Dialog Aku (A) dan Nurani (N)
A: Mengapa orang mesti beragama?
N: Siapa yang mengatakan mesti?
A: Sejak kecil aku dinasehati untuk menjadi orang yang taat beragama, karena hanya dengan demikian orang akan masuk surga. Lebih khusus, lagi, aku juga diajari bahwa hanya yang memeluk Islam yang bakal masuk surga.
N: He he he! Dan engkaupun percaya?
A: Mau tidak mau, karena hanya dengan begitu aku bisa masuk surga. Siapa yang tak ingin masuk surga?
N: Lantas, apa yang kau maksud dengan surga?
A: Menurut berita yang kuterima, itu adalah sebuah tempat yang teramat indah, yang didalamnya ada kebun yang indah, sungai mengalir di bawahnya, dan yang paling menarik..ada bidadari-bidadari yang teramat cantik...
N: Ooooo! Jadi engkau berjuang menjadi pemeluk agama yang taat agar bisa menikmati semua itu?
A: Ya, kurang lebih begitu!
N: Bagaimana jika semua itu tak ada? Apakah engkau masih akan taat beragama?
A: Aku belum memikirkannya.
N: Ternyata engkau itu pribadi yang tak ikhlash, kau berbuat sesuatu karena ada maunya.
A: Bukan begitu, aku hanya mengikuti apa yang diajarkan kepadaku.
N: He he he! Kini engkau berkilah, tapi baiklah! Apakah yang mengajarkanmu demikian, pernah melihat surga? Apakah mereka tahu pasti bahwa surga itu ada?
A: Aku tak yakin, yang kutahu mereka mengatakan surga itu ada karena itulah yang dikatakan Kitab Suci.
N: Oh! Jadi, diapun belum pernah tahu dan melihat sendiri?.
A: Lalu apa salahnya, bukankah yang dikatakan Kitab Suci itu pasti benar?
N: Yang bilang salah siapa? Aku hanya ingin tanya, apakah pemahamanmu, dan pemahaman orang-orang yang mengajarimu tentang yang dikatakan di dalam Kitab Suci itu pasti benar?
A: Kalau boleh jujur, kemungkinannya bisa benar ya bisa salah.
N: Lalu, apa yang bisa menjadi tolak ukur bahwa pemahaman itu benar atau salah?
A: Bukankah pemahaman terhadap Kitab Suci itu sudah baku ? Bukankah semua ulama memahami bahwa memang surga itu seperti yang dikatakan di dalam Kitab Suci, dan bahwa itu hanya diperuntukkan bagi orang Islam?
N: Itulah masalahnya, kamu menganggap sesuatu yang cuma merupakan pemahaman, persepsi, hasil olah pikiran, sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dan baku .
A: Lalu, bagaimana semestinya?
N: Mari kita bicara tentang sebuah samudera. Menurutmu, bagaimana caranya agar kita bisa tahu tentang samudera itu? Apakah kita sudah punya alat untuk mengetahuinya?
A: Dengan mataku, aku bisa melihat permukaan samudera yang biru, kadang aku bisa melihat kapal berlayar di permukaan samudera itu.
N: Baik, lalu apa yang ada di balik permukaan samudera itu? Ada apa di kedalamannya?
A: Aku bisa menduga-duga dengan pikiranku, mungkin di dalamnya banyak ikan, mungkin juga ada terumbu karang. atau barangkali ada kapal selam.
N: Apakah pasti demikian yang ada di dalam samudera?
A: Ya belum tentu.
N: Satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ada di dalam samudera itu kamu harus menyelam, kamu harus masuk ke kedalaman.
A: Tentu saja.
N: Lalu, bagaimana caranya agar kamu bisa tahu hakikat surga?
A: Pertama, aku sekadar mempercayai apa yang dikatakan oleh orang yang menurutku pintar. Kedua, aku gunakan akalku untuk menduga-duga seperti apa surga itu. Tapi, jelas, aku memang tak akan tahu banyak tentang surga jika begitu. Yang paling mungkin membuat aku tahu kebenaran surga, ya aku harus masuk dulu ke situ, aku harus menyaksikannya langsung.
N: Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya?
A: Bukankah itu tak perlu? Bukankah sudah ada Kitab Suci? Bukankah sudah ada ulama yang membimbing kita?
N: Kalau kau tak lakukan, kau tak akan pernah tahu kebenaran sesungguhnya. Kau hanya akan terus dalam praduga, prasangka, bahkan sejatinya, kau juga tak akan tahu apakah yang selama ini kau yakini, yang kau terima sebagai ajaran dari sekian banyak orang yang kau anggap pandai itu, benar atau salah.
A: Kamu benar, tapi mungkinkah?
N: Di dalam dirimu, sesungguhnya ada pintu gerbang untuk mengetahui hakikat kebenaran yang selama ini tersembunyi?
A: Aku tak pernah mendengar hal itu.
N: Ha ha ha ha!.
A: Mengapa tertawa?
N: Kau naif sekali. Kau yakin sekali sebagai pemilik tunggal surga, tapi hal sepele begitupun kau tak tahu.
A: Ajari aku! Aku sadar bahwa aku memang naif.
N: Untuk bisa menemukan gerbang itu, kau harus melakukan banyak hal. Kau harus singkirkan kedengkian, amarah, keserakahan, dan berbagai keburukan lainnya dari dalam hatimu. Lalu, kau sering-seringlah memasuki alam keheningan, buat pikiranmu diam sejenak, biarkan dirimu berhubungan dengan suara di dalam hatimu. Berikutnya, kau harus berbuat baik kepada semua yang ada di sekitarmu, termasuk kepada pepohonan, bebatuan, langit, penghuni langit, tetangga, leluhur, dan semuanya.
A: Berat sekali!
N: Ha ha ha ha! Begitu saja berat kok yakin jadi pemilik surga.
A: Maaf!
N: Kini terserah padamu, maukah engkau mengikuti nasihatmu, dan kelak akan terbuka sedikit demi sedikit kebenaran sejati. Atau kau mau tetap ada dalam keyakinan kosong.
A: Beri waktu padaku untuk berpikir.
N: Ya bagus! Berpikirlah!