidratul-Muntaha, kemudian naik lagi ke Baitul-Ma’mur. Kemudian naik menghadap Allah untuk menerima perintah shalat 50 waktu yang akhirnya menjadi shalat lima waktu.”

Ahlus-Sunnah juga meyakini bahwa peristiwa isra’ mi’raj merupakan mukjizat dari Allah kepada Nabi Muhammad dengan tujuan untuk menunjukkan betapa dahsyatnya kebesaran Allah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yang artinya:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil-Haram ke al-Masjidil-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ : 1)

Mukjizat itu hanya diberikan kepada para Nabi atau Rasul dan tidak diberikan kepada semua orang.

9. Simbol-Simbol

Telaah:
Penggunaan simbol-simbol khususnya vignette Semar oleh Sapto Darmo menunjukkan bahwa ajaran ini bersumber dari ajaran Hindu. Jadi jelas bathil, dan mana ada istilah dan tokoh SEMAR dalam sejarah Islam? Mana pula ada para Rasul, sahabat Nabi atau tokoh Islam yang namanya Semar? Seorang muslim sejati tidak dibenarkan mengambil ajaran agama lain sebagai pegangan walaupun sebagian. Hal demikian dilarang oleh Allah dan tertolak. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima agama tersebut dan di akhirat nanti dia tergolong orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85)

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesesatan/kekufuran ajaran Sapto Darmo sebagai berikut:
  1. Mereka meyakini adanya sesuatu –yang mereka anggap Tuhan– tetapi bukan Allah, walaupun mereka menggunakan sebutan Allah dalam Pancasila Allah.
  2. Mereka tidak beriman kepada Malaikat, para Rasul, Kitab-kitab, Hari Akhir, dan Takdir.
  3. Mereka memiliki ‘kitab suci’ sendiri dan tidak beriman kepada al-Qur’an.
  4. Mereka memiliki sistem peribadatan sendiri.
  5. Mereka tidak membedakan antara wahyu dengan bisikan syetan.
  6. Ajaran mereka banyak bersumber dari ajaran Hindu.

Anggapan masyarakat bahwa ajaran Kejawen Sapto Darmo merupakan sekte atau bagian dari Islam dengan memberikan label Islam Kejawen adalah anggapan yang sesat dan menyesatkan. Anggapan tersebut banyak didasarkan pada klaim politik yang menyatakan bahwa agama penduduk Indonesia itu adalah 98 % Islam. Islam di sini maksudnya adalah selain Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Aliran Kebatinan yang tidak sedikit jumlahnya itu dalam sensus penduduk dan pembuatan KTP dimasukkan ke dalam Islam. Baru setelah ada TAP MPR yang memberikan legalitas adanya wadah resmi bagi penganut aliran kepercayaan, sebagian mereka keluar dari kelompok Islam, sehingga penduduk yang beragama Islam berkurang (tinggal 90%).

Kejawen Sapto Darmo adalah bukan ajaran Islam dan justru bertentangan dengan ajaran Islam. Akan lebih tepat dikatakan bahwa Kejawen Sapto Darmo termasuk salah satu sekte dari ajaran Hindu, persisnya Hindu Jawa.
Wallahu a’lam bish-shawab.


Cita-cita Kerohanian Sapta Darma

Kerohanian Sapta Darma mempunyai tujuan luhur yaitu hendak menghayu-hayu bahagianya bawana. Antara lain membimbing manusia untuk mencapai suatu kebahagiaan hidup di dunia maupun di alam langgeng. Tentang inti sari tujuan/cita-cita ajaran Kerohanian Sapta Darma adalah sebagai berikut:

Menanamkan tebalnya kepercayaan, dengan menunjukkan bukti-bukti serta persaksian bahwa, sesungguhnya Allah itu ada dan tunggal (esa) serta memiliki lima sila (sikap perwujudan kehendak) yang mutlak, yaitu: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Menguasai alam semesta beserta isinya yang terjadi. Oleh karenanya manusia wajib mengagungkan Asma Allah, serta setia dan tawakal menjalankan segala perintahnya.

Melatih kesempurnaan sujud, yaitu berbaktinya manusia kepada Hyang Maha Kuasa. Mencapai keluhuran budi dengan cara-cara yang mudah dan sederhana, dapat dilakukan oleh semua umat manusia.

Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, mencapai nafsu, budi dan pakerti yang menuju pada keluhuran dan keutamaan guna bekal hidupnya di dunia dan di alam langgeng.

Mengajarkan warganya untuk dapat mengatur hidupnya , mengingat hidup manusia di dunia adalah rohaniah dan jasmaniah.

Menjalankan wewarah tujuh yang dilandasi melatih kesempurnaan sujudnya.

Membrantas kepercayaan akan takhayul dalam segala macam bentuk dan manifestasinya. Kerohanian Sapta Darma mengajarkan kepada manusia untuk melakukan/mengagungkan Allah Hyang Maha Kuasa, serta menyadari bahwa manusia adalah makluk yang tertinggi martabatnya, dimana hidupnya ada dalam kekuasaanNya. Dilarang keras mengagungkan batu, kayu, serta mengkeramatkan segala hasil karya manusia biasa. Dilarang mengagungkan serta minta pertolongan roh penasaran, jin, setan dan sebaginya.






Apakah Itu Sapta Darma?

Manusia, Kemanusiaan dan Tuhannya.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dicapai oleh manusia modern dewasa ini sungguh sangat mencengangkan, khususnya pemenuhan manusia akan kebutuhan jasmaniahnya (dunia materi). Sedangkan kemajuan spritual ataupun kesempurnaan jiwa dan rohani tidaklah seimbang. Padahal rohani dan jiwa adalah motor penggerak daripada segala tingkah laku dan perbuatan yang tampak pada tindakan sehari-hari. Ketidak seimbangan tersebut membuat manusia menuju pada kehancuran.

Suatu kenyataan bahwa kepercayaan (kebatinan, kejiwaan dan kerohanian) bagi bangsa Indonesia telah merupakan suatu naluri dan dapat merupakan kebudayaan kita yang akhir-akhir ini dikalangan generasi muda kabur dan kurang mendapat perhatian.

Kerohanian Sapta Darma adalah suatu ajaran murni wahyu alam yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama yang nama aslinya bernama Bapak Hardjosapuro dari desa Pare, Kediri Propinsi Jawa Timur. Sapta Darma diturunkan untuk mengembalikan akhlak manusia dan memberikan pepadang kepada sekalian umat menuju kebudiluhuran. Sapta Darma mempunyai tujuan untuk memayu hayuning bahagianya buana artinya membimbing hidup manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat (mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani). Wahyu-wahyu yang diterima tersebut adalah: Wahyu Sujud, Wahyu Racut,  Wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Wahyu Sesanti. Pada mulanya Ajaran Sapta Darma diturunkan dalam bahasa Jawa, dan dalam perkembangannya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Manfaat dan Gunanya Sujud
Apabila penelitian sujudnya telah sempurna yaitu sujud yang dilakukan dengan kesungguhan, maksudnya dalam melaksanakan sujud jangan sampai sujud wadag atau sujud kemauan atau hanya ikut-ikutan saja (rubuh-rubuh gedang), karena bila demikian sujudnya kurang mempunyai arti.

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila didalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari atau air putih/suci berasal dari sari-sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang dimakan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (cetik/silit kodok/brutu). Bila bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali, kekuatan ini disebut Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia.

Daya/kekuatan ini berguna untuk: memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh, menentramkan/menindas nafsu angkara murka, mencerdaskan pikiran, memiliki kewaskitaan misalnya kewaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa. Bila telah memusat di ubun-ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah-perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan-tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).

Syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan / penyempurnaan budi pakerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari-hari.
Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi pemeluk yang sudah mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. Atom tersebut digunakan untuk prikemanusiaan ialah menolong orang yang sakit.

Sujud dan Penjelasannya
Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud). Bila sujud dilakukan di Sanggar, dapat dilakukan bersama-sama dengan Tuntunan dan dapat sewaktu-waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan.

Sikap duduk
Duduk tegak menghadap ke timur (timur/kawitan/asal), artinya diwaktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan didepan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa.

Tangan bersidakep, yang kanan diluar dan yang kiri didalam.
Selanjutnya menentramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar (mori) yang terletak + satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Setelah merasa tenang dan tentram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas, selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai di kepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin:

“Allah Hyang Maha Agung,
Allah Hyang Maha Rokhim,
Allah Hyang Maha Adil”

Bila Kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah terkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air suci (sari) yang ada ditulang ekor (brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan diikuti terus (bukan karena kemauan tapi karena rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar, setelah dahi menyentuh lantai dalam batin mengucap:

“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (3 kali)

Setelah mengucapkan, kepala diangkat perlahan-lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula.

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut diatas, sehingga dahi menyentuh kain sanggar lagi. Setelah dahi menyentuh kain sanggar di dalam batin mengucap:

“Kesalahannya Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa” (3 kali)

Dengan perlahan-lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut diatas sampai dahi menyentuh kain sanggar yang ke-3 kalinya.
Kemudian dalam batin mengucap:

“Hyang Maha Suci bertobat Hyang Maha Kuasa” (3 kali).

Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi, baru kemudian sujud selesai.

Maksud dari pengucapan Allah Hyang Maha Agung, Rokhim, Adil adalah mengagungkan dan meluhurkan nama Allah serta mengingat akan sifat keluhuran Allah.
Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa. Hyang Maha Suci ialah sebutan bagi roh suci seorang manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh manusia.

Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam semesta termasuk segala isinya baik rohaniah maupun jasmaniahnya. Sujud berarti penyerahan diri pada Hyang Maha Kuasa atau menyembah Hyang Maha Kuasa. Berarti Roh Suci kita menyerahkan purbawasesa pada Hyang Maha Kuasa.

Kesalahannya Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa maksudnya: setelah meneliti dan menyadari kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) setiap harinya, maka selalu Roh Suci mohon ampun padaNya akan segala dosa-dosa tersebut.

Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa artinya; penelitian pada kesadaran akan dosa setiap harinya, maka setelah mohon ampun lalu bertobat berusaha untuk tidak berbuat kesalahan/dosa lagi.


Materi Ajaran Kerohanian Sapta Darma
Inti dan pengertian Ajaran Kerohanian Sapta Darma didapat melalui Penelitian Sujud.
Sujud Asal Mula Manusia sebagai sarana untuk menghayati dan mendalami seluk beluk kehidupan jagad pribadi dan jagad raya/alam semesta. Penguasaan dan pengertian Getaran meliputi: Getaran Kasar, Getaran Halus, Getaran Hyang Maha Suci dan Getaran Hyang Maha Kuasa. Sapta Rengga. Babakan Hawa Sanga. Pudak Sinumpet. Pernafasan Tiga.

Racut, yaitu Hyang Maha Suci kita sowan kepada Hyang Maha Kuasa untuk menerima wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Wejangan Duabelas
Wejangan 1: penundukan saudara 12. Di kerohanian Sapta Darma dikenal dengan saudara 12 yang menemani hidup kita sejak lahir sampai mati, 12 saudara tersebut mempunyai sifat, watak/karakter yang berbeda-beda.
Wejangan 2: Wasiat tiga puluh tiga.
Wejangan 3: Pesta.
Wejangan 4: Naik kuda sembrani.
Wejangan 5: Perbintangan.
Wejangan 6: Tesing Dumadi Manusia.
Wejangan 7: Tali Rasa.
Wejangan 8: Saudara 12 jejer sama.
Wejangan 9: Manusia mati dikubur dalam tanah.
Wejangan 10: Manusia mati/melihat peralatan yang rusak.
Wejangan 11: Manusia mati sampai ke alam baka (kehidupan manusia setelah mati)
Wejangan 12: Tutug Jejer Satrio Utomo.


Simbol Pribadi Manusia
Gambar diatas adalah Simbol Pribadi Manusia yang melambangkan asal, sifat dari pribadi manusia yang wahyunya diterima tgl. 12 Juli 1954, jam 11 siang, dimana pada saat itu ada bayangan sinar berwujud gambar yang bergerak-gerak diatas meja, sedang gambar yang lain menempel di dinding rumah Bapak Panuntun Agung Sri Gutama dan sempat disaksikan pula oleh tetangga dan masyarakat yang kebetulan melewati rumahnya. Begitu berhasil digambar oleh pengikut Sri Gutama maka gambar tersebut menghilang.

Maksud dan makna simbol tersebut adalah:
Bentuk segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia, yaitu:
a. Sudut puncak: Sinar Cahaya Allah.
b. Sudut bawah: Sari-sari bumi.
c. Sudut kanan dan kiri: Perantara ayah dan ibu.

Tepi belah ketupat yang berwarna hijau tua, menggambarkan wadag (raga) manusia.
Dasar warna hijau muda (maya), merupakan gambar Sinar Cahaya Tuhan. Berarti bahwa didalam wadag/raga manusia diliputi Sinar cahaya Allah.

Segi tiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas menunjukkan asal terjadinya (dumadi) manusia dari tri tunggal, ialah :
a. Sudut atas: sinar Cahaya Allah (nur Cahaya),
b. Sudut kanan bawah: Air sarinya Bapak (Nur Rasa),
c. Sudut kiri: air sarinya Ibu (Nur Buat).

Warna putih menunjukkan bahwa asal manusia dari barang yang suci/bersih baik luar maupun dalamnya. Sedangkan garis kuning emas yang ada ditepi segitiga mempunyai arti bahwa ketiganya asal manusia tersebut mengandung Sinar Cahaya Allah.

Segi tiga sama sisi yang tertutup lingkaran warna hitam, merah, kuning, putih, tersebut membentuk tiga buah segitiga sama sisi pula yang masing-masing segi tiga mempunyai 3 sudut sehingga 3 segitiga jumlahnya ada 9 sudut ini melambangkan bahwa manusia memiliki 9 lobang (babahan hawa sanga) yang terdiri dari mata ada 2 lubang, hidung 2 lubang, telinga 2 lubang, mulut 1 lubang, kemaluan 1 lubang, pembuangan/pelepasan 1 lubang.

Lingkaran melambangan keadaan manusia yang selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan) dimana manusia akan kembali ke asalnya, rohani kembali kepada Hyang Maha Kuasa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia, sedang jasmaninya kembali ke bumi. Lingkaran hitam melambangkan, bahwa manusia memiliki nafsu angkara, nafsu ini berasal dari hawa hitam, karena mempunyai getaran yang beku, wujudnya antara lain berupa kata-kata yang kotor, pikiran, dan kemauan yang jelek dan seterusnya. Lingkaran merah melambangkan bahwa manusia memiliki nafsu amarah. Lingkaran Kuning melambangkan nafsu keinginan yang timbul karena indera penglihatan. Lingkaran putih melambangkan nafsu kesucian/perbuatan yang suci. Besar kecilnya lingkaran melambangkan besar kecilnya 4 sifat tersebut.

Lingkaran putih ditutup gambar Semar, ini melambangkan lubang ke 10 yang tertutup (Pudak Sinumpet) yang letaknya di ubun-ubun.

Warna putih pada gambar Semar melambangkan Nur Cahaya atau Nur Putih, Nur Petak ialah Hawa Suci (Hyang Maha Suci) dimana hanya Hyang Maha Sucilah yang mampu berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa, caranya dengan menyatukan rasa di ubun-ubun hingga terwujud Nur Putih. Gambar Semar juga melambangkan Budi Luhur.

Gambar Semar menunjuk dengan jari telunjuk, melambangkan memberikan petunjuk pada manusia bahwa hanya ada satu sesembahan yaitu Allah Hyang Maha Kuasa. Semar menggenggam tangan kirinya mengkiaskan bahwa ia telah memiliki keluhuran. Semar pakai kelintingan suatu tanda agar orang mendengar bila telah dibunyikan. Semar memakai pusaka menunjukkan bahwa tutur katanya (sabdanya) selalu suci. Lipatan kainnya 5 menunjukkan bahwa Semar telah memiliki dan dapat menjalani lima sifat Allah : Agung, Rokhim, Adil, Wasesa, dan Langgeng.

Tulisan dengan huruf Jawa: Nafsu, Budi, Pakerti, pada dasar hijau maya. Artinya memberi petunjuk bahwa manusia memiliki nafsu budi dan pakerti baik yang luhur maupun rendah/asor atau yang baik maupun yang buruk.

Tulisan Sapta Darma berarti: Sapta berarti tujuh, Darma berarti amal kewajiban suci, maka dari itu warga Sapta Darma wajib menjalankan isi wewarah tujuh seperti yang dikehendaki Hyang Maha Kuasa.

Dengan mengetahui asal manusia dan isi yang ada didalam tubuh manusia yang harus dimengerti serta harus diusahakan oleh manusia demi tercapainya keluhuran budi pakerti sesuai dengan Wewarah Ajaran Kerohanian Sapta Darma.
Sesanti

Sesanti sebagai Visi Warga Kerohanian Sapta Darma, yang isinya: ''Ing ngendi bae marang sopo bae wargo Sapto Darmo kudu sumunar pindo baskoro ''. (Dimana saja, kepada siapa saja warga Sapta Darma harus bersinar laksana surya)


Penyembuhan di Jalan Tuhan
Penyembuhan orang sakit yang dilakukan oleh warga Kerohanian Sapta Darma adalah penyembuhan dijalan Tuhan. Artinya melakukan penyembuhan itu dilaksanakan atas kuasa dan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Hyang Maha Kuasa.

Bagi warga Sapta Darma diwajibkan pula menolong mengobati pada sekalian umat manusia yang sedang sakit apabila diperlukan. Pertolongan dalam hal ini dilarang sama sekali untuk mengharapkan balas jasa, baik berupa apa saja selain berdasarkan atas cinta dan kasih atau belas kasihan.

Cara-cara Penyembuhan adalah dengan Sabda Waras. Dengan hening sambil memandangi bagian tubuh si pasien, meluhurkan Asma Allah: Allah Hyang Maha agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil dan apabila ada getaran di pucuk lidah lalu menyabda Waras. Bagi mereka yang sakitnya telah menahun/kronis, terutama yang mengidap penyakit dalam sebaiknya mereka dituntuni sujud yang sungguh-sungguh. Bagi mereka yang sakit lumpuh atau badannya sakit maka dilakukan dengan cara mengguyar simpul-simpul tali rasanya, lalu dengan hening dan meluhurkan Asma Allah lalu disabda Waras.


Tukar Hawa, Olah Rasa dan Racut
Tukar Hawa, adalah suatu usaha/tindakan yang dilakukan untuk melepaskan/menghilangkan kelelahan. Serta sehabis melakukan perjalanan jauh dan sebagainya. Caranya: tidur terlentang membujur ke timur (kepala di timur) kedua tangan lurus disamping badan, telapak tangan menghadap ke atas (seluruh badan dalam keada an kendor). Pikiran serta angan-angan ditenangkan atau (dihentikan aktifitasnya). Ini dilakukan selama 10 sampai 15 menit kemudian dihentikan lalu mandi (bila keadaan mengijinkan baik pula mandi dengan air hangat).

Dalam tukar hawa ini hawa getaran yang telah digunakan keluar/dikeluarkan melalui pori-pori kulit serta ubun-ubun, dan berganti/diganti dengan hawa yang baru (segar atau bersih). Dengan demikian akan terasa bagaikan telah istirahat berjam-jam lamanya. Badan menjadi segar bugar, kekuatan kembali sedia kala.

Olah rasa adalah suatu usaha/tindakan mengadakan penelitian jalannya rasa dan getaran yang meliputi seluruh tubuh. Caranya: sehabis melakukan sujud dasar (sujud wajib), ditambah satu bungkukan lagi dan mengucap dalam batin minta geraknya rasa. Lalu seperti pada tukar hawa semua pakaian yang menekan dikendorkan. Selanjutnya melakukan pemusatan, untuk merasakan (meneliti)jalannya getaran dari telapak kaki yang merambat perlahan-lahan dan halus sekali meliputi seluruh tubuh.

Meneliti rasa yang berjalan merambat perlahan melalui seluruh tubuh, sampai pada bagian tubuh yang dalam serta halus. Juga merasakan jalannya darah serta denyutnya jantung, keluar masuknya hawa yang baik melalui hidung maupun yang melalui pori-pori. Hal tersebut semua, bila dilatih serta dilakukan dengan kesabaran serta ketelitian,maka dengan ening kita dapat juga mengetahui bagaimana jalannya sari-sari, getaran-getaran yang merata melalui seluruh tubuh serta denyutnya jantung.

Racut adalah memisahkan rasa dengan perasaan, dengan tujuan menyatukan diri dengan sinar sentral atau Roh Suci bersatu dengan sinar sentral. Ini berarti waktu Racut dapat digunakan menghadapkan Hyang Maha Suci ke hadirat Hyang Maha Kuasa. Jadi selagi kita masih hidup di dunia ini, supaya dapat menyaksikan tempat dimana kelak bila kita kembali ke alam abadi atau surga. Maka sewaktu Racut kita dapat mengetahui roh kita sendiri naik ke alam Abadi (alam Langgeng atau surga) menghadap Hyang Maha Kuasa.

Caranya: setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar) maka sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin: “Hyang Maha Suci Menghadap Hyang Maha Kuasa.“  Kemudian berbaring dalam sikap olah rasa hanya saja kedua tangan dilipat (bersidakep), telapak tangan kanan ditumpangkan (diletakkan) di atas telapak tangan kiri menghadap ke bawah, dan diletakkan diatas tali rasa (tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua di dada dibawah pertemuan kedua tulang selangka). Segala kegiatan pikiran dan angan-angan dan sebagainya dihentikan. Mengingat Racut adalah pekerjaan yang rumit maka memerlukan latihan yang penuh kesabaran, dengan ketelitian dan kesungguhan serta ketekunan.

Ening (Samadi)
Yang dimaksud dengan ening (samadi) adalah: menentramkan pikiran/pangrasa yang beraneka warna angan-angan dan sebagainya. Dengan demikian meskipun badan bergerak asal hal di atas telah dilakukan maka dapat dikatakan seseorang telah ening.

Sebaliknya meskipun tubuh kelihatan tenang tetapi pikiran dan angan-angan dan sebagainya masih kesana kemari, maka belum dapat dikatakan orang itu telah ening.
Ening/samadi pada Kerohanian Sapta Darma tak diperkenankan dipakai untuk main-main, sebab dalam hal ini dilakukan dengan menyebut/meluhurkan Asma Allah.

Diperkenankan ening bila melakukan pekerjaan/tugas yang luhur misalnya:
a.             Menerima perintah-perintah dari Hyang Maha Kuasa yang berupa isyarat-isyarat /tanda-tanda, gegambaran-gegambaran, tulisan tanpa papan (sastra jendra hayuningrat).
b.            Memeriksa arwah orang tua/nenek moyang yang telah meninggal, bagaimana keadaannya sudahkah diterima di hadirat/sisi Hyang Maha Kuasa atau belum. Bila masih dalam alam pasiksaan maka kita lakukan sujud untuk memohonkan ampun dan bertobatnya arwah tersebut akan segala dosanya yang dilakukan semasih hidupnya di dunia.
c.             Melihat tempat-tempat yang wingit (keramat = angker) dimana penghuni tempat itu banyak menganggu manusia. Kalau ada roh-roh yang masih sesat dimohonkan ampun pada Hyang Maha Kuasa agar dapat ditempatkan ditempat yang semestinya, serta supaya tidak lagi melakukan gangguan kepada manusia.

Ening dapat juga untuk mendahului segala tindakan atau tutur kata dengan maksud melatih kesabaran dan sifat yang berhati-hati, mencapai kebijaksanaan. Ening berguna untuk melihat saudara/keluarga yang jauh bagaimana keadaannya.


Sujud Penggalian Intisari Ajaran Kerohanian Sapta Darma
Sujud Penggalian adalah sujud Penelitian, Sujud yang sempurna, yang pernah diwejangkan / diajarkan di dalam sarasehan Agung Tuntunan Sapta Darma, dalam rangka peringatan Dasa Warsa (10 tahun ) Sapta Darma pada tanggal 27 s/d 29 Desember 1962 oleh Panuntun Agung Sri Gutama di Jl. Stasiun No. 35 Kediri, Jawa Timur. Wejangan Panuntun Agung Sri Gutama tersebut disebut Wejangan Pudak Sinumpet, yang telah dimuat sepenuhnya/ selengkapnya di dalam buku dasa warsa.

Untuk mengetrapkan Sujud Penggalian yang sesuai dengan buku Dasa Warsa dan agar ajaran ini segera dikuasai oleh para Tuntunan, maka Bapak Panuntun Agung Sri Gutama pada tanggal 1 s/d 8 Febroari 1964, bertempat di sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta, telah berusaha menyelenggarakan Sujud Penggalian yang diikuti oleh para Tuntunan Kerohanian Sapta Darma se Jawa.

Dari sujud Penggalian inti sari Ajaran Sapta Darma, para Tuntunan telah dibekali dengan kembang cempaka sewakul-wakul besarnya. Suatu modal Ajaran Adiluhung yang dapat dan mampu mewujudkan kemuliaan Nusa dan Bangsa kita serta umat manusia seluruh dunia, sehingga bangsa kita jadi contoh bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Suatu hal yang harus kita ketahui untuk kita yakini tentang kebenarannya, ialah Wejangan Bapak Panuntun Agung Sri Gutama dalam Penutupan Sujud Penggalian, yang antara lain dijelaskan bahwasannya mempelajari dan melaksanakan Ajaran/Ilmu Sapta Darma dapat mencakup segala bidang aspek kehidupan manusia antara lain :

Kita bisa bertindak selaku dokter, dengan Sabda Usada, ialah penyembuhan di jalan Tuhan kita dapat menolong orang-orang yang menderita sakit. Kita bertindak selaku Sarjana Hukum, Dengan radar alat kewaspadaan / kewaskitaan atas tuntunan Allah Hyang Maha Kuasa, kita dapat menentukan benar atau salah segala persoalan. Kita bertindak selaku Insinyur, dapat menciptakan manusia yang mempunyai nafsu, budi dan pakerti yang luhur penuh dengan kewaspadaan dan kewaskitaan yang disertai dengan peralatan modern misalnya: radar, antena, gelombang dan lain sebagainya yang ada dalam pribadi manusia itu sendiri.

Kita bertindak sebagai Sastrawan. Dengan kewaskitaan loro-loroning atunggal ialah kumpulnya sari-sari rasa dan sari-sari rasa diwejang cahaya, dapat menimbulkan / mencetuskan kata-kata yang tepat dan benar (sabda dadi). Bisa bertindak selaku Pujangga, dengan dasar kita bisa mengetahui jangka alam dan jangka pribadi.

Sujud Penggalian adalah penelitian sujud yang sempurna dengan tujuan sebagai berikut:
  1. Meningkatkan mutu rohani para Tuntunan dan warga Sapta Darma.
  2. Menyempurnakan pengabdian kepada Allah Hyang Maha Kuasa dan kepada sesama umat.
  3. Membentuk satria utama yang berbudi luhur berkepribadiaan dan berkewaspadaan yang tinggi, itulah manusia yang dapat memayu-hayuning buana.

Tata caranya ditulis dalam buku Pedoman Penggalian Pribadi Manusia, antara lainnya:
1.      Penggalian ini dilakukan bersama-sama warga Sapta Darma di sanggar-sanggar dibawah bimbingan / asuhan seorang atau beberapa Tuntunan yang sudah pernah menggali (melakukan penggalian) dan berhasil. Disamping ada juga beberapa Pengawas guna mengawasi para warga yang sedang melakukan sujud penggalian.
2.      Penggalian dilakukan selama 12 malam berturut-turut atau dilakukan atau dilakukan siang dan malam selama 6 hari.
3.      Jumlah warga penggali satu kelompok terdiri dari 12 orang warga/peserta, disesuaikan dengan besar kecilnya tempat sanggar.
4.      Penelitian sujud disesuaikan dengan materi ajaran (lihat materi ajaran).


Pengembangan Ajaran
Sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah Hyang Maha Kuasa, yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama, penyebaran ajaran Kerohanian Sapta Darma diawali dengan peruwatan-peruwatan terhadap tempat-tempat tertentu di seluruh Indonesia (Nusantara). Tempat tersebut dianggap keramat/angker yang dikeramatkan oleh orang-orang yang sesat pula.

Peruwatan tujuannya untuk menghambarkan atau membersihkan tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut, agar tidak dihuni oleh roh-roh sesat dimohonkan ampun atas dosanya, agar diterima Allah Hyang Maha Kuasa.

Penyebaran ini berarti juga:
  1. Memohonkan ampun arwah leluhur yang masih terhenti di alam halus karena dilumpur dosa, agar mendapat ampun dan jalan yang benar sehingga bisa kembali ke asalnya ke alam langgeng diterima Allah Hyang Maha Kuasa (Mikul Dhuwur Mendem Jero Marang Wong Tuwo lan Leluhure).
  2. Menunjukkan jalan yang benar, agar prilaku manusia hanya menyembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa, bukan kepada tempat-tempat keramat dan kepada sesama manusia.
  3. Supaya saling mencintai sesama umat manusia, sehingga tindak sosialnya tidak kepada roh-roh sesat melainkan kepada umat manusia yang memerlukan.
  4. Berdarma kepada sesama umat manusia atas dasar cinta dan kasih dapat mewujudkan kehidupan yang sehat jasmani dan rohani.
  5. Meluruskan dalam usaha mengembalikan budi luhur manusia dan bangsa Indonesia sesuai dengan budaya Pribadi Bangsa Indonesia.
  6. Segera terwujudnya keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya.

Disamping melakukan peruwatan seperti hal tersebut diatas, penyebaran ajaran dan pengembangannya juga dilakukan dengan ceramah-ceramah, sarasehan serta melakukan pertolongan penyembuhan di Jalan Tuhan yaitu dengan Sabda Usada.


Pembinaan
Usaha pembinaan warga Sapta Darma, didirikanlah sanggar sebagai sarana tempat melakukan aktifitas warga. Sanggar Candi Busono: yaitu sanggar-sanggar yang ada didaerah-daerah diseluruh pelosok Nusantara baik sanggar permanen yang dibangun oleh warga secara bergotong-royong maupun sanggar-sanggar yang masih menumpang di rumah warga.
Sanggar Agung Candi Busono: adalah sanggar yang ada di desa Pare, Kediri, Jawa Timur, tempat dimana wahyu ajaran Sapta Darma diturunkan dan diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama. Sanggar Agung Candi Sapta Rengga, yaitu sanggar pusat yang berkedudukan di Jl. Surokarsan Mg. II / 472, Yogyakarta.


Wejangan Ibu Sri Pawenang
Anak-anakku, rakyatmu pada dewasa ini sedang menghadapi maut, menghadapi kehancuran, maka waspadalah-waspadalah! Anak-anakku, pada engkaulah aku harapkan menjadi pelopor dunia, menjadi contoh bagi umat-umat lainnya, tetapi engkau hambur-hamburkan waktunya, tidak dipergunakan sebaik-baiknya, sayang anak-anakku. Anak-anakku, kenapa masih mengkhawatirkan soal keduniawian? Tidak usah khawatir, bilamana engkau berbakti sungguh-sungguh terhadap Tuhan Hyang Maha Esa, mengabdi dengan suci dan iklas, keduniawian akan melimpah dihadapanmu, maka abdikanlah, tugas lahiriahmu akan terpenuhi. Berjuanglah demi pengabdian kepada Tuhan Hyang Maha Esa, jangan sampai Warga-warga menjadi korban. Para Tuntunan Khususnya, kamu sekalian diuji untuk menilai darmamu.

Kita sekalian betul-betul telah berdosa, karena mestinya pada kesempatan ini kita sekalian telah dapat membawa bekal untuk melaksanakan tugas Allah yang telah ditugaskan kepada kita. Pancasila Allah meresap di dalam hidup umat manusia. Abdikanlah dirimu kepada Hyang Maha Kuasa. Jangankanlah kau selalu merasa khawatir. Dunia ini persediaan untukmu anak-anakku, pergunakanlah sebaik-baiknya. Kamu tiada kekurangan apa-apa, bila kamu betul-betul mengabdi kepada Tuhan. Waspadalah-waspadalah, umat manusia mengalami kehancuran. Tugas Tuntunan jangan kau abaikan.

Anak-anakku ingatlah, Sri Gutama meninggalkanmu tanggal 16 Desember, tanggal 17 Desember Sri Pawenang lahir ditugaskan melanjutkan perjuangan Sri Gutama. Tanggal 27 Desember 1914, Sri Gutama dilahirkan di dunia. Tanggal 27 Desember 1952, Sri Gutama diberikan Wahyu Sujud, karena Sri Gutama belum mempunyai cara-cara Sujud kepada Hyang Maha Kuasa. Sri Gutama dilahirkan untuk memberikan pepadang kepada umat, untuk mengembalikan ajaran Tuhan yang telah dirusak oleh pemeluk-pemeluknya. Maka Sri Gutama laksana sinar yang menyinar laksana surya, menyinari manusia dan makluk-makluk lainnya.

Asal mula manusia dari lima keagungan yang dipunyai Tuhan. Apabila manusia bisa melaksanakan kehendak Tuhan, maka menjadi manusia yang mengerti, berbudi luhur, dapat mengabdi nusa dan bangsa, menghayu-hayu buana. Namun manusia selalu lupa kepada pemberian Tuhan. Maka bila manusia melupakan pemberian Tuhan, manusia akan mengalami kehancuran.

Tanggal 27 Desember 1967 Roh Sri Pawenang naik dipertemukan dengan Sri Gutama. Kami diberi tugas menyampaikan, karena banyak banyak Tuntunan yang masih belum tahu akan tugas-tugasnya. Pesan kami, marilah kita bersama-sama berjuang melaksanakan tugas suci. Pertajamlah senjatamu.

Tahun 1968 Sapta Darma mulai memancarkan cahayanya, dan Tuntunan akan diuji yang gawat, diuji oleh alam sekelilingnya. Memang ini kehendak Tuhan. Maka jagalah jangan warga-warga menjadi korban. Maka apabila ada rintangan simpangilah, hindarilah, memang ini kehendak Tuhan, untuk menilai darmamu. Namun apabila para Tuntunan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya akan terhindar dari bahaya. Maka para Tuntunan sampaikanlah kepada para warga dan Tuntunan yang belum menerima ini.
Tugas jasmani akan terpenuhi jika tugas rokhani kamu dahulukan. Maka bila sebaliknya akan kesukaran dalam hidupnya. Tugas rokhani melaksanakan tugas dari Hyang Maha Kuasa.



Referensi:

(group facebook)
(pasir gadog)