26 Nov 2010

Orang Bingung

By: Pemanti Jenar


Aku tak punya agama
Tapi beriman
Seperti Adam telanjang di tengah padang
Sebelum tanah disekat-sekat dan rumah mewah jadi kebanggan
Agama memepesonaku memang
Tapi keimanan membebaskanku

Dengan gaya humornya yang khas, dai sejuta umat, bapak KH. Zainudin MZ, dalam salam salah satu kaset dakwahnya pernah menyentil soal orang-orang yang tak beragama. Dalam kotbahnya kurang-lebih beliau katakana begini, “Orang ini (orang-orang tak beragama) memandang agama tidaklah lebih dari baju dan celan. Dan karena menurut pandangannya, semua baju dan celana yang dilihatnya itu semua sama baik dan benarnya, orang ini jadi bingung sendiri. Karena kebingungannya itulah, akhirnya orang ini malah pilih tak pakai baju dan celana, alias telanjang!” Semua yang dengar kotbah itupun langsung tertawa, tak terkecuali saya. Tapi saya tertawanya cuma setengah, sebab apa yang dikotbahkan bang Zainudin diatas, menurut saya kebenarannya juga cuma setengah.

Pendapat bang Zainudin yang mengatakan orang-orang tak beragama itu sebagai orang-orang yang telanjang, itu memang benar adanya. Dan bagi saya, pernyataan itu justru saya rasakan sebagai sebuah sanjungan yang membuat besar kepala saya saja. Sebab bukankah semua agama pada dasarnya mengajarkan akan haqiqat diri manusia yang sesungguhnya memang telanjang? La haula quata illa billah {tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah.} Bang Zainudin sendiri ketika pertama kali dilahirkan tentu juga tidak dibawa-pakaian Tuhan, kopiah, baju koko dan sarung, kan? Tapi terlahir telanjang. Begitupun dengan baju/jubah yang pongah-mahal yang sering jadi pertanda status social dan tingkat kesucian moral kita? Tidakkah pada saat-saat mempribadi, baju/jubah kebanggaan kita itu kita tanggalkan juga?

Yesus juga pernah berkotbah, ”Manusia tidak akan pernah bisa masuk surga, jika tidak lebih dulu bisa menjelmakan diri jadi anak kecil.” Anak kecil dimaksud, bukankah artinya polos, jujur, tulus atau telanjang? Budha juga mengajarkan, bagaimana mencapai kebahagiaan nirwana dengan jalan mengatasi ruang-jiwanya dari himpitan benda-benda dan hasrat diri, melalui jalan mengosongkan diri. Telanjang. Ilmu tasawuf yang oleh imam Al-Ghazali dikatakan sebagai ilmu yang tertinggi, begitu kita salami lebih dalam itu ilmu, bukankah disitupun pada akhirnya kita hanya akan ditelanjangi? Dikemabalikan keasal-muasal kita yang seperti bayi suci yang terlahir telanjang.

Jadi entah sadar atau tidak, dalam hal ini secara tidak langsung bang Zainudin sebenarnya telah menyanjung orang-orang tak beragama itu sebagai orang-orang yang telah bisa menempatkan dirinya sebagai hamba Tuhan yang sejati. Orang-orang telanjang yang berarti orang-orang yang telah bisa dan berani bersikap laku jujur dan tulus. Keberanian bertelanjang diri yang dalam orang beragama hanya masih jadi impian serta retorika belaka? Maka disini saya hanya bisa berdo’a, moga ketelanjang diri/kejujuran itu masih jadi mata uang yang berlaku di agama manapun.

Dan ini pendapat bang Zainudin yang saya tidak setuju, yang mengatakan orang-orang tak beragama itu sebagai orang yang bingung. Untuk mudahnya, saya buat gambaran ketika zaman orde baru dulu. Pada saat itu ada dua parpol dan satu golongan, dan kita harus memilih satu diantara ketiga pilihan legal-formal yang ada itu. Sementara diluar ketiga pilihan itu ada partai liar atau golput, orang bilang. Pertanyaannya disini, benarkah golput itu partainya orang bingung? Bingung karena melihat ketiga pilihan diatas itu semua sama baik dan benarnya? Ataukah justru sebaliknya, orang-orang masuk golput itu sebagai sebuah ekspresi kekecewaan dan ketidak puasan dahaga berpolitik mereka dengan ketiga pilihan legal-formal yang ada? Dengan kata lain, orang-orang golput itu sebenarnya orang-orang yang kritis.

Jadi ketika kita menyorot tentang orang-orang yang tak beragama, disitu memang ada dua kemungkinan. Pertama, orang tak beragama karena orang itu memang belum kenal atau tahu agama. Kedua, orang tak beragama karena merasa dahaga rohaninya tak terpuaskan oleh agama-agama yang ada. Seperti fenomena yang terjadi di Eropa dan Amerika dengan apa yang dinamai gerakan new age. Mereka yang mengikuti gerakan ini, umumnya orang-orang dari kalangan menengah keatas. Jadi secarfa ekonomi dan intelektual mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Jadi untuk mendapatkan kitab suci atau pengetahuan agama, bnukanlah hal yang sulit bagi mereka. Tapi karena agama-agama formal-terorganisasi tidak bisa memenuhi akan dahaga rohaninya dan dirasa-pandang sering kurang toleran dengan keyakinan-keyakinan diluarnya. Sebagai konsekwensinya, gerakan new age menjauh dari agama-agama formal, kearah agama-agama timur, agama-agama pribumi Amerika atau keyakinan-keyakinan/kepercayaan yang lebih feminis.

Kembali kesoal orang-orang yang tak beragama. Seperti halnya golput di zaman orde-baru atau gerakan new age di Eropa atau Amerika, itu juga suatu pilihan yang didalamnya juga ada konpensasinya yang menuntut tanggung-jawab dan keberanian bersikap. Apalagi disini mengaku sebagai orang yang tak beragama, tidak masuk mainstream, sangat berat itu tanggung-jawab dan beban mental yang harus diembannya. Salah-salah bisa dituduh kafir, atheis, abangan, klenik, paranormal, PKI dan aneka tuduhan konyol dan ngawur lainnya.

Jadi memang suatu hal yang mustahil, jika ada orang bingung kok punya keberanian bertangung-jawab dan bersikap sebagai dirinya sndiri. Sebab orang bingung itu memang orang yang tidak tahu dan berani jadi dirinya sendiri. Orang bingung itu orang yang ketakutan membuka dan mengakui realita yang dalam diri pribadi dan masyarakatnya. Orang bingung itu orang yang selalu mencari patokan-patokan yang pasti. Kemana angin bertiup, kesitu orang bingung menuju. Orang bingung itu bukab burung bersayap yang bebas terbang kemana, tapi kuda pedati. Dan begitu orang berwibawa/kharismatik datang, orang bingung itu paling mudah untuk dikendalikan.

Diperintah apapun orang bingung tidak akan pernah mempertanyakan apalagi berani membentah. Sekalipun perintah itu hanya bersifat simbolik belaka, seperti panjangkan jenggot dan pakai jubah. Orang bingung pasti akan dengan takzim akan mengikuti itu perintah. Karena pada dasarnya, orang bingung itu memang orang yang mengalami semacam krisis identitas. Mereka butuh identitas, eksistensinya ingin diakui. Maka pakai baju-celana atau simbol-simbol kesucian agamapun menjadi hal yang dianggap sangat penting bagi mereka. Karena corak-warna baju-celana yang mereka kenakan itu akan menunjukkan eksistensinya.

Orang bingung memang akan menemukan semacam ketentraman disitu. Karena terlepas dari keharusan bersikap dan berfikir sendiri. Jadi sikap sectarian dan fanatisme dalam beragama itupun sebenarnya salah satu dari cirri-ciri pribadi yang bingung dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat yang hiruk-pikuk, pluralis dan saling mempengaruhi ini. Sebagai konsekwensi dari kebingungannya itu, akhirnya orang-orang inipun jadi bersikap eksklusif. Jika hal yang demikian ini tidak disertai adanya kesadaran analisa diri dan keberanian berfikir, memang biasa menjerumuskan seseorang pada sikap-sikap yang ekstrem. Pandanganya jadi simplistic, membeku, dogmatis dan tak punya lagi kerendahan hati, yang ada justru rendah diri. Dan sudah menjadi pemandangan yang umum, untuk menutupi rasa rendah diri atau keminderannya itu, orang itu pasti lalu suka mengagungkan budaya kekerasan dan bersikap over. Berani mati, mengangap diri paling suci, benar dan sempurna sendiri. Sementara diluar diri dan kelompoknya dipandang hanyalah dunia yang sudah rusak tempat orang-orang sesat beranak-pinak. Sampai titik ini, akhirnya religiusitasnya hanyalah lebih banyak didorong oleh semangat berkelompok dan kekecutan hati andai harus kehilangajn arti saja. Takut jadi manusia telanjang!

Dari uraian diatas, disini dapat kita tarik suatu kesimpulan; Pada siapakah sebenarnya kata BINGUNG itu lebih pantas untuk kita kalungkan?

Apa yang mesti aku lakukan.
O, Muslim?
Aku tak mengenal diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim.

Begitulah tulis sufi Muslim besar Jallaludin Rumi, dalam sebuah sajaknya. Dan benarkah sajak diatas mencerminkan kebingungan penulisnya? Ataukah justru sebaliknya menunjukkan akan keluasan wawasan dan kedalaman pemahamannya tentang spiritualitas. Dalam bahasa verbalnya mungkin beliau ingin katakana: ”Tak masalah orang itu mau pakai baju-celana merah, putih atau hitam, yang penting orang itu punya ahklak/iman.”

Hatiku telah mampu untuk setiap bentuk:
Dialah padang bagi kijang dan sebuah biara bagi Nasrani
Dialah pura bagi berhala dan Ka’abah bagi berhaji
Dialah lembar dari Taurat dan kitab Qur’an yang suci

Itulah sepotong sajak dalam “Tarjumah Al-Ashwag” karya sufi Muslim termasyhur, Ibn’Arabi. Yang menyatakan diri sebagai pengikut agama Cinta dan Kasih: “Kemanapun unta-unta cinta itu pergi, kesana pulalah agama dan imanku lekat.”

Benarkah sajak Ibn’Arabi diatas juga hanya menunjukkan akan kebingungan penulisnya yang tak jelas apa agamanya? Ataukah justru sebaliknya, menunjukkan kecerdasan dan kebrlianan spiritual penulisnya? Dalam bahasa verbalnya, mungkin beliau ingin kataka, “komitmen saya pada isi, bukan pada baju dan celan!’

Dengan kata lain, baik Rumi maupun Ibn’Arabi diatas sebenarnya adalah orang-orang besar yang telah bisa mendekati kebenaran hidup yang hakiki, yang didekatinya dengan kepribadian yang menyeluruh, seimbang dan harmonis. Orang-orang yang telah bisa keluar dari kepompong sutra emas agama dan terbang sebagai kupu-kupu indah di taman kemanusian yang utuh. Ukhuwah/kerukuran merekapun jadinya bukan lagi sekedar ukhuwah Islamiyah lagi. Hanya rukun pada sesame Muslim saja. Tapi ukhuwah mereka sudah setingkat lebih tinggi dan luas, yaitu ukhuwah imaniah atau ukhuwah basyariah. Rukun dengan sesama orang beriman dan sesama umat manusia.

Orang tuhan tidak diajar kitab
Orang tuhan diluar kafir dan agama

Begitulah tulis Rumi dalam sebuah sajaknya tentang orang tuhan atau orang beriman. Dan jika anda masih bingung dalam menangkap makna sajak diatas, saya dapat simpulkan, dalam spiritual anda tentu masih berdiri pada tataran keterpesonaan pada ajaran-ajaran agung dan mulia yang ada pada agama saja. Spiritual anda belum sampai disamudera keimanan yang membebaskan dan luasnya tak bertepi. Ajaran agama bisa kita kuasai, tapi keimanan tidak. Dan hanya mereka-mereka yang telah bisa bertelanjang diri yang tahu dan bisa merasakan akan keindahan samudera kasihNya yang tercurah tiada hentinya.


HP: Fungsi agama itu hanya mengajarkan moralitas, budi pekerti pada semua makhluk khususnya pada manusia. Yang intinya sama untuk berbuat baik agar mendapatkan hasil yang lebih baik. Agama tidak seharusnya berurusan dengan lain-lain termasuk Tuhan, surga, neraka, hukum alam atau spiritualitas, sebab untuk urusan itu hendaknya dicari sendiri di dalam diri, sebab orang makan hanya untuk mengenyangkan dirinya sendiri, tidak ada orang makan untuk orang lain kenyang.

MY: Nuwun sewu yo Mas! Saat ini, tidak tahu besok saya merasa jika saya masuk ke salah satu Agama, komunitas Iman, Aliran Ketuhanan, saya kok merasa justru melimitasi saya untuk mengenal TUHAN dengan segala kebesaranNya ya. Apa aku iki dosa nggak yo mas? (Maaf ini curhat jujur dari hati). Matur nuwun!

SK: Dosa itu apa ya? Apakah orang yang tidak beragama seperti saya ini merupakan orang berdosa? Karena selama ini saya kurang begitu puas untuk mengetahui Sejatinya Hidup melalui ajaran Agama. Tujuan hidup yang dicari hanyalah Ayem-Tentrem, Rahayu-Slamet, Begjo lan Mulyo.

HP: Orang sering salah kaprah apa arti dosa. Dosa adalah melakukan tindakan yang berakibat membawa penderitaan, misalnya keinginan untuk mendapat adalah keinginan yang bermata kail, seperti ikan yang senang memakan cacing di kail. Memang pertama kali kesenengan yang didapat, lama-lama akan mencoba lagi merasakan kesenangan itu, lalu ketagiahn, lama-lama melekat. Nah kalau sudah melekat timbulah keserakahan. Di sini kail mulai bekerja, kalau tidak mendapatkan akan timbul kebencian dan mederita.seperti kehidupan saat kita sekarang ini. Tetapi bagi orang yang belum merasa kehidupan saat ini menderita, ya nggak masalah, ya itu haknya dia. Tetapi kalau orang sudah merasa bahwa kehidupan fana ini menderita maka akan paham pengertian logis dosa di atas.

Itulah arti sebenarnya dosa, lha fungsi agama sebenarnya adalah menjelaskan secara logis seperti itu tentang moral tingkah laku manusia yg harus dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan. Tetapi karena nggak sabar, karena penjelasan yang logis itu bagi sebagian orang tidak dapat mempan ya ada yang menakut-nakuti dengan ancaman dan imbalan masuk neraka/surga dsb, padahal konsep itu berlaku bagi orang-orang yang sudah bisa melihat surga dan neraka.

Memang surga/neraka bisa dilihat manusia sekarang ini? Bisa, malah surga dan neraka memang harus dilihat manusia pada waktu manusia masih hidup sebab nggak ada orang mati yang masuk surga kembali memberitahu kita yang masih hidup. Kalau nggak bisa melihat gimana? Ya salah sendiri, seperti contohnya negara Amerika ada, kalau warga Indonesia mau ke sana harus memenuhi syarat-syarat, khusus punya uang untok beli tiket pesawat, bikin paspor, visa dll. Dan seadainya ada warga negara Indonesia yang hingga mati belum pernah melihat dan pergi ke Amrik, ya salah sendiri, he he he ….

Apakah surga itu kekal dan jadi tujuan hidup manusia? Nggak, surga juga alam seperti alam dunia ini tapi cara kehidupannya memang berbeda. Lebih bahagia dan yang namanya alam juga pasti tidak kekal. Wah maaf, jadi ngelantur, ya pokoknya termasuk agama juga menjelaskan bahwa tempat wilayah kita berdiam itu juga ada aturan hukum positif bermasyarakat, misalnya kalau negara menganjurkan warganya beragama ya beragamalah, pilih yang paling cocok. Kalau nggak ada yang cocok gimana? Ya resiko pindah warga negara saja yang membolehkan orang tidak beragama, sebab ada istilah dimana bumi dipijak maka langit harus dijinjing.

Saya tidak mau terjebak dengan konsep Tuhan persona, kemahaan, dan kebesaraNya. Kita lihat yang nyata-nyata saja, konsep mutlak dan kekal. Lihat hukum listrik, ia diakui atau tidak, disembah atau tidak, dimohon/dido’ain atau tidak, ia akan menyetrum setiap orng yang memegangnya dengan tangan telanjang dan kaki menyentuh tanah, nggak peduli orang itu baik atau buruk, dewasa atau anak-anak, orang tahu hukum listrik atau tidak, hukum itu nggak peduli, nyetrum jalan terus, he he he ….

Bersifat mutlak dan kekal seperti api bersifat panas, itu mutlak san kekal. Hukum itu tidak diciptakan dan dimusnahkan, bisa dikatakan hukum alam. Yang paling sering dibicarakan memang hukum perbuatan atau karma. Sulit dibuktikan wong ilmu pengetahuan baru mencapai teori relativitas dan kuantum, masih teori acak. Mau diakui atau tidak hukum perbuatan itu tak peduli tetap jalan. Hukum sebab akibat, jangan sampai meninggalkan pengertian hukum itu. Itulah ilmu tua, kasunyatan.

Ada istilah jawa sopo nandur ngunduh. Kita hidup saat ini adalah akibat hidup sebelumnya yang berproses dan tindakan hidup kita saat ini adalah sebab untuk kehidupan yang akan datang. Jadi keadaan hidup kita saat ini akaibat dari tindakan kita sendiri dikehidupan yang lalu (bukan paham deterministik yaitu sesuatu yang sudah digariskan itu pandangan yang keliru) dan tindakan kita saat ini menentukan untuk kehidupan yang akan datang. Jadi nggak ada alasan untuk iri dengan keadaan orang lain apalgi menyalahkan yang absurd (tuhan). Kalau kita ingin baik berbuatlah baik, ingin rejeki banyak berilah rejeki pada mahkluk lain (beramal), ingin bahagia berilah kebahagian kepada makhluk lain, ingin umur panjang untuk hidup di dunia, berilah kehidupan pada makhluk lain (jangan membunuh), dll.

Tanam padi maka akan tumbuh padi. Kadang orang memanen padi tapi lupa menyisahkan benih untuk ditanam (beramal), bagaimana bisa panen lagi? Janganlah minta tapi memberi maka kita akan menerima. Aneh memang tapi itu hukum perbuatan yang mutlak dan kekal. Makanya jangan sekali-kali meninggalkan pengertian hukum sebab akibat, sebab entar tindakan kita tidak terkontrol. Misalnya menyakiti makhluk lain maka akibatnya pasti kita akan disakiti makhluk lain cuma waktunya kapan yang belum bisa dipecahkan secara ilmu pengetahuan masalah dimensi ruang dan waktu. Yang perlu dipegang lagi yaitu tentang hukum perubahan. Bahwa semua itu hanya berproses perubahan (lihat pembelahan sel/sub atom dalam mikro detik.) Semua akan mengalami perubahan benda-benda termasuk tubuh kita yang kita cintai ini, akan rusak (mati) makanya jangan melekat (kalau ada yang katanya orang sakti dapat menghidupkan orang mati itu, mustahil yang ada hanya menunda kematian. Itu biasa dilakukan para dokter, ha ha ha … Maka jadi orang jawa ada istilah ojo gumunan, sebab semua itu bisa dipelajari.

Tetapi semua yang saya jelaskan diatas hanyalah mengerti secara teori, semuanya harus dipraktekan, dirasakan, dialami sendiri, tidak hanya dengan pikiran tapi dengan kesadaran di dalam kesunyian. Diam tak bereaksi. Jangan orang diam tak beraksi itu dianggap malas, sebab orng diam tak bereaksi (termasuk pikiran tidak bereaksi) memerlukan usaha yang paling besar dari setiap usaha yang pernah dilakukan manusia. Kalau nggak percaya cobalah cukup 30 menit saja, he he he …. Itu akan bermanfaat sekali palagi kalau bisa dilakukan sehari sekali, mudah-mudahan coretan saya menjadikan tidak bingung, kalau malah tambah bingung yang karena mungkin saya yang bodoh, he he he ….

MY: Seandainya dalam perumpamaan sopo nandur ngunduh.(siapa yang menanam akan panen), menanam padi akan panen padi, menanam jagung akan panen jagung, itu kalau bisa penen!

Lha seumpama menanam padi, dirawat, dijaga, dipupuk, nggak taunya menjelang panen malah diserang wereng, bagaimana ini? Apa ya masih akan panen padi? Apa Cuma dapet jerami saja? Paling tidak akan dapat pengalaman sebagai guru yang terbaik, dimana nantinya bisa dimengerti bagaimana caranya agar tidak diserang wereng atau hama yang lain. Maksudnya meskipun tidak jadi mendapatkan harta tetapi masih didapat karya sebagai pengalaman yang selanjutnya akan menjadi bisa.

Ketika menanam dengan harapan akan penen, apakah itu bukan sebuah pamrih dari setiap tindakan? Terus ketika tindakan itu berharap pamrih dimana letak keikhlasan dan ketulusan, dimana letak pepatah sepi ing pamrih?

Coba saksikan dan renungkan, matahari yang mempunyai tugas untuk penerangan dan menghangatkan dunia, maka tidak ada pamrih sama-sekali. Dia akan tetap bersinar terus seperti biasanya, dipikirkan atau tidak, disanjung atau tidak, dan kadang malah dibenci karena panas yang terlalu lama, tetapi tetap akan setiap pagi menampakkan wajahnya yang selalu ceria hingga selesai tugasnya. Sama sekali tidak mengharapkan pamrih dan mengharapkan imbalan dikemudian.

Menawi kepareng kulo matur:

Jalani saja kebaikan karena senang dan cinta terhadap kebaikan itu sendiri, tanpa berharap imbalan, dan tanpa berharap pahala.

Senang dan cinta, denga rasa senang dan cinta di dalam hati, maka ketika melakukan tindakan, disitulah bersemayam sang Pangeran.

Dimana ada cinta, Tuhan bertahta.
Ketika Tuhan bertahta dalam hati yang penuh cinta.
Disitu ada kegembiraan.
Dimana ada kegembiraan.
Di situ ada ketulusan.
Ketika ketulusan mendasari sebuah laku, maka tiada pamrih yang di kejar, dan itulah  Tuhan mbabar jati diri menjadi cinta (semoga).

Matur sembah nuwun!


HP: He he he …. Benar dan enak tutur bahasamu. Tetapi hokum yang saya utarakan itu kekal, orang mau berharap atau tidak, ikhlas atau tidak hukum alam itu tidak pandang bulu, setiap makhluk tidak dapat menghindar darinya. Itu hukum kasunyatan/darma. Kalau menanam padi kemudian kena hama wereng dan nggak panen, karena sudah menanam pasti akan panen, Cuma waktunya yang harus dicari gengan hati yang hening sebab secara ilmu pengetahuan belum bisa dibuktikan. Banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, garam yang rasanya asin (hal jelek) dan air (hal baik), dengan modal hidup sekarang ini garam segenggam dicampur air segelas rasannya tetap masih asin. Kemudian deberi air lagi (perbuatan baik/menanam) segelas, ya rasanya masih asin. Kemudian tambah lagi airnya nanti lama-lama kan tidak asin lagi, tetapi kalau ditambah garam lagi ya asin lagi.

Berbeda dengan orang yang bermodalkan air satu kolam, kemudian diberi garam sesendok, ya tidak akan berasa asin. Tetapi kalau ditambahi terus-terusan ya lama-lama akan asin juga. Mudah-mudahan penjelasan ini dapat dimengerti. He he he ….

Apabila ikhlas melakukan perbuatan untuk perbuatan itu sendiri, mentok-mentoknya ilmu, seperti bunga mekar dimana tempatnya tetap sama. Lha kalau sampai disitu, yang bisa nglakoni seumur hidupnya ya setahu saya orang suci, sebab seluruh tingkah lakunya dalam kesadaran. Kalau saya jujur saja belum sampai, wong saya napas saja kadang-kadang masih lupa.

Orang yang seperti itu adalah orang yang dapat memutus hokum perbuatan, yang menurut hemat saya orang yang seperti itu tidak akan pernah dilahirkan di alam mana pun juga, dimana? tan keno kinoyo ngopo. Sebab manusia hidup itu ibarat kertas yang sudah dicoret-coret, mau dijadikan kertas putih lagi yang tanpa bekas, bagaimana menghapunya? Ya itulah yang harus dicari!

Karena tadi sudah dibicarakan mengenai sepi ing pamrih, perbuatan untuk perbuatan itu sendiri, maka dengan ini akan saya coba sharing uneg-uneg kasuyatan. Secara teori, misalnya saya melakukan perbuatan baik, menjenguk teman yang sedang sakit. Menurut saya kalimat itu nggak logis, egois amat hanya saya yang melakukan perbuatan baik dengan mengbaikan factor-faktor yang lain. Misalnya factor-faktor itu ada teman yang sakit, saya butuh angkutan untuk menjenguk. Ada kondisi yang memungkinkan, dll. Kalau salah satu faktor itu hilang maka perbuatan baik itu tidak akan terjadi. Jadi saya hanyalah salah satu faktor terjadinya perbuatan baik itu. Jadi bukan kata-kata saya melakukan perbuatan baik tapi proses perbuatan baik telah terjadi.

Itu belum lagi kalau dianalisa tentang siapa saya. Saya melakukan perbuatan baik dengan apa? Tangan, kaki, pikiran, hati dll. Lalu timbul pertanyaan yang paling mendasar, siapa sebenarnya saya? Hanya kumpulan dari banyak faktor (mungkin yang terkecil adalah sel) yang selalu berubah terus mungkin dalam kecepatan lebih dari mikro detik (sel-sel yang membelah), termasuk proses mental dan pikiran yang selalu berubah-ubah. Jadi sebenarnya yang ada hanya proses perubahan itu sendiri, tidak ada inti yang dapat ditemukan. Tetapi kenapa kita susah untuk mengerti?

Saya kasih contoh lihatlah nyala api lilin. Nyala api lilin semenit yang lalu itu sebenarnya beda dengan nyala api lilin saat ini, walaupun nyalanya tetap sama tapi tetap beda karena ada proses perubahan. Kenapa kita tidak menyadarinya? Ya karena indra kita tidak mampu menangkap perubahan yang pergerakannya dengan kecepatan tinggi. Begitu juga dengan proses perubahan dalam diri kita, kita tidak pernah menyadari apalagi bila perubahan kecepatan dibawah mikro detik.

Disinilah proses kemelekatan timbul. Melihat aku/diri/ego dsb. Yang sebenarnya tiada inti yang ada hanya proses perubahan. Adanya diri/ego/inti karena sebenarnya kita terseret dengan arus perubahan itu. Jadi ajaran jawa yang mengatakan: sejatine ora ono opo-opo, nek ono dudu, itu ajaran kasunyatan.

Lalu bila ada pertanyaan, wah berarti orang menjadi sombong dan angkuh donk kalau nggak mengakui perbuatannya? Ya mana mungkin jadi sombong atau angkuh, wong dirinya sendiri itu nggak ada, hanya proses perubahan? Dan bila ada pertanyaan kalau begitu orang bisa bebas berbuat semaunya donk karena semua hanya proses?.Ya kalau orang mengetahui itu dan ia sadar ia juga saat ini masuk dalam proses perubahan itu, apa ia akan berbuat semaunya yang akibatnya juga menimpa dirinya karena ia juga saat itu bagian dari proses perubahan itu?

Lihatlah para orang suci, pertapa, arahat dll. Selama hidupnya ia tak mungkin berbuat semaunya mencelakakan makhluk lain karena mereka sadar ia juga masih menjadi bagian dari hukum perubahan itu. Jadi masih sama-sama menjadi faktor hukum perubahan yang kalau dilakukan juga akan berakibat pada dirinya (mungkin menjadi melorot kedewasan batinya/kesuciannya). Hukum perubahan itulah bisa juga disebut hukum sebab akibat.

Itulah sedikit teorinya, tapi kaluo dalam bahasa pergaulan sehari-hari jangan sampai menghilangkan kata aku sebab entar disangka gila, misalnya tadi ditanya siapa yang menjenguk si sakit? Padahal saya yang menjenguk tapi saya mengatakan tidak ada, ya bisa dianggap gila. He he he ….

Pengertian itu baik untuk dimengerti diri sendiri, jadi ke arah dalam untuk kemajuan batin kita. Sekali lagi itu hanya teori, orang paham itu bukan berarti orang itu langsung jadi suci. Dapat pencerahan. Saya gambarkan, kita sakit pergi ke dokter, dikasih obat, kita dapat penjelasan dari dokter dan paham tentang penyakit kita, dan cara kerja obat tersebut. Tetapi bila kita tidak meminum obat itu ya hanya sebatas tahu saja penyakitnya nggak seembuh, apalagi yang disuruh minum orang lain biar untuk kesembuhan kita. Itu lebih tak masuk akal. Dokter ibarat guru, maka carilah guru yang benar-benar guru. Memang susah dizaman sekarang untuk mencari guru yang benar-benar guru, tapi sepengetahuan refrensi saya yang paling gampang saat ini, cari saja seorang biksu yang sering membabar darma.

Percaya atau tidak seorang biksu itu sebenarnya tidak mengajarkan agama (Agama Budha), inti pokoknya ia membabarkan darma/kasunyatan, apapun jenis latar belakang agama anda saya yakin tidak akan bertentangan karena kasunyatan itu nyata san yang jadi problem dihadapi semua manusia. Kalau ada yang: “Oh, saya nggak perlu guru, kan ada guru sejati.” Juga boleh, asal modal karmanya terpenuhi. Dan ingat apa sih sebenarnya guru sejati itu.

Sebenarnya adalah diam tidak bereaksi (termasuk pikiran). Kalau ada yang mengatakan: “Saya bertemu guru sejati saya”, menurut saya itu sebenarnya sudah terseret oleh kemelekatan. Disinilah fungsi guru yang sebenarnya berpengalaman untuk membimbing kembali ketujuan semula. Tetapi kalau bekal pengetahuan dan karma kita cukup, nggak perlu guru juga nggak apa-apa, dan satu lagi ibarat jalan itu ada dua, jalan umtuk tujuan arah yang sama, ada jalan biasa yang ditempuh orang kebanyakan, jalannya rame, jadi pelan0pelan, bisa berhenti kalau capek. Ada jalan tol yang dilakukan oleh para pertapa, yogi, sufi, arahat, biksu, pendeta, dll. yang kecepatannya tinggi, tetapi juga perlu diingat lewat jalan tol juga harus hati-hati, karena dengan kecepatan tinggi kalau tidak hati-hati kecelakaan bisa tolol, he he he ……

Sebab semua kehidupan manusia/makhluk itu adalah berproses. Waduh sudah kepanjangan uneg-uneg saya, tetapi kesimpulannya yang kekal itu sebenarnya tidak ada, yang kekal itu adalah hukum perubahan/sebab akibat itu sendiri. Itu pendapat uatuk kemajuan batin saya sendiri lho, tetapi untuk bahasa pergaulan karena saya hidup dinegara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa (walaupun dalam batin kurang sreg dengan pemberian nama itu takut salah mengerti, tetapi kata Sheksphare, apalah arti sebuah nama) maka saya tetap memahami kata-kata semua yang terjadi/perbuatan karena Tuhan semata. Yang kekal adalah Tuhan Yang Esa. Maaf kalau kepajangangan, suwun!