29 Jun 2011

HARDOPUSORO

PAGUYUBAN KEJAWEN HARDOPUSORO

Paguyuban ilmu mistik kebatinan berlatar belakang budaya dan filsafat Jawa (Kejawen) ini tergolong tua usianya. Paguyuban ini banyak melahirkan kaum waskita dan paling berpengaruh pada masa akhir Kolonialisme di Indonesia. Lebih mudah menelusuri aliran kebatinan dari riwayat hidup para pendirinya. Sebab dari para pendiri paguyuban, kita bisa mengetahui apa dan bagaimana awalnya mereka mendapatkan wahyu. Dan dari turunnya wahyu kepada seseorang tokoh pendiri kebatinan itulah, kita bisa mengetahui latarbelakang sosiologis dan filosofisnya.

HARDOPUSORO didirikan oleh Kusumowitjitro. Siapa Kusumowitjitro? Dia adalah salah seorang Kepala Desa di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Purworejo adalah kota arah barat yang berbatasan dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kisahnya, pada tahun 1880 Kusumowitjitro tidak tahan dengan perlakuan kolonial yang menindas rakyat. Ia tinggalkan jabatannya dan pergi meninggalkan desanya karena melaksanakan aksi menolak membayar pajak.

Selama berpuluh-puluh tahun, dia mengembara ke berbagai hutan di Jawa Timur. Pengembaraan dihabiskan untuk berpuasa dan bertapa di dalam belantara yang penuh tantangan. Tidak ada guru spiritual khusus yang dipercayai menuntun perjalanan spiritualnya. Pada suatu hari, wahyu turun setelah dia mencapai situasi pasrah total pada Tuhan. Wahyu juga berbunyi agar dia menyebarkan kebaikan sekaligus ajaran-ajaran kebaikan kepada sesama manusia.

Hadirnya wahyu yang merupakan dawuh dari Gusti Kang Akaryo Jagad ini jelas merupakan hal menandai berakhirnya satu era perjalanan spiritual untuk memasuki era baru yang lebih kompleks. Kusumowitjitro merasa itulah saat dia hidup kembali sebagai manusia yang sesungguhnya dititahkan mengemban tugas mulia: sebagai hamba-Nya. Dan dia pun mulai muncul di berbagai kota.

Pada tahun 1907, dia sudah diikuti oleh banyak pengikut di Banyuwangi. Namun sayangnya di tahun itu pula dia diusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena khawatir melihat tanda-tanda gerakan kebatinan ini berbahaya dan bisa merongrong kewibawaan pemerintah kolonial. Untuk sementara waktu Kusumowitjitro mengasingkan diri ke hutan di wilayah pegunungan antara Malang, Blitar dan Kediri. Kharisma dan aura spiritual Kusumowitjitro tetap berbinar sehingga dia mendapatkan pengikut di era pengasingan diri ini.

Pada tahun 1913, Kusumowitjitro tercatat sudah muncul lagi di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah hadir dalam forum paguyuban Masyarakat Teosofi (salah satu aliran kebatinan juga) dan dia berkhutbah di sana tentang praktik spiritual yang dijalaninya.

Hampir semua bagian ajarannya diakui masih misterius dan cukup sulit untuk dipaparkan. Sumber-sumber di paguyuban ini enggan memberikan keterangan. Bisa jadi ini dikarenakan sikap waspada para penganut paguyuban Hardopusoro karena saat itu pengawasan Belanda terhadap berbagai penganut aliran kepercayaan semakin ketat.

Penganut aliran kebatinan yang ada di paguyuban Hardopusoro melakukan kegiatan spiritual secara sembunyi-sembunyi dan menutupi aktivitas spiritual mereka dengan dalih acara slametan. Secara internal, ajarannya termasuk sulit sebagaimana paguyubannya yang tidak mudah dijumpai. Ajaran spiritual (wiridan) Hardopusoro pun dilarang untuk diamalkan bagi yang belum menjadi anggota. Segala pertanyaan menyangkut paguyuban ini juga dilarang untuk dijawab.

Biasanya Kusumowitjitro menyampaikan ajaran-ajaran mistik kebatinan pada tengah malam dengan memakai jubah putih. Pada setiap pertemuan, biasanya dilaksanakan tujuh tingkatan inisiasi atau pembaiatan. Setelah merampungkan pembacaan masing-masing jenjang wiridan tadi, hanya para anggota yang telah dibaiat pada level itu yang diijinkan keluar. Dalam satu sesi, hanya mereka yang telah menerima tujuh kali baiatan yang diijinkan tetap di tempat sampai akhir acara. Kemajuan melalui tingkat baiatan tergantung pada hafalan wirid dan pengamalan beberapa teknik tertentu yang berhubungan dengan tiap level.

Ajaran mistik Hardopusoro memang rumit. Dipenuhi dengan paradoks, dijejali dengan simbol-simbol dan mengatasi segala macam tataran akal. Berbagai macam teknik pada masing-masing baiatan itu diarahkan untuk membangkitkan kesaktian yang bersemayam di dalam tubuh.

Teknik utama pembangkitan kesaktian dilalui dengan cara kungkum atau semedi dengan mengucap mantra, sambil duduk merendam diri sampai leher di sumber air yang dianggap memiliki daya keramat atau pertemuan antara dua aliran sungai yang oleh masyarakat biasa disebut dengan tempuran.

Pelahan-lahan latihan yang keras itu mengendur hingga akhirnya hanya cukup dengan semedi atau meditasi dengan kaki yang dicelupkan di dalam semangkuk air saja. Meskipun kekuatan magis atau kasekten merupakan elemen pencapaian pada setiap jenjang baiatan, sesungguhnya tujuan akhir perjalanan spiritual paguyuban Hardopusoro adalah meleburnya anasir fisik dan jiwa dari diri atau yang dikenal dengan moksa alias suwung

Belum diketahui secara pasti, apakah paguyuban aliran kebatinan Hardopusoro ini masih ada di negeri kita atau tidak. Semoga masih ada sehingga kita tidak kepaten obor eksistensi saudara-saudara kita yang gigih berjuang untuk menemukan diri sejati ini.


SABDÃ¥:
Wah punika informasi yg sangat menarik Ki. Saya pribadi merasa akrab di telinga dengan nama Hardopusoro. Sepertinya masih eksis di level bawah permukaan, di Jogja. Mudah-mudahan suatu waktu dapat bercengkerama dengan para kadang generasi penerus Hardopusoro, pimpinan Kusumowitjitro. Matur nuwun KI. Rahayu!

Wongalus:
Ki Sabdo, Eman bila kekayaan tradisi spiritual seperti ini hilang. Sebab ini bukti bahwa nggayuh kasampurnaning urip untuk maneges pada Gusti Kang Maha Wikan bisa dengan laku dan cara yang kreatif. Nuwun ki.

NN:
Paguyuban Hardopusoro tasih eksis dugi sakniki, lan saben malem tanggal 14 Sura masih ada kegiatan Srawung Agung, nuwun! (PENGELOLA PADEPOKAN HARDOPUSORO)

Ikhsan Febri:
Ki, kula suwun kapan-kapan mbok dolan nuweni Padepokan Hardopusoro wonten Kemanukan, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, kaliyan ziarah wonten makame ki Kusumawicitra guru kita semua, mbenjang tanggal 30 Desember badhe wonten acara tahunan ngih menika Srawung Agung, matur nuwun!
@a.n Kadang Hardopusoro Purworejo,

Wongalus:  
Yth Mas Ikhsan Febri, wah meniko inkang kulo tenggo mas. Saya sangat bahagia akhirnya bisa bertemu dengan saudara-saudara penganut aliran kebatinan Hardopusoro yang awalnya saya khawatir sudah hilang dari peradaban. Semoga para sanak kadang penerus ajaran Ki Kusumowitjitro tetap melestarikan dan nguri-uri ajaran beliau yang adiluhung. Matur nuwun mas. Semoga saya bisa hadir di acara srawung agung bersama dengan para sedulur spt Ki Sabdalangit, Ki Kumitir, dll.

Ikhsan Febri:  
Sama-sama Ki, saya juga terimakasih banyak atas artikel tentang sejarah dari mbah Somocitro, artikel sampeyan bisa menambah refrensi dalam saya menulis perjalanan spirutual simbah saya di Purworejo, bersama kadang dan pengurus pusat sedang mengumpulkan arsip sejarah dari mbah Somowicitro, dan semoga artikel sejarah itu dapat selesai sebelum Srawung Agung. Saya kagum dengan simbah, saya adalah yang menempati bekas kediaman/rumah dari mbah Kusumowicitro.

Ilang:
Masih ada kok, di desa Kemanukan Kec Bagelen Kab. Purworejo..
Hidup adalah bagaikan air yang mengalir……

Irto Suharto:
Rahayu!
Kang Mas Wong Alus, trimakasih saya dapat menemukan bagian-bagian dari kisah Ki Kusuma Wicitra yang belum saya dapatkan selama ini.

Rahayu!
Sedikit tambahan informasi, pengikut kawruh Hardopusoro banyak tersebar di Jawa, sesepuh untuk Yogyakarta adalah Eyang Niti, beliau dahulu sering mandi malam di Kali Kuning Yogya, letaknya di sebelah timur Bandara Adisucipto, di selatan Jl Solo. Rumah beliau di desa Kembang, ancar-ancarnya pertigaan antara Jl. Ring Road Utara Yogya yang bertemu dengan jl Solo, ada lampu merah, selatan lampu merah, di sebelah barat masjid, sebelah barat gereja, serta sebelah timur makam. Beliau sangat terbuka untuk diajak berdiskusi. Semoga informasi ini dapat berguna. Nuwun.

Nugroho:  
Hardopusoro kaweruh nenggih
ngelmu kasunyatan
sarwo luhur kang dadi sedyane
srono angudi isining wirid
tekade sawiji
linambaran laku…

Tekade Hardopusoro
Mung amawas ing pribadi
Nembah bekti mring hyang agung
Rumongso yen Kawulo
Tekad luhur kang sinedyo slaminipun
Srono ngendaleni hardo
Minongko sedyo pambudi

Lirih lerem aluruh
Dadyo srono marganing pangukud
Kanti rilo pasrah sumarah ing Widdhi
Ngestokken sakeh pitutur
Pepadang saking Hyang Manon

Rahayu!  

Imansyah Rukka:
Aliran kebatinan Hardopusoro, adalah aliran kebatinan tertua yang merupakan ilmu kasunyatan. Tuhan itu nyata ada maka itu disebut kasunyatan dan harus di rasakan. Dengan pemahaman HP inilah kita bisa menemukan itu semua.
Rahayu!


Sejarah Desa Kemanukan

Kemanukan adalah sebuah desa di Kecamatan Bagelen kab. Purworejo, Jawa Tengah. Secara geografis Kemanukan terletak dikoordinat 7° 45′ 0″ LS dan 110° 2′ 0″BT

Sejarah terjadinya desa Kemanukan sampai tahun 2009 ini kurang lebih sudah 146 tahun, yaitu dimulai sekitar tahun 1863. Sebelumnya hanya dimulai dari kelompok masyarakat saja, belum berbentuk desa. Kelompok masyarakat ini dipimpin oleh seorang terkemuka yang bernama Imam Darso, dan oleh kelompok masyarakat dipercaya menjadi pimpinannya dan diberi julukan Kyai Imam Darso. Sedang desa/pedukuhan itu dinamakan Tanjunganom.

Kemudian datanglah seorang baru beserta keluarganya yaitu Wongsonegoro. Wongsonegoro tinggal di Tanjunganom , setelah pindah dari desa asalnya yaitu desa Ngaran. Disana Wongsonegoro berkedudukan sebagai Demang Ngaran. Walaupun pendatang baru, akan tetapi Wongsonegoro dipandang terkemuka oleh masyarakat setempat. Dimuka rumahnya ditanamkan pohon sawo 4 batang, sehingga tempat itu tersohor dan dinamakan Sawo Jajar.

Oleh kerena Wongsonegoro merupakan orang yang terpandang, maka kekuasaan pimpinan dan mengatur masyarakat oeleh Kyai Imam Darso lalu diserahkan kepada Wongsonegoro untuk menjadi pimpinan masyarakat Tanjunganom. Wongsonegoro yang menjadi pemimpin Tanjunganom, akhrirnya menjadi Patih Pertama Kabupaten Purworejo, mendampingi Bupati Cokronegoro I (makamnya di Kayu lawang Purworejo). Oleh karena itu, sejak Wongsonegoro naik menjadi Patih Kabupaten, maka pada tahun 1863 didirikan dan ditunjuklah R. Sastrosuwongso menjadi Lurah Pertama. Dengan ini maka Tanjunganom diganti menjadi Kemanukan.

Tiga tahun kemudian atau lebih tepatnya pada tahun 1866 karena manentang Politik Pemerintahan maka R. Sastrosuwongso lalu dihukum pentheng sehari semalam. Selanjutnya diberhentikan dari jabatan Lurah desa Kemanukan. Dengan adanya kekosongan Lurah Desa maka ditunjuk R.Sutosemito menjadi Lurah desa Kemanukan sampai tahun 1876 (10 tahun).

Berhentinya lurah yang kedua lalu ditunjuk dan diangkat R. Somocitro (Kusumowicitro) menjadi Lurah desa Kemanukan yang ketiga. R.Somocitro hanya memimpin Kemanukan selama 4 tahun saja. Pemilihan Lurah dengan cara ditunjuk oleh Wedana Cangkrep (Sutonegara) ini kurang efektif dan kerap tidak lama lalu berhenti, maka diadakan perubahan pemilihan Lurah yaitu dengan cara pemilihan dengan melibatkan warga desa.

Geografis:
Batas Utara: Desa Ganggeng (Kec. Purworejo)
Batas Timur Laut: Desa Pacekelan (Kec. Purworejo)
Batas Timur: Desa Somongari (Kec. Kaligesing)
Batas Tenggara: Desa Semagung (Kec. Bagelen)
Batas Selatan: Desa Piji (Kec. Bagelen)
Batas Barat: Desa Semawung (Dusun Sucen, Kec. Purworejo)

Desa Kemanukan mempunyai 5 dusun, yaitu:
Krajan Kulon,
Krajan Wetan,
Karangsari,
Karangrejo dan
Jolotundo.


Aliran Kepercayaan Hardopusoro Somongari

Hardopusoro adalah salah satu aliran kebatinan berbasis budaya Jawa yang memberikan ajaran kasunyatan dan kasampurnaan berdasarkan kawruh ngelmu. Aliran kepercayaan kejawen di desa ini berkembang pesat di era tahun 80-an. Hardopusoro adalah suatu ajaran mukso, kata jawa mukso berasal dari bahasa sansekerta: moksha yang berarti lepas atau bebas. Orang jawa mengartikannya sebagai luar soko bandhaning donya kalis sakabehing penandhang, artinya lepas dari belenggu dunia ramai ini terhindar dari segala penderitaan. Suatu pembebasan spiritual, bebas dari belenggu wadag dan semua hawa nafsunya. Manusia menghendaki dirinya bebas, kebebasan menyeluruh dari bermacam-macam batasan yang menekan dengan ketat pada dirinya di dunia ramai ini.

Aliran kepercayaan ini mendapat tempat di hati masyarakat, terbukti penganut (jamaah) dari Hardopusoro tersebar di seluruh negeri Indonesia ini. Semua pemahaman itu menuju ke satu titik, dianalogikan seperti piramid yang ujungnya adalah Tuhan atau bahasa anda Sang Hyang Widhi. Memang ajaran Jawa ada yang sangat universal dan setahu saya yang terkenal dan tertua itu adalah Hardopusoro yang berasal dari Purworejo, dulunya dirintis oleh Raden Mas Sumowicitro, seorang Teosof yang mengajarkan tentang kawruh yang ternyata setelah dikaji adalah sangat universal.

Sebenarnya, ajaran ini tidak berbeda dengan yang diajarkan dalam agam Islam, esensinya saja yang barangkali ada perbedaan, namun eksistensi itu sendiri dimana-mana sama yakni mencari sebuah kebenaran sejati yang hanya satu, dan terdapat zat-nya di dalam diri kita.